July 14, 2025
Issues

Sejarah Perempuan yang Terlupakan: Seruan Feminisme Pancasila untuk Keadilan

Feminisme Pancasila menuntut penulisan sejarah yang lebih adil, inklusif, dan berpihak pada kemanusiaan.

  • June 24, 2025
  • 5 min read
  • 686 Views
Sejarah Perempuan yang Terlupakan: Seruan Feminisme Pancasila untuk Keadilan

“Sejarah ditulis oleh para pemenang” adalah adagium klasik yang sering dikutip. Tapi siapa sebenarnya “pemenang” itu? Dalam masyarakat patriarkal, para pemenang yang dimaksud sering kali adalah laki-laki, bahkan mereka yang menjadi pelaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Maka tak mengherankan bila sejarah nasional kita kerap sunyi dari suara perempuan, apalagi mereka yang menjadi korban kekerasan negara.

Feminisme Pancasila hadir sebagai tawaran untuk membongkar warisan historiografi yang maskulin, elitis, dan bias kekuasaan. Ia menuntut agar sejarah bangsa tidak sekadar ditulis ulang, tetapi dibangun dari pondasi yang berpihak pada keadilan sosial, kesetaraan gender, dan nilai-nilai luhur Pancasila.

Penulisan sejarah tidak boleh berhenti pada kronologi tokoh besar dan pertempuran militer. Ia harus merangkul pengalaman mereka yang terpinggirkan, terutama perempuan, dan menjadi alat advokasi demi masa depan yang lebih adil. Bukan sekadar menyisipkan tokoh perempuan, tetapi mendesain ulang cara berpikir dan kerangka kerja penulisan sejarah agar inklusif, berkeadilan, dan berakar pada jati diri bangsa. Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tetapi medan perjuangan untuk merebut ruang representasi dan menyembuhkan luka kolektif bangsa.

Baca juga: Dari Fiksi yang Bicara Kebenaran ke Sejarah yang Dijadikan Fiksi

Perempuan bukan pelengkap, tapi subjek sejarah

Menempatkan perempuan sebagai subjek sejarah adalah implementasi nyata dari Sila Pertama dan Kedua Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Karena itu, penulisan ulang sejarah harus pula dapat merekonstruksi peran perempuan yang selama ini disembunyikan, dikaburkan, atau dikecilkan. 

Ambil contoh Ratu Kalinyamat, pemimpin Jepara abad ke-16 sekaligus panglima armada laut Nusantara melawan Portugis. Di masanya, Jepara dikenal sebagai pusat perdagangan dan industri maritim yang maju di Asia Tenggara. Tokoh seperti Kalinyamat selayaknya diajarkan sejajar dengan Gajah Mada, yang dikenal karena ekspansi kekuasaan Majapahit. Tapi hingga kini, nama Kalinyamat belum masuk kurikulum sejarah nasional secara setara.

Tokoh-tokoh seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, dan para sultana dari Aceh, Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Timur juga layak mendapat tempat terhormat dalam imajinasi sejarah bangsa. Menampilkan mereka bukan hanya soal representasi, tetapi tentang membangun narasi kebangsaan yang lebih jujur dan utuh.

Kritik terhadap historiografi patriarkal bukan hal baru. Banyak sejarawan perempuan telah menyoroti narasi sejarah yang terlalu berfokus pada pahlawan laki-laki, militerisme, dan kekuasaan negara. Ini membuat sejarah lebih menyerupai propaganda kekuasaan daripada refleksi kolektif bangsa.

Penulisan sejarah yang meniadakan pengalaman perempuan, baik sebagai pelaku perubahan maupun sebagai korban, adalah bentuk kekerasan epistemik— kekerasan terhadap hak seseorang untuk didengar, diketahui, dan dikenang. Kisah perempuan pelopor Reformasi 1998, korban kekerasan seksual saat kerusuhan sosial, hingga Marsinah dan para aktivis yang hilang, semuanya layak mendapat tempat dalam narasi resmi bangsa. Mereka bukan catatan kaki, mereka adalah bagian dari naskah utama.

Baca juga: Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM

Menolak melupakan: Dari kekerasan ke keadilan transformatif

Nasionalisme patriarkal sering kali hanya ingin merayakan kemenangan, bukan merefleksikan luka. Ia menolak menulis sisi gelap masa lalu: pemenjaraan tanpa pengadilan pasca-1965, kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa saat Reformasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya. Namun sejarah yang hanya mengisahkan kemenangan penguasa justru memperkuat budaya impunitas dan melanggengkan ketidakadilan.

Kita tahu bahwa setelah Reformasi 1998, belum ada keadilan transisional yang nyata. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) gagal dibentuk. Pengadilan HAM tidak pernah berjalan. Kejaksaan Agung selalu menolak menindaklanjuti hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Akibatnya, para pelaku kekerasan tak pernah dihukum, sementara para korban terus menunggu keadilan yang tak kunjung datang.

Padahal, dua presiden pasca-Orde Baru—B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid—telah secara terbuka mengakui kekerasan negara dan meminta maaf kepada para korban. Lembaga-lembaga seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial adalah bukti nyata bahwa negara pernah berniat memperbaiki diri.

Namun tanpa kejujuran dalam penulisan sejarah, semua itu akan menguap begitu saja. Kita butuh sejarah yang jujur agar bisa melahirkan kebijakan reparatif, menyembuhkan trauma kolektif, dan membangun keadilan yang transformatif. Menulis ulang sejarah bukan sekadar revisi naratif, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral kepada mereka yang selama ini tak terdengar suaranya.

Sejarah yang berperspektif Feminisme Pancasila bukan hanya soal mengganti tokoh-tokoh laki-laki dengan perempuan. Ini tentang membongkar paradigma lama dan membangun fondasi baru yang berpijak pada kesetaraan, keberagaman, dan kemanusiaan.

Baca juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memiliki mandat dan wewenang untuk mewujudkan ini. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan harus dijalankan dengan komitmen untuk menciptakan historiografi yang merefleksikan kompleksitas bangsa, bukan sekadar mewariskan mitos kejayaan yang menutupi luka sejarah.

Ketika sejarah menghargai suara perempuan, menghormati korban, dan mengakui kekeliruan masa lalu, di situlah bangsa ini benar-benar membangun karakter. Pengingkaran negara terhadap pengalaman perempuan, terutama korban kekerasan negara, adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap nilai-nilai luhur Pancasila.

Menulis ulang sejarah adalah langkah restoratif, bukan destruktif. Ia membuka ruang bagi kebenaran dan penyembuhan, serta menegaskan bahwa bangsa ini dibangun bukan hanya oleh mereka yang tercatat di buku pelajaran—tetapi juga oleh mereka yang selama ini dilupakan.

Eva K. Sundari adalah mantan anggota DPR dan sekarang menjabat sebagai Direktur Institut Sarinah.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Eva K Sundari