Issues Lifestyle Opini

Lagu ‘Teman-temanku Udah Nikah, Aku Masih Nonton Spongebob’ adalah Perlawanan pada Stereotip Perawan Tua

Perempuan yang belum menikah kerap dilabeli sebagai perawan tua. Jika sudah begini, 'circle' pertemanan yang supportif adalah 'koentji'.

Avatar
  • September 1, 2023
  • 4 min read
  • 1577 Views
Lagu ‘Teman-temanku Udah Nikah, Aku Masih Nonton Spongebob’ adalah Perlawanan pada Stereotip Perawan Tua

Umurku udah dua puluh lima tahun
Kalau bangun siang
Kalau malam begadang
Teman temanku udah nikah
Aku masih nonton Spongebob

Belakangan lagu “Teman-temanku udah nikah, aku masih nonton Spongebob” seliweran di jagat maya. Aku merasa cukup relate dengan lagu besutan musisi Refi dan Fauna itu mengingat desak-desakan menikah juga tampak di sekitarku. Lagu itu tak cuma pas menggambarkan realitas perempuan di usia 25 tahun ke atas. Namun, juga mengandung kritik tersembunyi yang amat jujur dari penyanyinya. Sebuah kritik yang mewakili suara-suara dari perempuan sepertiku.

 

 

Bagaimana tidak, tahun ini usiaku dianggap orang-orang sekitar, semakin matang untuk menikah. Jujur, awalnya aku sempat insecure ketika tuntutan menikah datang bertubi-tubi. Aku rasa perempuan lain yang melampaui usia 25 atau 30 tahun mesti siap-siap dilabeli perawan tua oleh masyarakat.

Sebuah label yang kelewatan seksis dan diskriminatif. Kenapa cuma perempuan yang lebih banyak disalahkan dan dilekati label? Mereka kerap menggunakan alasan batas usia reproduksi dan menopause sebagai pembelaan. Padahal tanpa disadari, menyebut perempuan dengan perawan tua atau perempuan kadaluarsa sama saja menganggap kami sebagai objek belaka.

Baca juga: Perempuan Bukan Barang Dagangan, Tak Punya Masa Kadaluwarsa

Tuntutan Menikah Sudah Seperti Iklan Obat Saja

Penyebab stereotip tentang perempuan kadaluarsa atau perawan tua itu tetap langgeng? Menurut analisisku, karena banyak perempuan juga yang mengamininya. Bahkan tak jarang sesama perempuan saling membandingkan dan berkompetisi baik di ruang maya atau nyata.

Dalam kasusku, ada saja teman perempuan yang baru menikah, lalu sibuk mengompori perempuan lajang untuk segera menyusul. Seolah-olah pernikahan adalah obat dari segala obat, core from the core, dan penyelamat perempuan. Dengan berbagai alasan, termasuk dalil agama, para perempuan ini getol “mengiklankan” pentingnya cepat-cepat menikah. Aku jadi ingat tagline iklan, “apapun makanannya, minumnya…” Mirip seperti itu.

Ketika lelah bekerja, menghidupi diri sendiri, solusinya adalah menikah. Ketika mumet dengan urusan skripsi, tesis, dan kawan-kawannya, solusinya adalah menikah. Ketika bosan, foto sendiri terus, solusinya adalah menikah. Ketika lelah membawa kendaraan sendiri, solusinya adalah menikah. Satu lagi, ketika musim hujan, lalu kedinginan, maka solusinya adalah menikah (katanya) agar ada yang memeluk dan menghangatkan.

Sebuah tuntutan yang menurut saya kurang mashook karena pernikahan yang tak didukung kesiapan fisik dan mental, justru melahirkan beragam persoalan. Pernikahan bukan soal kepenuhan perempuan, toh ada juga perempuan yang merasa penuh tanpa harus terlibat menjadi istri seseorang.

Baca juga: Ramai-ramai ‘Waithood’, Tak Apa Menikah di Atas Usia 30

Selemah-lemahnya Iman: Ubah Mindset tentang Pernikahan

Maraknya tuntutan menikah itu membuatku coba mendekonstruksi narasi yang kerap orang-orang gunakan tiga tahun terakhir. Aku memilih untuk tak lagi memusingkan atau terbebani dengan status lajang atau menikah. Jika mereka menganggap perkataanku sekadar pembelaan dari jones (jomblo ngenes), aku juga masa basa bodoh. Buatku, jauh lebih penting untuk mencemaskan kesiapan kita sebelum akhirnya memutuskan atau tidak memutuskan masuk ke institusi bernama pernikahan.

Dalam hal ini, aku punya tips jitu untuk menghadapi ocehan “pengiklan pernikahan” dan mendekonstruksi narasi mereka. Mengutip Ester Lianawati dalam bukunya “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan” (2020), “Anehnya semua orang meminta kita cepat-cepat  menikah, tanpa membeberkan persoalan-persoalan yang mereka alami.”

Seorang Ester memilih untuk ambil jalan sunyi. Maksudnya, alih-alih mengisahkan tentang yang indah-indah dari pernikahan, Ester mengajak kita jujur untuk membuka manis dan pahitnya pernikahan. Sehingga, kita akan bisa lebih mawas dan mempersiapkan diri.

Aku rasa, hal ini juga dimaksudkan untuk membangun kesadaran individu agar tidak tergesa-gesa. Agar tidak melulu membiarkan diri dihantui dengan mitos-mitos usia yang mengharuskan perempuan menikah tanpa terlebih dulu mempertimbangkan kesiapan fisik, mental, dan finansial. Kesiapan yang tak bisa dipatok dengan angka, karena masing-masing perempuan punya garis waktunya, seperti kata artis Prilly Latuconsina.

Ketika aku masih asyik menikmati lagu ini, teman-temanku sibuk membuat bubur bayi, mengasihi, dan menyiapkan kebutuhan keluarga. Aku pikir selama mereka bahagia, dan aku bahagia pula dengan pilihanku, tak jadi soal. Yang jadi masalah ketika mereka memaksakan standar kebahagiaan yang dipunya untukku atau perempuan lainnya.

Baca juga: Di Antara Tuntutan Kawin dan Karier, Kata Siapa Lelaki Tak Menderita?

Circle Pertemanan yang Bikin Waras adalah ‘Koentji’

Selain mendekonstruksi narasi cepat menikah, aku juga melakukan “jihad akbar “dalam memilih lingkungan pertemanan sehat. Beruntung, teman-teman yang sudah menikah tak membuatku merasa insecure, tak penuh, atau tak berharga. Kami memilih saling dukung dan menghargai pilihan hidup masing-masing.

Seyogyanya setiap circle perempuan bisa melakukan hal yang sama. Tak perlu terus mengompori teman perempuan yang masih lajang untuk segera menikah. Berikan mereka testimoni jujur darimu tentang pernikahan. Agar keputusannya untuk menikah tidak karena merasa iri terhadapmu. Sebaliknya, itu berangkat dari kesiapan maupun kesadaran diri sendiri, jika pernikahan tak melulu soal bersenang-senang saja. Tak seremeh-temeh merasa kedinginan, lalu ada pasangan yang bisa menghangatkan.

Pasangan menikah kita kelak harus menjadi mitra untuk bertumbuh bersama. Teman suportif dan tentu sebagai lawan bicara yang aman dan nyaman untuk berdiskusi. Tanpa membebankan pada dia soal garansi bahagia sepanjang masa.

Aku pikir lagu “Teman-temanku Udah Nikah, Aku Masih Nonton Spongebob” dengan kesederhanaannya, mengingatkan kita tentang itu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ainun Jamilah

Ainun Jamilah adalah Founder Cadar Garis Lucu. Pegiat isu kebebasan berkeyakinan dan beragama (KBB), dan keadilan gender Islam ini merupakan alumni Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Alauddin Makassar. Ainun kerap membagikan agitasi-agitasi liarnya seputar agama dan hak-hak perempuan di akun Instagram pribadinya dengan nama @_haiininuun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *