Tiga obsesi terbesar manusia Indonesia adalah Tuhan, seks, dan berat badan.
Dalam budaya kita, menyapa seseorang dengan komentar soal berat badan atau penampilan fisiknya mungkin sama lazimnya dengan minum air atau menghirup udara. Persetan kamu baru kenal, bertemu hanya setiap bulan purnama, atau memang berteman atau bersaudara dengan oknum tersebut.
Seumur hidup, saya tidak pernah berhenti bergumul dengan narasi berat badan dan penampilan fisik. Saya tidak pernah mengingat masa di mana berat badan saya tidak menjadi masalah. Bahkan ketika sebenarnya fisik saya tidak sebesar itu, tetap saja di dalam kepala saya melihat diri sendiri sebagai sosok yang besar, aneh, dan jelek—dan karenanya, tidak pantas untuk diinginkan atau bahkan dicintai.
Asal muasal citra diri yang ambyar ini tentu saja body shaming oleh keluarga sendiri. Meskipun ibu saya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kondisi genetik dan asupan gizi saya, dia juga adalah orang yang paling aktif mempermasalahkan hasil yang ditimbulkan dari hal-hal tersebut. Konon, ibu saya pernah melalui satu masa hidup di mana dia kurang lebih ditelantarkan oleh kakek-nenek saya: dikirim ke sebuah sekolah asrama di luar kota dan jarang dikasih uang simpanan untuk makan atau jajan. Walhasil, dia bertekad untuk tidak mengulang hal yang sama kepada anak-anaknya.
Sepintas mungkin ini terdengar seperti sebuah niat yang mulia. Dalam perjalanannya, dia kebablasan. Saking ingin balas dendam terhadap masa lalunya, prinsip hidupnya berubah dari eat to live menjadi live to eat. Posisinya sebagai orang tua tunggal memberikan dia akses dan dominasi penuh untuk memaksakan paham ini ke saya dan kakak saya, yang akhirnya saya pribadi langgengkan untuk waktu yang begitu lama.
Maka dari itu, ironis bahwa kemudian dia yang paling sering melontarkan komentar semacam, “Sebenarnya kamu cakep kalau kurusan” atau “Kalau kamu enggak gendut, lebih ganteng, loh.” Awalnya semua ini saya tangkis dengan argumen bahwa dia punya andil besar dalam level kegantengan dan pola makan saya. Setelah sekian lama kenyang mengenyam manifestasi kebencian ibu saya terhadap dirinya sendiri, akhirnya saya sampai di titik di mana semua itu saya anggap angin lalu saja.
Baca juga: #BodyGoals Alias Jadi Nyaman dengan Tubuh Sendiri
Beberapa tahun lalu, saya bertemu seseorang dari aplikasi kencan gay dan cukup akrab dengannya. Ingin mengenalnya lebih dalam, kami pun berbincang-bincang secara virtual. Obrolan santai seputar film yang seru tak disangka malah berubah menjadi ceramah yang sama sekali tidak seru dan berujung pada kesimpulan bahwa apabila saya mengubah penampilan lewat berat badan, semua lelaki yang pernah menolak saya akan—dan di sini saya mengutip persis kata-katanya—“merangkak-rangkak memohon kembali” kepada saya.
“Soalnya lo anaknya kan seru banget,” alasan dia. Hmm oke. Setidaknya dia masih bisa menemukan sisi positif kepribadian saya.
Jikalau skenario tersebut terasa familier, itu karena memang sudah pernah terjadi sebelumnya. Saat itu, saya sedang nongkrong di sebuah restoran cepat saji bersama ketua sebuah komunitas gay di mana saya sempat menjadi anggota. Polanya pun sama: Berawal dari obrolan ringan, berakhir dengan penghakiman tentang betapa menurut dia saya akan lebih menarik dan digandrungi seandainya saja saya menurunkan berat badan sekian kilo.
“Tapi kan gue akan tetap jadi orang yang sama mau kurus atau gemuk,” protes saya.
“Enggak lah, beda. Percaya deh,” tangkis dia, sambil mengecap satu dari dua ayam goreng tepung berukuran besar di piring kertasnya.
Saya diam saja, menghela nafas sambil mengaduk-aduk salad di depan mata.
“Gue tahu ini terdengar enggak adil. Tapi mau gimana lagi? Memang begitu kultur gay di Jakarta,” tandasnya seraya menyeruput coke berukuran besar.
Saya kembali diam saja dan memilih untuk meneguk air mineral demi melegakan tenggorokan yang tiba-tiba terasa tercekat.
Baca juga: Budaya Kencan Gay: Rumit dan Diskriminatif
Eksperimen sosial yang gagal
Dua kejadian ini akhirnya membuat saya bertekad untuk membuktikan hipotesis bodong para gay mapan ibu kota ini. Terlebih, di kala itu saya sedang dekat dan jatuh cinta dengan seorang pria asing yang adalah sosok impian saya. Saya pun turut berhipotesis bodong: Mungkin saja cowok bule ini akan lebih menyukai saya apabila penampilan saya lebih normatif, lengkap dengan menumbuhkan kumis dan jenggot.
“Hitung-hitung semacam eksperimen sosial. Apa salahnya juga coba sesuatu yang baru?” begitu pikiran saya di kala itu.
Lewat mengubah pola makan dan aktivitas, akhirnya berat badan saya turun drastis dalam kurun waktu beberapa bulan. Saya bertransformasi menjadi versi terlangsing diri saya di usia dewasa. Ucapan pangling, decak kagum, dan segala macam puja-puji yang saya terima pun menjadi validasi yang membangkitkan rasa percaya diri saya. Di saat yang sama, tidak sedikit pula yang bertanya-tanya apakah saya sakit. Ibu saya bahkan mengira saya mengonsumsi obat-obatan terlarang. (Padahal tempat tinggal kami kecil dan di titik ini saya bekerja purnawaktu di rumah. Kalau memang benar, tentunya dia akan langsung tahu, bukan?). Intinya: Kurus salah, gemuk apalagi.
Segala gegap gempita ini pada akhirnya berlangsung sementara waktu saja. Tidak ada lelaki dari masa lalu saya yang merangkak-rangkak memohon kembali. Hubungan romantis saya dengan pria asing tersebut pun kandas. Dekat dengan pria asing lain, saya malah kembali ditolak dan dia malah tidur dengan seorang teman lain, yang lebih langsing dan, ya, “eksotis” daripada saya. Ingin membuktikan diri bahwa saya dalam versi lebih kurus pantas untuk diidamkan, saya dekat dengan beberapa pria lain. Hasilnya nihil. Sekalinya kembali menjajaki hubungan serius, malah berujung pada suatu narasi nahas.
Obsesi yang berlebihan terhadap penampilan tidak pernah membuat siapa pun lebih nyaman, apalagi bahagia, dengan dirinya sendiri.
Ternyata, ucapan saya bertahun-tahun sebelum itu benar adanya: mau kurus atau gemuk, saya akan selalu jadi diri sendiri, yang pada dasarnya tidak normatif—atau lebih tepatnya, ditakdirkan gagal untuk menjadi normatif. Mengubah penampilan menjadi normatif tidak serta-merta membuat pola perilaku dan cara pandang saya akan dunia, yang sekian lama terbentuk dan terasah dalam versi-versi diri saya yang muncul terdahulu, berubah dalam kurun waktu semalam, meskipun saya tergoda dan berusaha keras menjajaki potensi tersebut.
