Issues

Surat Terbuka untuk Yusuf Mansur: Sedekah ya Sedekah, Bisnis ya Bisnis

Mencampuradukkan konsep bisnis dan agama jelas enggak ‘mashok’, Pak Ustaz.

Avatar
  • April 21, 2022
  • 7 min read
  • 1206 Views
Surat Terbuka untuk Yusuf Mansur: Sedekah ya Sedekah, Bisnis ya Bisnis

Assalamualaikum, Ustaz Yusuf Mansur. Media sosial sedang ramai dengan video Ustaz marah-marah sembari gebrak meja. Enggak cuma sekali tapi lebih. “Saya butuh duit Rp1 triliun buat ngegedein PayTren! Bisa! Mau Anda patungan?” kata Ustaz di video lawas yang konon sudah disunat, diedit, dan dimodifikasi netizen itu. Tentu saja saya setengah gemetar saat menontonnya, bagaimana mungkin figur yang biasa nongkrong di TV tiap Subuh, ngomong ndakik-ndakik soal nikmat sedekah, lengkap dengan ayat-ayat arkaik itu bisa demikian meledak? 

Imej yang terlanjur melekat di benak orang awam seperti saya adalah Ustaz orang baik. Lembut tapi juga tegas dalam kadar yang wajar. Bagaimana tidak baik? Ustaz konsisten mengingatkan umat Muslim untuk enggak melulu memikirkan urusan profan dan mulai sedekah tanpa pamrih.

 

 

“Siapa mau duluan kasih cincin. Kita hitung sampai 10, penonton yang maju kasih emasnya, cincin, gelang, kalung mudah-mudahan berangkat haji ke Baitullah, yang belum dapat jodoh bisa dikasih jodoh, yang belum punya anak dikasih anak, yang sakit disembuhkan. Ayo yang di luar mana yang di luar, pergi haji ini Inshaallah.”

Dalam sebuah potongan video ceramah ini, para jemaah nampak berduyun-duyun menyerahkan perhiasannya pada pemilik nama asli Jam’an Nurchotib Mansur tersebut.

Awalnya saya sempat suuzon, Ustaz. Pertama, cara Ustaz mengajarkan sedekah, kok justru terasa seperti tengah minta paksa alias memalak. Iya palak syariah karena disertai dengan ayat-ayat Quran tentang keutamaan berbagi. Tak lupa dengan iming-iming doa. Siapa coba yang mau menolak kalau yang mendoakan adalah orang saleh sekaliber Ustaz Yusuf Mansur.

Baca juga: Warisan, Kekuatan Sedekah, dan Kita

Dalam video yang lain, saya lihat Ustaz meminta Ibu Bupati untuk memberikan uang (baca: sedekah). Cuan Rp5 juta sudah Ustaz kantongi, eh Ustaz minta cincin yang tersemat di jari disetorkan pula. Saya kalau jadi Ibu Bupati, ditodong di depan publik ya, tengsin lah, kalau pun enggak ikhlas saya pasti akan sok tegar sumbangkan harta saya. Biar enggak dianggap sosialita pelit.

Ada lagi video yang disitir oleh Okezone, menunjukkan bagaimana Ustaz menjanjikan harta yang disedekahkan, bakal kembali 10 kali lipat. Jika jemaah menolak percaya, maka dianggap sebagai orang bodoh. “Motor berapa dijual, 7 juta. Kalo dikali 10, 70 juta. Lailaha Illallah Muhammadurrosulullah. Enggak percaya, kafir. Enggak percaya kafir. (Lalu) tidak jadi sedekah motor, bodoh,” ujarnya.

Potongan ceramah ini sekaligus membawa saya pada poin kedua. Bahwa Ustaz selalu bilang, barang siapa yang ikhlas sedekah, akan diganti bahkan ditambah harta duniawinya. Saya auto-mengernyitkan kening. Dari ilmu yang saya dapatkan selama ikut pesantren kilat, ikhlas sedekah mestinya dimaknai dengan menyisihkan harta untuk orang yang membutuhkan. Imbalannya jelas bukan hal-hal artifisial bin fana macam harta segunung, emas 24 karat, atau terpilih jadi presiden untuk ketiga kalinya.

Imbalannya murni pahala yang kadarnya cuma Tuhan yang paham. Marwah sedekah saja dari awal memang ditujukan untuk akhirat, alih-alih dunia seperti iming-iming Ustaz tiap ceramah. Entahlah, Ustaz, mungkin saya saja yang kurang ilmunya, lain kali saya akan ikut pesantren betulan, tak hanya paket kilat.

Kebaikan Ustaz tentu tak cukup sampai di sana. Mengajak orang ramai-ramai patungan usaha dan patungan aset, berbisnis dengan model ekonomi syariah juga termasuk kebaikan. Ini ibarat oase buat sobat randedhet macam saya untuk bisa jadi pengusaha atau juragan tanah dengan dana minim. Karena itu pula orang-orang tak ragu menguliti harta pribadi untuk mengekor Ustaz.

Dalam laporan Tirto (2017) disebutkan, patungan aset dilakukan dengan cara menyetor uang Rp1,5 juta untuk setiap sertifikat investasi. Sementara, patungan usaha lebih ngeri-ngeri sedap lagi, jumlah setorannya mencapai Rp12 juta per sertifikat. Dana tersebut sedianya dipakai untuk membeli hotel dan apartemen Topas di Jalan M. Toha—terletak di Pabuaran Tumpeng, kawasan Karawaci, Tangerang. Hotel itu Ustaz ubah namanya jadi Hotel Siti, sesuai nama istri kesayangan. Sebuah romantisme level dewa yang mungkin bisa disamakan dengan hadiah Taj Mahal dari Raja Mughal, Shah Jahan untuk sang istri Mumtaz Mahal.

Baca juga: 3 Cara Jaga Keuangan Selama Ramadan di Tengah Pandemi

Ternyata tak cuma Hotel Siti yang bermasalah hingga harus menghadapi gugatan perdata dari 12 investornya yang merasa dirugikan. Investasi Condotel Moya Vidi di Sleman, Yogyakarta pun sama amsyong-nya. Saya sempat baca sejumlah cerita yang dimasukkan dalam buku jurnalis Darso Arief Bakuama bertajuk Yusuf Mansur Menebar Cerita Fiktif, Menjaring Harta Umat dan Banyak Orang Bilang: Yusuf Mansur Menipu (2016). Darso yang mempelajari ceramah Ustaz dari zaman baheula itu menemukan kesamaan dari salah kelola investasi di atas. Salah satunya, bisnis dikelola tanpa mekanisme transparan, sehingga tak bisa memenuhi ekspektasi keuntungan yang dijanjikan di awal. Ah jangankan untung, betulan dieksekusi saja wallahualam. Selain itu, Darso juga menyimpulkan Ustaz kerap menjual cerita-cerita fiktif untuk memikat para jemaah.

Sampai sini saya masih coba berbaik sangka, Ustaz. Barangkali Ustaz memang betul-betul khilaf. Sama khilafnya saat Ustaz dulu dua kali masuk penjara pada 1998 dan 1999. Saya coba cari arsip berita yang menjelaskan soal alasan kenapa Ustaz bisa masuk hotel prodeo kala itu, tapi ternyata tak banyak yang bisa ditemukan atau dikonfirmasi. Liputan Solopos bilang Ustaz pasang badan saat temannya tersangkut penipuan Rp1,4 miliar, ada juga yang ngomong Ustaz menggelapkan mobil sewaan. 

Tentu saja saya akan tetap berbaik sangka selama belum ada bukti-bukti konkret berkekuatan hukum tetap. Sebagai informasi, kebanyakan kasus gugatan pada Ustaz memang masih menggantung, bahkan ada yang berakhir secara kekeluargaan.

Perihal baik sangka ini pula yang mungkin jadi penjelasan logis kenapa acara TV Yusuf Mansur tetap tayang hingga pandemi 2021 kemarin. TV pasti enggak akan sembarangan menggaet pemuka agama untuk tampil jadi wajah di platform mereka bukan? 

Masalahnya, sampai kapan saya harus berbaik sangka, Ustaz, ketika gugatan makin banyak, pun orang-orang yang “dibohongi” Ustaz kompak menyatakan kekecewaannya. Enggak mungkin juga, kan, orang se-Indonesia Raya sekongkol menjelek-jelekkan Ustaz tanpa angin tanpa hujan. Namun, kabar miring soal Ustaz makin tak terbendung: Penipuan patungan usaha, patungan aset, penggelapan dana, masih harus ditambahi dengan tuduhan bahwa Ustaz kerap melakukan pompom saham atau menghasut agar membeli kode emiten tertentu. Belum lagi masalah Paytren yang lima tahun belakangan panen masalah. Kalau soal anak Ustaz yang bikin hoaks belajar di Oxford mah yaudah lah ya.

Baca juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Muslim

Jangan Campurkan Bisnis dan Agama

Ustaz, sependek yang saya tahu, menggunakan agama untuk tujuan lain memang sudah marak dilakukan, baik untuk tujuan ekonomi, sosial, maupun politik. Pelakunya pun bisa siapa saja: Pendakwah, politisi, birokrat, pebisnis, jurnalis, akademisi, tukang asongan, dan lainnya. Apalagi kita sama-sama tahu, umat beragama, khususnya di Indonesia memang pasar yang menggairahkan untuk disasar para kapitalis agama.

Meminjam pernyataan Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi di DW, sebagian umat beragama terbilang loyal dan faithful, yang dengan gampang membeli produk-produk keagamaan, sehingga menguntungkan para “tengkulak” agama ini. Di Indonesia, di mana umat beragama lagi puber-pubernya, semua yang distempeli halal, biasanya langsung laris manis. Enggak cuma kosmetik halal, makanan halal, bahkan kulkas dan elektronik halal pun diserbu.

Mereka pasrah, tulus, ikhlas, dan lugu berbondong-bondong membeli aneka “produk islami” ini, kata Qurtuby. Tujuannya apa lagi kalau bukan mendapatkan ridla Allah dan kulakan pahala supaya kelak bisa masuk surga. Kalau mau masuk surga pilih pemimpin islami—tak ada salahnya, sih, kecuali calon pemimpin itu cuma meminjam stempel demi memulung suara warga. Kalau enggak mau sakit perut, belilah kulkas, penanak nasi, dan dispenser yang ada stempel halalnya. Kalau mau uangnya berkah, sedekahkan atau bikin patungan usaha yang langsung dikomandoi oleh Ustaz.

Baca Juga: Mobil Baru, Wirda Mansur, dan Salah Persepsi Tentang Sedekah

Orang-orang seperti Ustaz mungkin tahu persis cara memanfaatkan psikologi masyarakat kita yang gampang takjub dengan label-label agama. Namun, kalau mau belajar lagi dari pengalaman pribadi, sebaiknya enggak usah, lah, Ustaz pakai label-label agama kalau mau jualan, eh investasi maksudnya. Bisnis ya bisnis, agama ya agama. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *