Issues

WFA dan Work-life Balance Bagi Pekerja Perempuan: Mungkinkah Terjadi?

Hidup seimbang dengan beban kerja biasanya cuma angan buruh. Buat perempuan, tantangannya lebih besar.

Avatar
  • July 27, 2022
  • 6 min read
  • 1485 Views
WFA dan Work-life Balance Bagi Pekerja Perempuan: Mungkinkah Terjadi?

“Kan enak punya cowok kaya, kita gak perlu kerja. Dia kerja, kita ngurus anak.”

“Ngurus anak kan juga sama aja kayak kerja, Mbak.”

 

 

“Iya, sih. Tapi, beda…. Beda sama kerja.”

Percakapan itu muncul di film A Copy of My Mind garapan Joko Anwar tahun 2015 lalu. Obrolan dua orang tersebut menangkap potret sederhana tentang norma gender yang berlaku di masyarakat: keyakinan bahwa merawat anak adalah tugas yang secara eksklusif dilekatkan kepada perempuan, sementara laki-laki bertugas mencari nafkah. 

Padahal, kita tidak bisa menutup mata bahwa perempuan juga bisa dan ingin bekerja dengan tujuan mendapat penghasilan dalam bentuk materi. Belum lagi, percakapan singkat itu juga berusaha menggambarkan narasi besar mengenai nilai sosial masyarakat terhadap dikotomi apa yang dianggap sebagai pekerjaan dan bukan.

Menurut Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Februari 2022 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), angka tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan mencapai 54,27 persen. Artinya, dari 100 perempuan yang berusia 15 tahun ke atas, sekitar 54 orang di antaranya merupakan angkatan kerja. Angka tersebut memang lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi tenaga kerja laki-laki yang mencapai 83,65 persen.

Tapi, hal yang perlu disoroti adalah fakta bahwa setengah dari populasi perempuan usia kerja adalah mereka yang setiap harinya melakukan aktivitas baik di kantor, ladang, sawah, pabrik, atau pasar dengan tujuan mendapat keuntungan secara ekonomi guna menghidupi kebutuhan sehari-hari.

Di balik angka 54,27 persen yang dirilis di tengah pandemi COVID-19 tersebut, tentu ada makna yang lebih dalam mengenai kehadiran perempuan sebagai angkatan kerja. Hal itu menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kondisi perempuan yang perlu membagi waktunya antara pekerjaan yang mendatangkan upah dan sekaligus “bertanggung jawab” terhadap pekerjaan domestik di tengah pandemi COVID-19.

Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan

Fleksibilitas Kerja dan Angan-angan Work-life Balance

Berkaitan dengan pandemi, sudah lebih dari dua tahun kita melakukan penyesuaian terhadap aktivitas sehari-hari. Alhasil, selama dua tahun terakhir ini banyak istilah baru yang kita kenal khususnya yang berkaitan dengan tempat kerja. Misalnya, work from home (WFH), work from office (WFO), work from anywhere (WFA), work from café (WFC), dan tak lupa work from Bali (WFB).

Setelah beradaptasi cukup lama mengenai sistem kerja yang banyak ditunjang oleh kehadiran internet dan teknologi, beberapa perusahaan akhirnya memutuskan untuk tetap mengadopsi fleksibilitas kerja terlepas dari apakah angka penyebaran virus sudah mulai bisa dikendalikan atau belum.

Blibli, Stockbit/Bibit, Zenius, Ajaib, dan Amartha merupakan contoh perusahaan rintisan di Indonesia yang menerapkan kebijakan fleksibilitas kerja dalam bentuk WFA. Dalam hal ini, pekerja dimungkinkan untuk memilih tempat kerja dengan menyesuaikan kenyamanan mereka.

Selain itu, di pertengahan 2022 ini, pemerintah melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga melontarkan wacana untuk menerapkan WFA bagi ASN.

Pada dasarnya, berbagai bentuk “work from” ini merupakan bagian dari flexible working arrangement (FWA) dalam format flexi place. Selain  tempat kerja, FWA juga bisa mencakup fleksibilitas dalam status pekerja, beban atau jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan, dan juga waktu kerja. Adapun prinsip dasar dari FWA yaitu pengembangan penilaian kinerja yang tidak lagi berbasis pada kehadiran, melainkan hasil.

Lebih lanjut, fleksibilitas kerja yang banyak diadopsi oleh perusahaan dan tempat kerja lainnya selama pandemi COVID-19 sering kali dikaitkan dengan terwujudnya work-life balance. Berbagai studi menemukan bahwa FWA bisa meningkatkan keseimbangan kehidupan pekerja antara melakukan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan secara ekonomi dan aktivitas lain yang berada di tataran personal seperti melakukan hobi, olahraga, dan bahkan memenuhi “tanggung jawab” domestik.

Selain itu, riset yang dilakukan oleh Cakra Wikara Indonesia (CWI) menjelaskan bahwa FWA dapat menjadi jalan guna menghadapi tantangan yang dialami oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) perempuan untuk menduduki posisi jabatan pimpinan tinggi di kementerian. Namun, dalam konteks pandemic ini, apakah pengaturan kerja yang fleksibel bisa benar-benar mewujudkan work-life balance khususnya untuk pekerja perempuan?

Baca juga: Setara di Kasur, Mulai dari Sumur dan Dapur

Bias dalam Tuntutan Tanggung Jawab

Selama pandemi COVID-19, selain pekerja yang melakukan penyesuaian, pelajar juga mengalami hal ini. Dari yang biasanya belajar tatap muka di sekolah, karena pandemic mereka perlu mengubah format belajar menjadi daring. Peneliti dan profesor dari University of Melbourne menjelaskan bahwa di masyarakat, perempuan menghadapi tuntutan secara eksklusif untuk merawat anak. Hal ini tidak terlepas dari tuntutan perempuan untuk bertanggung jawab sebagai “guru pengganti” di rumah bagi anak mereka yang melakukan sekolah daring. 

Laporan yang diterbitkan UN Women pada 2020 menyebutkan bahwa perempuan memang memiliki persentase yang lebih tinggi dalam menghabiskan waktu mengajar anak di rumah selama pandemi COVID-19, yaitu sebanyak 39 persen. Sementara laki-laki hanya 29 persen.

Masih berangkat dari data UN Women, pandemi COVID-19 ini juga berdampak pada kesehatan mental. Dalam hal ini, sebanyak 57 persen perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan sejak penyebaran COVID-19, sementara laki-laki hanya 48 persen.

Angka yang tidak proporsional tersebut diakibatkan adanya beban tambahan bagi perempuan untuk merawat anggota keluarga yang sakit di tengah tuntutan untuk tetap menyelesaikan pekerjaan domestik lainnya seperti memasak, membersihkan rumah, dan mencuci baju. Terlebih, penyesuaian aktivitas yang banyak menghabiskan waktu di rumah, secara langsung juga berimbas pada beban kerja domestik yang bertambah.

Baca juga: ‘OK Boomers’: Mengenalkan Kesetaraan Gender pada Ayah

Dobrak Norma

Lebih lanjut, jika norma gender di masyarakat masih melihat bahwa pekerjaan domestik merupakan tanggung jawab khusus perempuan, maka kebijakan FWA yang diharapkan dapat membuat pekerja bisa mewujudkan work-life balance seperti melakukan hobi dan olahraga, justru menjadi angan-angan semata bagi pekerja perempuan.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan alokasi waktu antara perempuan dan laki-laki dalam mengurus pekerjaan rumah tangga dan merawat anak.

Keinginan untuk bisa melakukan hobi atau olahraga alhasil perlu dikesampingkan demi memenuhi tuntutan masyarakat untuk bisa menjadi “perempuan yang utuh”. Sudah sepatutnya dalam tingkatan keluarga yang menikah dan memiliki anak, merawat anak merupakan tanggung jawab kedua belah pihak dan tidak secara eksklusif dibebankan kepada perempuan.

Begitu pun dengan pekerjaan domestik lain seperti mencuci baju, memasak, dan membersihkan rumah sudah selayaknya laki-laki dan perempuan membagi tugas itu secara adil. Di samping itu, untuk mencapai kesetaraan gender dan mewujudkan work-life balance dalam kebijakan FWA, di dalam masyarakat juga perlu ada pendobrakan norma bahwa pekerjaan domestic adalah pekerjaan yang juga memiliki nilai.

Anggapan yang masih berkembang bahwa pekerjaan domestik bukanlah “pekerjaan” semata-mata hanya melanggengkan bentuk ketidaksetaraan di tengah masyarakat kita.

Sebagai penutup, pandemi yang sudah berjalan lebih dari dua tahun ini memang bisa menjawab narasi besar masyarakat yang sering dilontarkan kepada perempuan, yaitu “pilih karier atau keluarga?”

Dengan adanya FWA, perempuan dimungkinkan untuk memilih keduanya. Tetapi, penerapan FWA yang dilekatkan dengan work-life balance belum tentu dalam praktiknya bisa mencapai bentuk kesetaraan gender di tengah norma masyarakat yang masih menganggap pekerjaan domestik adalah tanggung jawab perempuan.

Jika kembali pada kutipan percakapan di film A Copy of My Mind, saya membayangkan saat masyarakat kita sudah sadar akan pentingnya pekerjaan domestik yang tidak hanya disematkan kepada perempuan, mungkin saja percakapannya jadi seperti ini:

“Kan enak punya cowok yang mau bagi tugas ngurus anak, nyuci, masak, ngepel, sama nyapu. Sama-sama kerja, tapi urusan rumah juga kelar.”

 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ramadhana Afida Rachman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *