‘The First Slam Dunk’: Nostalgia Manis yang Berbalut Cerita Duka
Setelah penantian panjang lebih dari 20 tahun, ‘The First Slam Dunk’ berhasil membawa nostalgia pada penggemar lamanya.
Peringatan: Spoiler!
Selama lebih dari dua puluh tahun, penggemar Slam Dunk, manga dan anime legendaris Garapan Takashi Inoue harus puas dengan babak penutupnya yang kontroversial. Saat cerita Slam Dunk sedang seru-serunya, Inoue memutuskan mengakhiri manga garapannya di volume ke-31.
Baca Juga: 8 Drama Korea Detektif yang Seru dan Menegangkan
Dalam babak akhir ini, SMA Shohoku diceritakan sukses mengalahkan Sannoh yang merupakan tim paling hebat di Kejuaraan Interhigh, turnamen bola basket SMA bergengsi di Jepang. Namun kemenangan Shohoku tak berlangsung lama. Secara off-screen alias tidak diceritakan langsung secara detail, Shohoku dikalahkan Aiwa Gakuin karena kelelahan.
Cerita Slam Dunk pun ditutup dengan Hanamichi yang katanya bakal kembali ke basket setelah menjalani terapi cedera pungung akibat aksi “akrobatnya” selama melawan Sannoh. Titik.
Ujung Slam Dunk ini menciptakan dua kubu di antara para penggemar setianya. Ada tidak puas dengan ending “dadakan” ini karena terlalu banyak menimbulkan pertanyaan tak terjawab. Tetapi, ada juga yang sudah merasa puas, karena tujuan Akagi masuk ke Kejuaraan Interhigh sudah terlaksana dan Hanamichi akhirnya menyatakan perasaan cinta yang tulus pada basket.
Walau penggemar terbelah jadi dua kubu, tak ada yang bisa menolak fakta bahwa cerita Slam Dunk layaknya kekasih yang sepihak diputus cintanya saat sedang sayang-sayangnya. Memaksa para penggemarnya untuk “move on” dari lima bujang kesayangan mereka.
Namun, tepat pada 6 Desember 2021, Inoue memberikan kejutan pada penggemar setia Slam Dunk. Ia umumkan akan menggarap film The First Slam Dunk. Pengumuman ini tentu disambut baik para penggemar Slam Dunk dan setelah lebih satu tahun berlalu, film ini liris di Jepang pada 3 Desember 2022 lalu dan di Indonesia pada 22 Februari 2023.
Lewat film The First Slam Dunk, penggemar Slam Dunk yang kini sudah bisa dipanggil ibu-ibu, bapak-bapak, atau om serta tante diberikan kesempatan lagi untuk jatuh cinta setelah dipaksa move on.
Baca Juga: Review ‘Enola Holmes 2’, Film Manis Paling Feminis Tahun Ini
Nostalgia Anime ‘Sports Anti-Mainstream’
Berbeda dari tahun 90-an, anime sports kini banyak sekali macamnya. Mulai dari cabang olahraga (cabor) renang, lari maraton, polo air, hingga panahan, semua tersedia dan gampang diakses penonton seluruh dunia. Namun, di tengah produksi anime-anime sports yang banyak dirilis pada tahun 2010 ke atas, ada kekhasan yang dibawa Slam Dunk yang tak bisa tergantikan.
Pertama, anime sports umumnya punya protagonis yang kurang lebih sama. Mereka adalah individu yang sedari awal memang passionate dengan cabor tertentu. Passion membuat karakter mereka ambisius, pantang menyerah, dan sekaligus jadi panutan tak langsung bagi penontonnya. Hal yang membuat mereka layak dapat predikat protagonist andalan penulis manga/anime.
Slam Dunk menariknya tak punya ini. Sakuragi Hanamichi sebagai protagonis sebaliknya digambarkan Inoue bukan orang yang sedari awal punya passion terhadap basket. Dia mantan preman. Punya reputasi besar dengan badan bongsor dan kekuatan fisiknya.
Dia tak pernah kepikiran main basket sampai akhirnya dia tobat dan baru menjajal basket setelah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Haruko Akagi, adik perempuan kepala tim basket Shohoku, Takenori Akagi.
Hanamichi si newbie tentu jadi bahan omelan Takenori. Dia kesulitan memahami peraturan dalam basket bahkan cara bermainnya. Ini juga jadi alasan dia jadi rival bebuyutan teman satu timnya sendiri, Kaede yang memang “terobsesi” dengan basket. Tapi justru ini yang buat Slam Dunk jadi menarik.
Berkat Inoue yang terlibat sebagai penulis naskah dan sutradara, The First Slam Dunk berhasil menghidupkan kembali-kembali guyonan khas Slam Dunk. Ini disuguhkan lewat tingkah absurd Hanamichi, ketidaktahuan Hanamichi pada peraturan dan teknik basket, dan rivalitas konyol bak anak SD antaranya dengan Kaede selama pertandingan.
Tak lupa ini juga termasuk tingkah kurang ajar Hanamichi pada pelatih Mitsuyoshi Anzai di sela-sela pertandingan. Pola tingkah yang lahir karena ia menganggap dirinya sendiri sebagai tensai alias si jenius.
Kelakuan Hanamichi ini yang dari dulu jadi nyawa Slam Dunk dan bikin ngangenin. Kapan lagi nonton anime yang protagonisnya absurd dan main basket bukan karena passion tapi buat diakuin gebetan? Dengan kelakuan inilah, Hanamichi sukses bisa bikin penggemar tertawa terpingkal-pingkal atau malu sendiri.
Guyonan ini pun dalam The First Slam Dunk semakin diperkaya dengan dinamika unik para anggota tim Shohoku. Berbeda dengan anime-anime sports jaman now yang andalkan kekuatan persahabatan, Slam Dunk sejak dulu memang unik karena menampilkan dinamika tak biasa antar anggota timnya.
Hanamichi, Takenori, Kaede, Mitsui, Ryota, kelimanya adalah teman kontrak. Mereka terpaksa “berteman” hanya karena mereka satu tim basket saja. Jadi tidak ada tuh namanya persahabatan yang mampu menaklukan segalanya.
Kelimanya malahan suka sekali cari ribut. Jadi jangan heran di The First Slam Dunk momen yang tampilkan justru aksi “ceng-cengan” atau saling ejek, adu mulut, dan adu gengsi antar anggota tim. Ini jadi angin segar bagi penonton baru Slam Dunk dan nostalgia pas pada para penggemarnya. Apalagi kita tahu basket adalah olahraga yang sangat mengandalkan kerja sama tim, sehingga butuh keharmonisan relasi di antara para anggotanya.
Baca Juga: Surat Cinta Buat Doraemon, Karakter Kartun Revolusioner
Sudut Pandang Baru untuk Kisah Ryota
The First Slam Dunk bisa dibilang adalah paket lengkap. Tak hanya tampilkan humor mengocok perut dan ketegangan konstan lewat pertandingan seru antara Sannoh dan Shohoku, film ini juga menampilkan cukup banyak porsi drama.
Drama dalam The First Slam Dunk ditampilkan lewat sosok Ryota Miyagi, point guard andalan Shohoku. Penggemar dibiarkan masuk ke dalam masa lalu Ryota semasa kecil hingga remaja. Masa kecil yang punya peran penting dalam membentuk karakternya dan kariernya sebagai point guard handal.
Diceritakan Ryota kecil begitu dekat dengan sosok kakak laki-lakinya, Souta Miyagi. Sebagai pebasket andalan di prefektur Okinawa, Souta banyak memborong piala kejuaraan basket. Hal yang membuatnya begitu dikagumi dan jadi panutan bagi Ryota kecil.
Namun nahas, umur Souta tidak berlangsung lama. Dalam sebuah kecelakaan di tengah laut, Souta harus kehilangan nyawa. Meninggalnya sosok Souta memberikan dampak besar bagi Ryota. Buat bocah SD, memproses duka pasti sulit sekali rasanya. Apalagi sebagai anak laki-laki ia menginternalisasi peran untuk “jadi sosok kuat” di antara ibu dan adik perempuannya yang baru saja kehilangan satu anggota keluarga lagi.
Ini pun diperparah rasa bersalah yang menggerogoti dirinya. Rasa bersalah itu lahir lewat memori momen terakhir dengan Souta hadir lewat ungkapan kekesalan Ryota, yang ingin kakaknya itu untuk tak pernah kembali lagi di hadapannya. Penyesalan ini yang ia tebus lewat “obsesi” untuk jadi pebasket andal. Menggantikan nomor punggung 7 milik Souta.
Lewat kedua hal ini sayangnya membuat Ryota kesulitan memproses duka. Alih-alih berdamai dengan rasa kehilangan, Ryota justru berusaha menekan dukanya lewat cara yang sangat maskulin. Ia berkelahi, membuat onar, dan memendam rasa sedihnya. Ia tak pernah satu kali pun menangis. Meluapkan emosinya atau sekedar curhat dengan dua perempuan dalam keluarganya. Karena itu hanya mampu memperlihatkan kerentanannya.
Cara Ryota menekan rasa duka membuatnya secara tak sadar jadi berjarak. Tak hanya kepada diri sendiri tapi juga ibu kandungnya. Banyak momen penggemar diperlihatkan bagaimana baik Ryota dan ibunya semakin bertindak selayaknya orang asing yang tinggal satu rumah. Mereka hanya bertahan lewat rutinitas sehari-hari.
Pergulatan duka inilah ditunjukan Inoue sebagai point of view baru di The First Slam Dunk. Point of view khas yang sangat humanis karena selama ini tidak pernah disampaikan di versi anime dan manga. Hal ini pada gilirannya menjadikan karakter Ryota tak lagi hanya dipandang sebagai tokoh berandalan yang jago main basket, melainkan sebagai karakter hidup yang pengalamannya bisa beresonansi dengan para penggemar dalam level emosi tertentu.
Walhasil The First Slam Dunk pun tak hanya berhasil menghidupkan kembali nostalgia di antara penggemarnya. Film ini bukan hanya menawarkan guyonan menggelitik perut dan ketegangan konstan, tetapi juga porsi drama pas sebagai sajian segar bagi penggemar setianya untuk bisa memahami karakter yang tumbuh besar bersama mereka dalam level yang lebih humanis.