Lifestyle

Tradisi Natal Keluarga Indonesia dan Angan Ideal ala Hollywood

Akibat tidak ada tradisi Natal khusus di keluarga bak film Hollywood, saya jadi berasumsi perayaannya hanya akal-akalan orang kulit putih belaka.

Avatar
  • December 13, 2021
  • 5 min read
  • 474 Views
Tradisi Natal Keluarga Indonesia dan Angan Ideal ala Hollywood

Tumbuh sebagai anak di keluarga Nasrani, saya punya ekspektasi tinggi setiap masa adven tiba—masa pengharapan dan persiapan untuk menanti kedatangan Yesus Kristus, selama empat pekan sebelum hari Natal. Hal ini muncul tak lepas dari kemeriahan dekorasi Natal di pusat-pusat perbelanjaan, diiringi gambaran tradisi hari raya tersebut di film-film Natal Hollywood.

Mulai dari tukar kado atau menerima hadiah dari Santa Claus, seekor ayam panggang utuh disajikan di atas meja makan, menghias kue jahe, minum eggnog, menggantung kaos kaki di atas perapian, main games dan menyaksikan film bersama, berkunjung ke Christmas market, hingga turunnya salju di malam Natal menciptakan gambaran akan suasana Natal idaman di kepala saya.

 

 

Yang terakhir mungkin satu-satunya hal yang bisa ditoleransi—maklum, selama 22 tahun hidup, saya selalu merayakan Natal di negara beriklim tropis. Lantas sisanya menjadi harapan palsu dan imajinasi belaka karena kenyataannya, enggak ada satu pun hadiah yang pernah saya terima. Paling mentok, kami hanya memasang pohon Natal yang sepertinya tahun ini enggak dipasang.

Memang sih, setiap negara memiliki tradisi perayaan Natal berbeda. Yang saya sebutkan di atas misalnya, mayoritas dirayakan warga AS, Britania Raya, Australia, dan Belanda. Sementara di Indonesia, yang terpenting adalah ibadah di gereja pada Malam Natal dan Hari Natal, disusul kegiatan lain yang lazimnya diisi dengan kumpul keluarga. 

Baca Juga: Surat dari Si Bungsu: Paling Dimanja, Hidup di Bayang Kakaknya

Sebetulnya, masyarakat di kota-kota tertentu memiliki budayanya masing-masing. Contohnya penduduk di Kecamatan Leitimur Selatan, Ambon, biasa mengadakan upacara adat “cuci negeri”, lambang pembersihan dan penyucian diri dari dosa. Atau festival Lovely December di Toraja, yang diisi dengan karnival budaya, tarian massal, pameran kerajinan tangan, festival kuliner, dan pertunjukkan musik bambu.

Bagaimana perayaan Natal di keluarga saya? Kami cukup pergi ke gereja dan menyiapkan makanan untuk open house, menyambut keluarga besar yang datang. Makanan yang disajikan enggak jauh berbeda dari Lebaran, pasti ada berbagai jenis kue kering. Terkait hidangan utama, mungkin ayam kodok paling mendekati ayam panggang yang selalu saya impikan. 

Dari tahun ke tahun, menu keluarga kami justru mirip besek tahlilan, arisan, atau pesta pernikahan. Pada 2017 misalnya, kami memesan katering untuk acara open house. Menunya pempek, gurame asam manis, kimlo, dendeng balado, serta dua jenis puding dan buah-buahan sebagai makanan penutup. Enggak ada nyambung-nyambungnya, kan?

Baca Juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan

Perbedaannya hanya pada 2019, Natal terakhir yang dirayakan bersama keluarga besar sebelum pandemi. Seorang tante menyewa sebuah ruangan di restoran dengan hidangan khas Italia, Jepang, dan Indonesia. Apabila dinilai dari makanannya, buat saya, hari itu adalah perayaan Natal terbaik yang patut saya ingat seumur hidup.

Selama acara makan siang pun enggak ada aktivitas menarik selain mendengar perkembangan kehidupan setiap anggota keluarga. Pastinya, “pertanyaan-pertanyaan wajib dan ajaib” yang mengawali obrolan enggak absen diucapkan para tante dan bude.

“Wah udah semester akhir. Kapan lulus?”

“Kapan nikah?”

“Ayo nambah anak dong, masa cuma satu. Emangnya X enggak pengen punya adik?”

Intinya, di keluarga saya enggak ada kegiatan khusus atau resep yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hanya rentetan pertanyaan tersebut, yang bikin gemas para kakak sepupu. 

Karena itu, saya pernah berasumsi perayaan Natal ini akal-akalan orang kulit putih saja. Bagaimana tidak, tradisi mereka tampak lebih seru, berkesan, dan penuh kebahagiaan, seperti benar-benar menghargai kehadiran satu sama lain di hari spesial tersebut.

Baca Juga: Resepsi Pernikahan Mahal Demi Gengsi Keluarga

Rasanya kami tidak punya ciri khas, dan itu yang sebenarnya disayangkan. Setiap tahunnya, enggak ada keinginan menghadirkan sesuatu yang baru. Wong suasana Natal cuma dihadirkan lewat pohon yang dipasang sampai awal tahun baru. Padahal, keluarga kami sudah masuk generasi keempat. Atau mungkin itu ciri khas keluarga kami?

Pernah suatu hari saya bertanya ke Ibu, mengapa kami enggak mengadakan tukar kado setelah menyaksikan kakak sepupu memberikan hadiah untuk anaknya yang diletakkan di bawah pohon Natal. Tentunya dengan embel-embel dari Santa Claus. Jawabannya, “Enggak ada kebiasaannya, dari awalnya udah begitu.”

Enggak ada yang salah dengan jawaban Ibu. Mungkin saya terlalu banyak menonton film-film Natal, atau melihat kehangatan keluarga selebritas mancanegara, lewat Instagram story maupun artikel hiburan milik majalah gaya hidup ternama.

Bagi sebagian orang, mungkin kumpul bersama keluarga merupakan inti dari perayaan Natal, sedangkan saya adalah korban kapitalisme dan komersialisme. Namun, dalam jangka panjang, saya ingin mengadopsi sedikit tradisi Natal yang dilakukan para karakter dalam film yang saya tonton. Pun saya meyakini, yang mereka lakukan tersebut mempererat ikatan keluarga, yang sejauh ini belum begitu terasa di keluarga saya. 

Caranya sederhana. Mulai tahun ini, saya berjanji memberikan kado Natal untuk diri sendiri, sekaligus berperan sebagai secret santa untuk keponakan dan teman terdekat. Ini bukan perkara materi, melainkan menawarkan kebahagiaan lebih untuk sesama. Because all I’ve known, Christmas is about giving.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dian Herfina