Surat Edaran Kemendikbudristek 28 Tahun 2021: Ibu Melawan, Ibu Menang
Ibu tunggal bercerai dan perempuan kepala keluarga berhak dituliskan namanya di ijazah anak.
“Being a single mother is twice the work, twice the stress, and twice the tears, but also twice the hugs, twice the love, and twice the pride.” – Anonymous
Momen (24/11) adalah satu hari bersejarah bagi saya, para ibu tunggal bercerai, dan perempuan kepala keluarga di Indonesia. Hari di mana saya tidak bisa berhenti menangis. Bukan karena kesedihan yang mendalam, tapi karena kebahagiaan yang begitu meluap. Saat saya menuliskan kalimat ini, air mata kembali membasahi pipi saya.
Pukul 13:16 WIB saya menerima terusan file PDF dari seorang kawan lama dengan pesan “Nitip makasih buat temennya Lala (nama teman saya) yang bikin petisi.” Jantung saya berdegup kencang saat membaca judul tersebut: SE tentang Pelaksanaan Pengisian Blangko Ijazah Dikdas dan Dikmen 1.
Dengan perasaan tak menentu, saya buka file tersebut dan membacanya dengan saksama. Surat ini ditandatangani oleh Ibu Ir. Suharti, MA, PhD. Sekjen Kemendikbudristek yang baru saja dilantik di Agustus 2021 lalu. Ditujukan kepada gubernur, bupati, wali kota di seluruh Indonesia.
Baca juga: Dear Janda: Kamu Perempuan Berdaya, Kamu Berhak Bahagia
Surat edaran ini meluruskan mispersepsi yang beredar seputar pengisian nama orang tua/ wali peserta didik. Pun menjelaskan secara rinci, blangko ijazah pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat mencantumkan nama ayah, ibu, atau wali peserta didik.
Tak hanya itu, pada poin 3 surat edaran tersebut disebutkan, nama ayah, ibu, atau wali peserta didik dapat ditulis berbeda dengan nama ayah, ibu, atau wali peserta didik yang tercantum pada ijazah jenjang pendidikan sebelumnya. Jadi semisal ijazah SD anak tertulis nama ayahnya, ijazah SMP bisa menggunakan nama ibu atau wali. Di poin 4 disebutkan lagi, pencantuman nama mengikuti permohonan ayah, ibu, atau wali peserta didik yang bersangkutan. Artinya, pihak sekolah tidak bisa mengabaikan permohonan dan memaksakan penyeragaman penulisan nama ayah dalam ijazah anak, ataupun memberikan syarat yang memberatkan bagi ibu agar namanya dituliskan di ijazah anak.
Tubuh saya gemetar begitu membaca poin 2 – 4 surat edaran ini. Saya baca berulang-ulang seolah tidak percaya petisi yang saya inisiasi di 26 Oktober 2021 dan mendapatkan lebih dari 16 ribu tanda tangan telah membuahkan hasil. Ini tidak hanya bisa membantu saya saat nanti mengajukan permohonan untuk penulisan nama orang tua di ijazah SMP dan SMA anak saya, tapi juga bagi banyak ibu di Indonesia, terutama ibu tunggal bercerai dan perempuan kepala rumah tangga. Saya bersama 16.245 pendukung petisi saya, telah berhasil membuat perubahan yang berarti.
Baca juga: Menjadi Janda dan Lapis-Lapis Perjuangan di Baliknya
Saat saya bagikan kabar gembira ini di akun Instagram, salah satu komentarnya datang dari penanda tangan surat edaran, Ibu Suharti. Beliau menuliskan, “Terima kasih sudah menyuarakan. Kami jadi tahu detail isunya. Untuk pencantuman nama ibu sebenarnya sudah ada di surat edaran sebelumnya, tapi rupanya ada kasus-kasus yang menyebabkan sekolah enggan menggunakan nama ibu. Pastinya pemerintah mendengarkan keluhan warga.”
Menarik sekali saat beliau menyebutkan sudah ada surat edaran sebelumnya, karena ini artinya pihak sekolah lalai atau abai dalam pelaksanaannya. Kata enggan juga menarik buat saya karena itulah yang saya rasakan saat sekolah (dan kemudian pihak yayasan) memberikan syarat yang tidak masuk di akal saat saya memperjuangkan nama saya untuk ditulis di ijazahnya. Sekolah terkesan enggan dan malas kalau sampai harus menuliskan nama ibu di ijazah anak, sehingga memberikan syarat agar kami menyerah dan mereka tak perlu menindaklanjuti permohonan yang dianggap merepotkan.
Baca juga: Engkau Janda dan Engkau Terhormat
Terlepas surat edaran ini mungkin akan tetap diabaikan oleh banyak sekolah di Indonesia karena dianggap merepotkan, namun ini adalah satu bukti jika berjuang bersama, hasilnya akan terlihat. Hari itu, (24/11), saya berhasil memberikan bukti pada banyak orang yang mencibir usaha saya. Bahwa surat edaran itu telah membuka jalan bagi ibu tunggal bercerai dan perempuan kepala keluarga di Indonesia agar diakui sebagai orang tua di institusi pendidikan.
Berbagai ucapan terima kasih yang saya terima secara bertubi-tubi via DM Instagram atau kolom komentar saya terima dengan hati penuh sukacita. Kemenangan ini bukan milik saya seorang, tapi milik semua ibu di Indonesia. Saya berharap semangat saya terus mengupayakan akan bisa menular ke banyak ibu di luar sana untuk terus maju dan memperjuangkan haknya. Sebagai ibu. Sebagai orang tua.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip kakak seperjuangan saya, Bunda Nani Zulminarni, founder Yayasan Pekka yang sejak awal saya mendapat perlakuan diskriminatif telah menjadi ruang aman saya bercerita.
“Ini bukan sekadar nama di atas kertas, this is about dignity.”
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.