Luka yang Dilahirkan dan Dikuburkan dalam Mei 1998

Ibu tidak pernah bercerita soal Mei 98. Bukan karena ia lupa, tapi karena ia takut mengingat.
Aku baru berusia tujuh tahun ketika kerusuhan pecah. Ibu tengah mengandung adikku yang ketiga, usia kehamilannya sembilan bulan. Tak lama lagi ulang tahunnya tiba.
Kami tinggal di tepi jalan raya. Hari itu, suara dari luar lebih bising dari biasanya. Aku berlari ke pagar depan, ibu mengejarku dan menggenggam tanganku erat ketika aku hampir melewati gerbang.
Aku terpaku. Orang-orang berlari membawa barang-barang, termasuk mainan yang selama ini hanya bisa kulihat di rak toko. Mataku membelalak.
Baca juga: Dari Fiksi yang Bicara Kebenaran ke Sejarah yang Dijadikan Fiksi
Tante An, tetangga pemilik bengkel motor, bergegas menyuruh anak buahnya menutup bengkel. Suara rolling door menghentak siang itu.
“Mereka ambil itu dari mana, ibu? Aku mau juga!” aku merengek.
“Jangan, sayang. Itu barang jarahan. Bukan hak kita,” jawab Ibu sambil mempererat genggamannya.
Ibu masuk dan menekan nomor-nomor telepon. Tak habis-habis ia berbicara di ujung telepon. Hanya satu kalimat yang tertangkap olehku: “GRASERA TERBAKAR!”.
Grasera, toko swalayan kesayanganku sejak kecil, dibakar dan dijarah. Tempatku bermainku lenyap.
Hari-hari setelahnya, televisi hanya menampilkan gedung terbakar, kaca etalase pecah, mayat diselimuti koran. Setiap itu muncul, ibu memanggilku dari arah dapur.
“Kak, bantu ibu kupas bawang, sini.”
Entah berapa bawang yang kami kupas, dan entah untuk apa. Mungkin untuk melupakan, atau justru mengingat. Kadang ia berdoa. Kadang menangis. Aku tak tahu apakah ia menangis karena bawang atau karena sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Lalu satu sosok hilang: Tante An. Ia yang biasa memberiku permen melon atau jeruk. Ada yang bilang dia diamankan, ada yang bilang pindah kota. Tapi ibu hanya berkata, “Jangan percaya sembarang kabar.”
Sejak hari itu, bengkelnya tetap tertutup. Catnya mengelupas. Tulisan besar PRIBUMI di pintu hampir sepenuhnya pudar. Tak ada lagi tawa. Tak ada permen. Tak ada suara mesin. Hanya lengang yang membatu, menjadi monumen kecil dari apa yang tak pernah dibicarakan.
Beberapa hari kemudian, adikku lahir. Bayi perempuan yang sangat mirip Ibu. Ibu menamainya Permata, lahir di tengah ketakutan.
“Kakak tahu,” kata Ibu suatu malam saat kami menonton berita. “Waktu itu, banyak teman Ibu tak bisa menyebutkan nama mereka sendiri. Kalau disebut, mereka bisa hilang…”
Ia tidak melanjutkan. Aku tidak tahu maksud perkataan Ibu. Aku hanya menatap lilin pengusir lalat yang menyala pelan. Tapi tatapan Ibu malam itu terasa seperti doa, agar cahaya kecil itu menerangi sesuatu yang lebih gelap dari malam.
***
Dua dekade berlalu. Kini, aku tahu nama-nama itu. Nama-nama perempuan Tionghoa yang diperkosa beramai-ramai. Tubuh mereka diludahi, dibakar, lalu dibungkam oleh negara yang lebih sibuk menata kembali citranya daripada merawat luka warganya.
Lalu seseorang berdiri di depan mikrofon dan berkata:
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu? Saya sendiri pernah membantah itu dan tidak bisa buktikan.“
Namanya Aidil Zon. Aku mencatat namanya. Aku juga mencatat tepuk tangan yang menyertainya. Tawa yang mengikutinya. Seolah sejarah bisa dihapus oleh suara paling lantang. Seolah tubuh-tubuh yang dikoyak bisa disangkal karena mereka tak cukup terdengar.
Dari ruang tengah, aku dengar napas Ibu berat menonton sidang terbuka itu.
“Ibu…”
“Ibu dulu sempat berpikir tak ingin melahirkan adikmu,” bisiknya.
“Bukan karena tak ingin punya anak. Tapi karena takut dunia tak ingin perempuan seperti kita hidup.”
Baca juga: Mei 1998 yang Mengubah Saya
Aku menulis tentang mereka. Tentang Mei. Tentang suara-suara yang dikubur hidup-hidup.
Di sebuah zine kecil, kutulis:
Statistik yang Tak Pernah Diam
satu laki-laki lahir
seribu perempuan mati
dua laki-laki tumbuh
seribu gadis dikubur sunyi
tiga laki-laki bersorak
seribu perempuan dikurung sunyi
empat laki-laki maju
seribu perempuan-perempuan mundur, luka, lari
ini bukan puisi
ini laporan harian
tentang tubuh yang jadi medan
dan rahim yang dipaksa diam
Malamnya, aku bermimpi buruk. Mencari buku sejarah di perpustakaan. Di rak “Sejarah Indonesia Modern,” tak ada Mei 98. Tak ada nama. Tak ada angka. Tak ada wajah. Hanya satu kalimat kering:
“Kerusuhan besar di beberapa kota mengiringi perubahan rezim.”
Pemerintah menyebutnya “penyelarasan ingatan kolektif.” Penulis utamanya: Aidil Zon. Di atas panggung, ia berkata:
“Kita harus menulis sejarah dengan kepala dingin, bukan dengan emosi. Tidak semua yang beredar adalah kebenaran. Sejarah bukan ruang dendam.”
Aku terbangun, menangis. Bukan hanya karena marah. Tapi karena takut tubuh-tubuh yang sudah dikubur akan dimatikan sekali lagi, dengan tinta dan stempel resmi.
Malam itu, seseorang menempel poster di rolling door bekas bengkel:
“LUKA ITU ADA, DAN TAK AKAN PERNAH HILANG KARENA ENGKAU INGKARI.”
Besoknya poster itu dicabut. Tapi aku tahu, seperti Ibu tahu: tidak semua yang dihapus benar-benar hilang. Tidak semua yang diam benar-benar lupa.
Baca juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998
Saat menatap cermin malam itu, aku melihat bukan hanya bayanganku. Tapi tubuh-tubuh yang dibungkam. Perempuan-perempuan yang tak disebut. Rahim-rahim yang menahan teriak.
Dan satu ibu yang tetap memilih melahirkan.
Meski dunia menutup mata.
Dan aku tahu,
aku lahir untuk mengingat.