Gemuk lagi tapi tidak ambil pusing
Kondisi pandemi COVID-19 di tahun ini yang mengharuskan berada di rumah pun pada akhirnya membuat badan saya kembali gemuk. Ketika sesekali beraktivitas di luar rumah dan bertemu dengan orang lain, masih saja saya mendapatkan komentar seputar berat badan, entah dari kawan-kawan yang sudah mengenal saya bertahun-tahun atau bahkan petugas kantor notaris yang saya temui rata-rata sekali setahun saja. Semuanya merasa memiliki kepentingan khusus dengan berat badan dan penampilan fisik saya. Seakan-akan saya, yang memiliki dan meninggali tubuh sendiri, tidak sadar bahwa ya, memang benar saya memang lebih gemuk dibandingkan terakhir kali saya bertemu mereka. Lalu kenapa? Di mana letak masalahnya?
Akhirnya saya memilih untuk tidak lagi peduli apakah berat badan saya naik atau turun. Saya yakin sekali bahwa kita semua sejatinya lebih dari sekadar fisik atau segala atribut yang melekat (atau dilekatkan) pada raga manusia yang fana ini. Faktanya, memang tubuh manusia bersifat fluktuatif: kadang lebih besar, kadang lebih kecil—begitulah adanya. Saya bisa tak berhenti berharap bisa punya metabolisme tubuh tertentu atau tinggi badan tertentu, namun buat apa? Saya pikir obsesi yang berlebihan terhadap penampilan tidak pernah membuat siapa pun lebih nyaman, apalagi bahagia, dengan dirinya sendiri.
Modus operandi saya pribadi adalah ingin selalu menilai orang berdasarkan karakter dan tindak-tanduknya ketimbang penampilannya. Dalam kultur gay, saya akhirnya belajar dan mengalami sendiri bahwa ini bukanlah praktik yang lazim atau opini yang populer. John Pachankis, ahli kesehatan jiwa khusus LGBTQ dari Universitas Yale, mengatakan bahwa kultur gay “kerap berfokus pada status, bersifat kompetitif, hierarkis dan eksklusif.” Meskipun sifat-sifat ini bisa ditemukan di kalangan pria pada umumnya, tendensi ini semakin menguat di komunitas gay sebagai kelompok yang bersosialisasi dan melakukan seksualisasi satu sama lain secara bersamaan.
Baca juga: Budaya ‘Gym’ dan Citra Tubuh yang Buruk: Pengalaman Saya
Saya pun jadi menyadari bahwa sebenarnya saya tidak pernah membenci memiliki tubuh yang gemuk hingga gempuran media dan tekanan sosial yang bertubi-tubi mendorong saya untuk membenci tubuh saya sendiri, satu-satunya tubuh yang saya miliki dan akan selalu saya miliki sampai mati. Kini, saya lebih memilih bertanggung jawab bukan hanya atas kesehatan pribadi namun juga untuk alam, lingkungan dan ekosistem global dengan menjadi vegan dan bercocok tanam di rumah. Pilihan ini malah membuat saya merasa jauh lebih “penuh”, tenteram dan bahagia, meskipun kini banyak kaus yang sudah kekecilan dan celana jin yang sudah tidak bisa dikancingkan lagi.
Tapi saya tidak lagi ambil pusing. Toh saya memang lebih menggandrungi pakaian yang berukuran lebih besar ketimbang yang mengikuti bentuk tubuh. Terkadang apabila misalnya saya melihat foto-foto pribadi dari periode lebih langsing, justru saya malah merasa kasihan terhadap diri sendiri. Mungkin secara estetika saya lebih sedap dipandang mata, namun saya bisa melihat bahwa sebenarnya di kala itu saya tidak bahagia, tidak sepenuhnya nyaman dengan diri sendiri dan terlihat jelas ingin membuktikan sesuatu, entah apa atau kepada siapa.
Sekarang, saya tidak lagi berandai-andai menjadi lebih langsing atau lebih tinggi, atau kata sifat apa pun yang menurut masyarakat akan membuat saya lebih menarik dan karenanya lebih diterima. Saya tidak lagi merasa perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun, terlebih kepada diri sendiri. Saya sudah cukup hanya dengan menjadi diri sendiri, saat ini, apa adanya.