‘The Story of Kale’ Absen Soroti Perspektif Korban
Film ‘The Story of Kale’ mengangkat kekerasan dalam pacaran, tapi absen menyoroti perspektif perempuan yang menjadi korban.
Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI, 2019) bukan film yang berkesan buat saya. Konfliknya terlalu didramatisasi dan dipanjang-panjangkan, dan tokoh-tokohnya dibuat seperti boneka hanya karena ketidakmatangan emosi sosok ayah. Makanya, begitu spin-off dari film ini dan The Story of Kale: When Someone’s in Love (2020) keluar, saya tidak terlalu tertarik untuk menontonnya. Sampai seorang teman bilang bahwa dia triggered alias terpicu karena premis kekerasan dalam pacaran yang diangkatnya.
Akhirnya, beberapa jam kemudian, saya menemukan diri saya sendiri menatap layar laptop dan menyaksikan film ini. Sambil menonton saya berdoa agar saya sampai tujuh turunan nanti tidak akan pernah berurusan dengan laki-laki macam Kale, Argo, dan segala makhluk jelmaannya.
Film ini mengisahkan masa lalu Kale (Ardhito Pramono), cowok gebetan Awan (Rachel Amanda) dalam NKCTHI, yang menolak buat pacaran karena enggak percaya dengan komitmen. Awal kisah, Kale naksir Dinda (Aurellie Moeremans), perempuan muda dengan pacar abusive bernama Argo dengan ciri sering melontarkan kata-kata kasar padanya, bahkan tak segan untuk memukul, menampar, dan mendorong Dinda di tempat umum.
Baca juga: Kekerasan dalam Pacaran Fenomena Sunyi di Indonesia
Kale berusaha “menyelamatkan” Dinda dari hubungan toksik itu dengan meyakinkan Dinda bahwa mencintai bukan berarti menyakiti. Tapi, ketika keduanya pacaran, Kale malah jadi Argo lain yang tak segan menyakiti Dinda di banyak kesempatan.
Ada satu celah besar dalam film ini karena tidak menggali sudut pandang dan pemikiran Dinda. Karakter ini seolah-olah hanya dijadikan figuran dalam kisahnya sendiri. Padahal, dialah sesungguhnya korban di sini. Bukan hanya dari satu orang, tapi dari tiga laki-laki yang memanipulasinya dalam hubungan yang mengatasnamakan cinta. Hubungan-hubungan yang tak ubahnya sebuah penjara yang menguras emosi dan harga diri Dinda sebagai manusia dan perempuan.
Film tentang kekerasan dalam pacaran
Film ini hanya menyoroti Kale, dan dia pun bahkan tidak diidentifikasikan secara konsisten dalam film ini. Tapi sudut pandang Dinda sendiri tidak disoroti. Tahu-tahu dikisahkan kalau Dinda selingkuh dan mau pergi meninggalkan Kale.
Baca juga: Kekerasan dalam Pacaran: Bukan Tanggung Jawab Kita untuk Perbaiki Pasangan
Substansi dialog di antara tokoh-tokoh dalam film ini hanya berputar seputar bagaimana Kale sudah melakukan banyak hal buat membahagiakan Dinda. Bagaimana Kale cemburu, marah, dan protektif berlebihan itu buat menjaga Dinda, dan bagaimana Kale adalah korban dari kesalahan ibunya yang meninggalkan ayahnya. Hal ini menormalisasi sikap Kale yang mengekang Dinda supaya keduanya jadi baik-baik saja menurut kamus Kale.
Alhasil Dinda tampak menjadi sosok antagonis yang sudah menghancurkan hidup Kale, dan membuat cowok itu jadi cowok anti-komitmen dan menyakiti hati perempuan lain di tahun-tahun mendatang.
Argo digambarkan sebagai karakter kasar, tapi Kale juga tidak lebih baik. Dia membentak-bentak Dinda, menghancurkan barang di seisi kamar hotel, dan bahkan hampir menampar Dinda, karena cemburu setelah tahu Argo sempat menemui Dinda lagi. Kedua laki-laki itu sama-sama tidak mempercayai Dinda dan selalu meragukan kesetiaan cewek itu.
Dalam beberapa film tentang kekerasan dalam pacaran, juga dalam The Story of Kale, secara tipikal karakter-karakternya digambarkan punya luka mendalam karena masa kecilnya. Kale digambarkan punya abandonment issue karena ditinggalkan ibunya, yang membuat dia menjadi orang yang posesif. Dinda menganggap normal kekerasan dari para lelaki di sekitarnya karena menyaksikan ibunya selalu memaklumi perlakuan ayahnya.
Baca juga: Pasangan dalam Film yang Tak Seharusnya Jadi #CoupleGoals
Ini tidak salah, tapi sejumlah pelaku kekerasan tidak punya trauma masa kecil. Mereka menjelma sebagai pelaku kekerasan memang karena konstruksi budaya patriarkal dalam masyarakat dan budaya maskulinitas yang toksik.
Demikian juga dengan korban atau penyintas kekerasan. Mereka selalu dihantam doktrin-doktrin untuk menjadi perempuan patuh dan submisif, dan bahwa keutuhan hubungan dan keluarga adalah tanggung jawabnya, sehingga “berkorban” kerap kali adalah jawabannya.
Mengambil latar trauma masa kecil dan keluarga, menurut saya, adalah jalan pintas yang agak malas dari film ini. Selain itu, ini jadi apologetis terhadap kekerasan yang dilakukan Kale.
Satu lagi pelajaran penting bagi para sineas yang mengangkat kisah-kisah kekerasan seperti The Story of Kale ini. Tolong sertakan trigger warning alias peringatan pemicu sejak awal film. Terpaksa memutar kembali ingatan buruk akan luka masa lalu terkait pacar abusive karena melihat gambaran jelasnya di film tanpa terlebih dahulu diingatkan, sama sekali bukan pengalaman yang menyenangkan buat saya.