Health Lifestyle

‘Roller Coaster’ Mental Itu Bernama ‘Borderline Personality Disorder’

Diagnosis Borderline Personality Disorder (BPD) dari psikiater menjawab kenapa saya bersikap tertentu hingga terpikirkan bunuh diri.

Avatar
  • June 18, 2021
  • 7 min read
  • 1490 Views
‘Roller Coaster’ Mental Itu Bernama ‘Borderline Personality Disorder’

Peringatan pemicu: tulisan ini menyinggung masalah relasi dan isu mental yang memicu rasa ingin bunuh diri.

“Kamu punya gangguan kecemasan dan depresi. Nanti saya beri resep untuk mengurangi gejalanya dan buatkan surat izin sakit untuk kamu serahkan ke kantor, ya,” kata psikiater saya pada 2018. 

 

 

Psikiater tadi adalah ahli psikologi ketiga yang saya temui. Saya mengawali perjalanan pemulihan mental saya pada 2015, setelah konflik hebat dengan mantan pacar saya yang berujung dia menghilang alias ghosting—untuk keempat kalinya.

Keluar dari lingkaran setan itu tak semudah yang sebagian orang bilang. Ada dependensi tinggi yang saya rasakan ketika berelasi dengan si mantan sehingga karet toleransi saya atas tindakannya masih meregang. Macam seorang pecandu yang baru masuk panti rehabilitasi, saya mengalami berulang kali momen sakau ketika dia tiba-tiba “menyublim”.

Sampai kali keempat dia ghosting lagi di tahun 2016, baru saya mendapat “pencerahan”. This is it. Saya harus mengakhirinya. 

Sulitnya Mencari Profesional Kesehatan Mental yang Tepat 

Pada 2017, setelah susah payah bangkit dari keterpurukan, saya memilih ganti psikolog. Kala itu saya berjibaku dengan burnout karena pekerjaan dan beberapa hal lainnya. Merasa lebih cocok dengannya, saya pun meneruskan konseling dengannya. 

Baca juga: Saya Dokter, Saya Pasien Kejiwaan, dan Saya Tidak Malu Mengakuinya

Setahun kemudian, karena sulit tidur, sering terserang panik, dan nafsu makan berkurang, saya berpikir untuk datang ke psikiater. Sesi pertama saya merasa nyaman dengannya. Lantas di sesi kedua, saat saya bilang saya mau resign karena sudah tak berfungsi (baca: produktif) seperti biasa, dia menyarankan hal sebaliknya. 

“Bagaimana kamu menjalani terapi selanjutnya kalau kamu berhenti kerja dan tidak punya penghasilan?” kata dia.

Saat itu, benak saya yang berkabut bilang, ini psikiater komersil amat sih? Jangankan mikir nerusin kerja, buat nerusin hidup sehari demi sehari aja saya susah. Dan, setelah sesi itulah saya berhenti menemuinya. Lama setelah dia mengatakan itu, barulah saya sadar omongannya masuk akal. Saya tidak akan pulih bila memotong langsung proses terapi yang sejatinya bertahap. 

Hal buruk apa pun yang terjadi atau terlintas di kepala kita di suatu waktu hanya sebagian dari pengalaman hidup kita. Itu bisa hilang, bisa memburuk atau datang tiba-tiba lalu pergi lagi, tapi itu bukanlah kita sepenuhnya.

Saya kembali mencari jalan pemulihan lewat psikolog kedua saya secara intensif pada akhir 2018. Memang berbicara dengannya entah bagaimana meredakan kekalutan saya saat itu. Tapi lama kelamaan, saya berpikir (dengan sok tahunya), saya tahu semua pakem ideal untuk berelasi dengan orang lain dan menyikapi diri itu seperti apa. Tapi ya itu, segalanya tak semudah dan secepat putri malu mengatup setelah tersentuh. Lantas, berhentilah saya berkonsultasi dengannya di awal 2019, tak lama setelah saya mendapati diri hamil yang justru memperparah kondisi mental saya. 

Munculnya Pemikiran Bunuh Diri

Jika mengulas kembali hubungan-hubungan cinta saya, mulai dari masa SMA hingga kerja, memang tidak ada relasi saya yang “beres” dan berakhir baik-baik. Saya duduk di posisi pelaku dan korban relasi abusive secara simultan. 

Di luar masalah percintaan, saya juga kerap meledak tak terkontrol, impulsif, menangis tanpa sebab, dan berandai hilang saja bak tertelan black hole. Saya cuma mau rasa sakit dan proses jatuh bangun mental saya tamat, saya capek. 

 Baca juga:  Biaya Mahal, Stigma Persulit Pasien Gangguan Jiwa di Indonesia

Dari yang mulanya hanya berandai, saya beranjak ke pikiran soal metode apa yang tepat untuk merealisasikan gagasan saya itu. Tali? Benda tajam? Tenggelam di laut? Alkohol campur psikotropika? Bunga oleander? Kapan saya melakukannya? Lebih baik di mana?

Selagi pikiran seperti itu berseliweran, meski saya sebenarnya sudah capek bolak-balik berusaha memulihkan mental, saya masih mencoba sekali lagi psikoterapi. Usaha kali ini bukan hanya buat kebaikan saya sendiri, tapi juga buat pasangan dan anak saya yang masih batita, batin saya.

Dan di situlah saya mendapati diagnosis baru dari psikiater kedua yang saya datangi di awal 2021 ini. Sesi pertama berjalan dengan baik dan dia menyatakan hal serupa psikiater pertama saya: Saya punya gangguan depresi. 

Sesi kedua, saya bilang saya sudah di tahap memperhitungkan dengan cermat bagaimana saya mau membunuh diri sendiri. Dia kemudian menyarankan rawat inap, tapi saya menolak dengan dalih harus mengurus anak saya (nyatanya lebih banyak pasangan saya yang melakukannya seiring disfungsi saya). Namun, psikiater saya ini menyarankan saya lebih intensif menjalani psikoterapi.

Pada konseling terakhir beberapa minggu lalu, dia akhirnya menyebutkan saya punya borderline personality disorder (BPD) atau gangguan kepribadian ambang. Dari sanalah saya mulai mencari buku-buku dan artikel ilmiah soal BPD, yang banyak menyebut gangguan ini lebih banyak dialami perempuan dibanding laki-laki.

Semua gejala yang tertera di berbagai buku dan artikel itu menjawab pertanyaan saya yang menggantung lama di kepala. Ketakutan akan ditinggalkan, sering tak stabil waktu berelasi dengan berbagai partner, berpikiran sangat dikotomis alias saklek hitam-putih, impulsif, cepat berubah mood, gampang marah karena hal kecil, pandangan negatif terhadap diri sendiri, kecenderungan berperilaku berisiko, pemikiran bunuh diri, percobaan self-harming (yang sudah saya mulai sejak SMA dengan beling dan cutter dan berulang semasa kuliah), perasaan melompong berkepanjangan—semuanya checked.    

Terbuka Soal Gangguan Mental

Bagi sebagian orang, punya gangguan mental adalah aib yang perlu disimpan rapat-rapat. Buat saya sendiri, terbuka dengan kondisi saya (setelah diagnosis ahli psikologi tentunya) kepada segelintir orang terdekat dan “berkepentingan” seperti bos atau dosen tidak ada salahnya. 

Melakukan itu tidak berarti selalu mencari perhatian atau justifikasi untuk menjadi malas. Kita bisa mengemukakan kenapa kita tak seproduktif atau seoptimal biasanya dalam bekerja atau berelasi, atau soal efek psikotropika (kalau memang ada) yang dikonsumsi untuk bernegosiasi soal tanggung jawab yang mesti dilakukan selagi “kumat”.

Baca juga: Saya Mencoba Bunuh Diri dan Itu Bukan Karena Suatu Kebodohan

Terbuka kepada pasangan, misalnya, bila diiringi kemauan kita dan pasangan untuk belajar tentang gangguan mental kita dan cara menyikapi gejalanya, bisa berdampak positif terhadap usaha pemulihan diri. 

Sementara terbuka kepada bos atau rekan kerja sebenarnya tricky. Beruntung saya bekerja di tempat yang punya kesadaran kesehatan mental yang tinggi sehingga saya malah sampai “dipaksa” tak bekerja dulu beberapa hari sampai saya membaik. Tapi, tidak semua kantor seperti kantor saya sekarang ini. 

Pengalaman saya di kantor terdahulu, juga kawan-kawan saya di tempat kerjanya, masalah gangguan mental belum dianggap serius sehingga izin sakit pun lebih sedikit kemungkinannya untuk diberikan. Berbeda bila kasusnya saya kecelakaan atau menjalani operasi mayor yang membutuhkan rehat total berminggu-minggu.

Saya Bukanlah Gangguan Mental Saya

Saya memang baru mengetahui perkembangan/perubahan diagnosis gangguan mental saya. Tetapi satu hal yang saya ingat dari akun-akun kesehatan mental, pengalaman orang, dan artikel psikologi dari pakar, saya bukanlah gangguan/penyakit mental saya. Apa pun yang saya idap, itu tidak serta merta mendefinisikan saya.

Tulisan apik pengidap skizofrenia Mike Hedrick di Psychology Today adalah satu dari sekian referensi yang mengukuhkan pandangan saya ini. Hedrick menulis, “Hal-hal yang ada di otak saya berhubungan dengan senyawa kimia, bersifat biologis, dan itu semua bukanlah saya.”

Memang dalam tiap tulisan mengenai gangguan mental kerap kita temukan penjelasan bahwa faktor-faktor penyebabnya tidak tunggal. Bisa kombinasi faktor genetik, kelainan pada senyawa kimia di otak atau hormon kita, dari paparan orang atau lingkungan yang toksik.

Saya sepakat juga dengan Hedrick ketika ia bilang, memisahkan diri dari gangguan mental kita tidak gampang. Tetapi kita mesti ingat, hal buruk apa pun yang terjadi atau terlintas di kepala kita di suatu waktu hanya sebagian dari pengalaman hidup kita. Itu bisa hilang, bisa memburuk atau datang tiba-tiba lalu pergi lagi, tapi itu bukanlah kita sepenuhnya. Bukan hal yang benar-benar mau kita lakukan (misal, bunuh diri atau menyakiti diri/orang lain)

Saya masih menulis dan mengedit saat pemikiran bunuh diri muncul tiba-tiba. Saya masih menyiapkan bekal anak saya ke daycare saat rasa hampa menimpa. Saya masih mengecup kening pasangan saya dan berterima kasih atas kehadirannya di hidup saya walau sesaat sebelumnya saya murka tak terkendali kepadanya. Saya bukan orang jahat atau monster sebagaimana sering saya pikir, karena saya juga punya empati dan masih berlaku baik ke kenalan saya. 

Gangguan kepribadian di mata saya layaknya asma saja: Bisa kambuh kapan saja kalau terpicu, dan bisa dibilang itu seumur hidup tak bisa tersembuhkan, tetapi gejalanya bisa kita redam. Kita bukanlah asma kita, melainkan kita punya asma dan sedang berjuang melawan gejalanya ketika mengemuka sewaktu-waktu. Kita lebih dari gangguan mental kita saja.  



#waveforequality


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *