Cemburu: Kapan Ini Wajar, Kapan Jadi Tak Sehat?
Bagi sebagian orang, cemburu dalam relasi itu “so sweet” dan jadi bumbu pelengkap kisah cinta. Namun, ada kalanya cemburu justru mengindikasikan relasi toksik.
Sudah setahun lebih “Martha”, 19, hijrah dari kampungnya untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di Jakarta. Sepanjang bekerja di Ibu Kota dan menjalin long distance marriage, setiap hari sekitar tiga-empat kali, suaminya menelepon untuk mengecek keadaan Martha. Ini sering kali mengganggu ritme kerjanya, dan yang lebih mengganggu lagi, telepon itu dilakukan atas dasar kecurigaan Martha menjalin hubungan dengan laki-laki lain.
Saat Martha sempat menyebut nama mantan pacarnya, sang suami langsung marah besar sekalipun mereka sudah menikah dan tidak ada sama sekali upaya Martha untuk balikan dengan mantannya. Jika Martha kedapatan dekat dengan laki-laki lain, walaupun sekadar kenalan atau teman, suaminya itu akan menghujaninya dengan omongan kasar dan mengancam akan berpisah dengannya.
Di tempat lain ada “Nindy”, yang sudah tiga tahun lebih berpacaran dengan “Bima”. Selama berpacaran, Nindy tak bisa menahan rasa cemburu setiap Bima membuka media sosial dan mengomentari unggahan perempuan lain. Begitu ia melihat pacarnya itu menatap perempuan lain di jalan, tak jarang ia berkomentar sarkas, “Cantik ya? Pengen deketin ya?”. Rekam jejak kehidupan romantis Bima yang sempat memacari banyak perempuan dan penampilannya yang, tak bisa dimungkiri, atraktif, membuat Nindy makin takut kalau Bima punya simpanan tanpa sepengetahuannya.
Baca juga: Kenali 8 Perilaku Toksik Berkedok Sikap Romantis
Kenapa Seseorang Merasa Cemburu?
Apa yang dirasakan suami Martha maupun Nindy jamak dirasakan orang-orang, mungkin kamu salah satunya. Memang, perasaan cemburu itu adalah hal yang wajar timbul saat kita sudah begitu intim dengan seseorang.
Dilansir Psychology Today, ada penjelasan dari kacamata psikologi, evolusi tentang munculnya perasaan ini. Cemburu merupakan respons yang diwariskan pendahulu untuk meningkatkan kemungkinan kita bertahan hidup. Laki-laki lazimnya cemburu saat merasa ada ancaman seksual dalam relasinya. Dugaannya, ini karena pendahulu kita yang laki-laki ingin memastikan mereka adalah ayah biologis dari anak-anak dalam relasinya. Sementara, perempuan lebih cenderung cemburu secara emosional karena mereka khawatir sosok yang memberi mereka makan (laki-laki) tidak lagi memberikan sumber daya ke mereka dan generasi penerusnya bila ada perempuan lain.
Menurut sebagian pihak, cemburu bisa juga disebabkan hal lain seperti konstruksi sosial atau budaya. Dalam Science Focus disebutkan, mereka yang percaya akan hal ini mengambil contoh, pada sejumlah kebudayaan, rasa cemburu itu adalah hal yang asing. Contohnya dalam masyarakat Inuit, penduduk asli Amerika di Kanada Utara dan Alaska, kepala sukunya terkadang mempersilakan tamu laki-lakinya berhubungan dengan istrinya. Ini menunjukkan eksklusivitas seksual merupakan bentukan Barat dan kecemburuan adalah ketakutan berlebihan yang berasal dari budaya itu.
Selain karena merasa ada pihak lain yang mengancam keberlangsungan relasinya, ada alasan psikologis yang mendorong orang menjadi lebih mudah cemburu. Dilansir Online Psychology Degree Guide, beberapa faktor psikologis ini adalah rendahnya penilaian diri, adanya gaya kelekatan (attachment style) cemas–yang dipengaruhi oleh pola asuh orang tua sejak anak kecil–, ketakutan akan ditinggalkan, dan tingkat ketergantungan terhadap pasangan yang tinggi.
Kecemburuan juga bisa menjadi suatu gejala gangguan mental tertentu. Dalam artikel Good Therapy dinyatakan, rasa cemburu berlarut-larut dan parah bisa diasosiasikan dengan skizofrenia, paranoia, psikosis, masalah kelekatan, gangguan kecemasan, dan borderline personality disorder (BPD).
Baca juga: Mengatasi Cemburu karena Pacar ‘Nge-Like’ Instagram Perempuan Cantik
Kapan Cemburu Menjadi Tidak Sehat?
Bagi banyak orang, kecemburuan menjadi sinyal seseorang itu peduli dan mencintainya. Pada level tertentu, hal ini menjadi lumrah, bahkan dianggap manis dan menambah kualitas relasi.
Akan tetapi, ada kalanya cemburu itu menjadi tidak sehat untuk relasi. Menurut Daniel Freeman, profesor Psikologi Klinis dari University of Oxford, dalam Better NBCNews, kecemburuan menumbuhkan ketidakpercayaan yang berujung pada emosi intens dan perilaku tertentu. Kita bisa terus menerus larut dalam ketakutan akan dikhianati, rutin mengecek pasangan kita dan berusaha “menangkap” mereka, hingga bersikap posesif terhadapnya. Ketika kebebasan pasangan sudah dibatasi dan orang yang cemburu sudah tidak bisa konsentrasi melakukan aktivitas harian karena perasaannya itu, hal itu menjadi alarm nyaring bahwa hubungan sudah begitu toksik dan si pencemburu butuh bantuan untuk keluar dari kondisinya.
Dalam keadaan tertentu, cemburu bisa masuk dalam kategori patologi yang dikenal dengan istilah “morbid jealousy”. Dalam artikel berjudul “Aspect of morbid jealousy” yang dimuat di Advances in Psychiatric Treatment (2004), dinyatakan bahwa morbid jealousy mencakup pikiran dan emosi irasional yang dibarengi perilaku ekstrem atau tidak bisa diterima. Ini didasari oleh pikiran terus menerus bahwa pasangan tidak setia meski tidak ada bukti apa pun. Morbid jealousy ini terkait dengan isu kesehatan mental, khususnya delusi di mana seseorang bersikukuh menganggap pasangannya berselingkuh dan tidak bisa mengenyahkan pikiran itu.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Sebagai pihak yang cemburu, ada beberapa hal yang bisa kita terapkan begitu perasaan ini muncul. Pertama, sadari kenapa kita menjadi begitu cemburu pada orang lain. Apakah itu karena sikap tertentu yang pasangan tunjukkan kepadanya, atau karena pada dasarnya rasa insecure kita begitu tinggi? Rasa insecure tinggi ini pun bisa digali lebih dalam lagi, apakah karena kita punya trauma tertentu yang membuat kita ketakutan akan dikhianati saat melihat pasangan dekat dengan orang lain, punya masalah dalam gaya kelekatan yang dipupuk sejak kita kecil, atau kita punya isu kesehatan mental yang tidak kita sadari seperti depresi dan gangguan kecemasan, yang membuat segala hal terasa negatif di mata kita.
Kedua, untuk menumpulkan kecemburuan itu, kita bisa melakukan kroscek apakah pasangan melakukan hal serupa ke orang-orang lainnya dengan yang dia lakukan ke orang yang kita cemburui. Tentu kita tidak perlu menjadi stalker untuk melakukan hal ini. Kita bisa bertanya kepada pasangan langsung tanpa menghakimi, mengapa ia melakukan sesuatu bersama orang yang kita cemburui, adakah alasan rasional yang membuat mereka jadi dekat, misalnya karena alasan tugas kantor atau pulang bersama karena searah.
Seiring dengan itu, kita bisa mengomunikasikan juga kecemburuan yang kita rasakan pada pasangan. Ini bukan dalam rangka peringatan baginya supaya tidak lagi dekat dengan orang yang kita cemburui, melainkan sebagai praktik keterbukaan dalam relasi yang sehat. Kita bisa memaparkan hal apa yang membuat kita cemburu dan dari situ bisa terjadi proses dialog, misalnya terkait kenapa pasangan harus atau memilih dekat dengan orang ini, apa yang bisa dia dan kita lakukan untuk menjaga perasaan masing-masing tanpa membatasi, atau kesepakatan apa yang bisa diambil sebagai jalan tengah.
Sebesar apa pun rasa cemburu yang kita punya, kita tidak sepatutnya langsung mengonfrontasi pihak ketiga karena masalah itu ada dalam relasi kita. Retaknya suatu hubungan atau kesalahpahaman pertama-tama disebabkan karena kedua pihak yang terlibat di dalamnya, bukan pihak ketiga. Maka saat ada perselingkuhan, komitmen pihak yang ada dalam relasi dululah yang sepatutnya dipertanyakan.
Bila kita ada di posisi yang dicemburui, pahami isu yang menjadi akar kecemburuan pasangan. Seperti yang diungkapkan tadi, ada berbagai faktor yang melandasi rasa cemburu sehingga mengetahui faktor tersebut akan mendorong kita lebih memaklumi, tapi tidak serta merta menjustifikasi, saat pasangan cemburu. Justru setelah mengetahui hal itu, bersama dengan pasangan kita bisa berdialog untuk mengurangi atau mencegah cemburu itu hadir lagi di kemudian hari. Bila pasangan punya trust issue yang dipicu trauma masa lalu, pelan-pelan kita bisa mendampinginya untuk mengatasi masalah itu, baik berdua maupun dengan bantuan profesional.
Kedua, hindari bersikap defensif karena itu bisa memperkeruh keadaan. Kita juga tidak sepatutnya menyalahkan pasangan atas kecemburuan yang dia rasakan sendiri. Sebaliknya, kita perlu memvalidasi perasaannya dulu.
Setelahnya, kita bisa bersikap lebih tenang saat menyikapi pasangan yang cemburu. Kita bisa mengungkapkan bagaimana perasaan kita saat pasangan menunjukkan kecemburuannya, termasuk ketidaknyamanan kita saat dipikir berbuat macam-macam olehnya. Tunjukkan bahwa kita tidak melakukan apa yang dia khawatirkan. Namun, kita juga tetap perlu membatasi bila pasangan kita yang cemburu itu menuntut akses untuk mengetahui segala kehidupan kita, termasuk media sosial atau email, untuk memantau kita. Bagaimanapun, relasi sehat tetap perlu menegakkan privasi dan rasa saling percaya.
Tidak jarang cemburu itu bermula dari kesalahpahaman atau buruknya komunikasi. Karena itu, kita bisa mengevaluasi lagi pola komunikasi dengan pasangan, dan mengidentifikasi apa yang menjadi sumber kesalahpahaman.