Lifestyle

Apa Salahnya Mengejar Dunia Karena Kita Realistis?

Dalam menjalankan kewajiban agama, penting untuk tetap bersikap realistis supaya tidak membebani diri sendiri dan orang lain.

Avatar
  • January 4, 2021
  • 5 min read
  • 1163 Views
Apa Salahnya Mengejar Dunia Karena Kita Realistis?

“Sudahlah, jangan mengejar dunia. Dunia kan hanya sementara.”

Pernah mendengar kalimat seperti itu saat hendak mengejar mimpi? Saya sering. Meski demikian, saya masih suka bingung setiap kali mendengarnya lagi.

 

 

Sebagai warga negara Indonesia yang berideologi Pancasila, sepertinya kita semua sudah paham dengan konsep ketuhanan dalam agama yang mengajarkan ada kehidupan lain setelah kematian. Ada surga dan neraka yang merupakan pembalasan atas apa saja yang telah kita kerjakan di dunia. Semua tergantung beban dosa atau pahala yang lebih berat timbangannya.

Memang, “dunia hanya sementara”, tapi apakah bisa dikesampingkan begitu saja? Yang saya pahami, agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi berkah bagi sekitar: Membangun relasi yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Bukankah hal-hal tersebut seharusnya kita lakukan saat masih di dunia?

Relasi yang baik antara manusia dengan Tuhan bisa dilakukan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah Tuhan adalah hal-hal yang selama ini kita yakini sebagai sesuatu yang ideal seperti sikap bertanggung jawab, menjaga kerukunan, tolong-menolong, mengasihani, dan nilai-nilai ideal lainnya.

Baca juga: Mengkritik Agama Sendiri, Berani?

Lalu apakah salah jika kita mengejar mimpi? Saat seseorang bekerja keras agar menjadi orang kaya, muncul stigma bahwa ia hanya mengejar dunia. Padahal siapa yang tahu kalau ia memiliki misi mulia, yaitu membangun yayasan untuk anak-anak korban kekerasan?

Stigma memang tidak bisa muncul pada siapa saja tapi siapa saja bisa memunculkan stigma. Hanya karena bekerja lebih keras, jarang datang ke perkumpulan ibadah, bukan berarti seseorang melupakan kewajibannya kepada Tuhan.

Bisa jadi seseorang tidak bisa ikut pergi rombongan ziarah ke makam wali karena uangnya telah digunakan untuk memberi makan kucing-kucing yang terlantar. Bisa jadi ia tidak merayakan natal di gereja karena ia berkumpul di rumah dengan orang tua yang hanya ditemuinya saat libur tahunan. Apa pun alasannya, stigma itu tidak perlu ada.

Menjadi Realistis Tak Berarti Lupakan Akhirat

Semakin ke sini, seolah kita dituntut untuk bisa selesai antara agama dan karier. Sebenarnya, keduanya bisa berjalan bersamaan. Hanya saja standar mengenai menjalani kewajiban agama dengan baik dan karier yang patut diapresiasi membuatnya menjadi rumit.

Baca juga: Jilbab Bukan Kewajiban, Tapi Saya Tetap Memakainya

Masih banyak orang yang menilai ketakwaan seseorang dari atribut yang dikenakan, misalnya saja ada anggapan bahwa perempuan yang berjilbab lebih baik dari yang tidak berjilbab. Padahal, tidak ada yang benar-benar mengetahui ketakwaan seseorang selain Tuhan.

Atribut-atribut moral seperti celana dan jilbab adalah hal yang mudah dipolitisasi. Tidak adil menganggap perempuan yang mengenakan seragam kerja sebagai orang yang hanya mengejar dunia karena pakaiannya dianggap tidak sesuai perintah agama. Tidak adil menstigma seseorang hanya mengejar dunia padahal kita tidak kita tidak tahu alasan seseorang memilih pakaian, pekerjaan, bahkan agama yang dipeluknya.

Menjadi realistis bukan berarti melupakan akhirat. Menjadi realistis justru bisa menjadi cara untuk berbakti kepada agama. Banyak orang butuh kerja untuk memenuhi kehidupannya. Jika tidak bekerja, ia akan bergantung kepada siapa? Bukankah justru hanya menjadi beban masyarakat?

Banyak perempuan ingin sekolah setinggi-tingginya dan masih saja dibicarakan negatif oleh orang sekitarnya. Bukankah kalian bilang bahwa perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anak? Banyak orang ingin mengejar mimpi untuk mengisi hidupnya menjadi lebih berarti, berguna bagi masyarakat, mampu secara ekonomi untuk membantu sesama. Jadi, tolong berhenti mengatai orang lain “hanya mengejar dunia” karena sekali lagi, orang yang berusaha mengejar kehidupan yang lebih baik bukan berarti melupakan akhiratnya.

Mengingat akhirat bisa dilakukan kapan pun tanpa harus meninggalkan pekerjaan, tanpa harus menyudahi belajar, tanpa harus berhenti mengejar mimpi. Setiap orang ingin kehidupan yang lebih baik. Sah-sah saja fokus pada akhirat dan menepi dari kehidupan dunia seperti halnya sufi. Tapi bahkan, jika saya tidak keliru, Khalil Gibran yang seorang sufi pun bekerja dengan menjadi pelukis.

Disadari atau tidak, memiliki posisi strategis dalam lingkungan sosial akan memudahkan seseorang untuk menyebarkan ajaran-ajaran Tuhan. Untuk memiliki posisi strategis ini seseorang harus berusaha, bekerja keras, termasuk kerja keras untuk memiliki hal-hal yang bersifat material.

Acara Keagamaan Butuh Biaya

Bahkan menggelar acara-acara keagamaan yang melibatkan banyak orang membutuhkan biaya. Katakanlah, perayaan-perayaan hari besar agama atau mengundang orang ke rumahnya untuk mendoakan pasangannya yang sudah meninggal. Semua itu membutuhkan materi. Pemilik rumah akan sibuk menyiapkan suguhan apa yang pantas untuk orang-orang yang diundang dalam acara keagamaan di rumahnya.

Baca juga: Jilbab pada Anak Perempuan: Menganalisis Patriarki

Kalau memberikan seadanya, ada kekhawatiran pemilik rumah akan menjadi perbincangan di lingkungan tetangga, sehingga seseorang perlu bekerja terlebih dahulu. Tujuan bekerja kerasnya akhirnya adalah demi bisa mengadakan acara keagamaan, mengikuti kegiatan kelompok, dan memberikan suguhan yang baik. Iya, rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Meski demikian, apakah kita hanya terus diam dan tidak berusaha?

Mengejar dunia tidak salah selama dilakukan dengan cara yang benar dan untuk tujuan yang baik. Gemerlap dunia memang bisa memabukkan. Jangan sampai kita sengaja menyakiti orang lain demi kehidupan yang lebih baik atau demi ajaran yang diyakini. Semoga kita bisa menghormati pilihan masing-masing pribadi dan tetap menjaga kerukunan. Begitu pun dengan menepi dari kehidupan dunia, tidak masalah selama kita sudah memiliki cukup bekal untuk tidak merepotkan orang lain.

Jika kita fokus pada kehidupan akhirat, beribadah terus, namun untuk urusan makan dan kebutuhan lain masih menuntut pada orang lain, bukankah itu merugikan? Jangan sampai kalimat “dunia hanya sementara” dimaknai dangkal dan membuat kita enggan berusaha menjadi manusia yang produktif, malas mengejar mimpi, dan menggantungkan kehidupan dunia pada orang lain.


Avatar
About Author

Yuliana Kristianti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *