Muslimah Reformis: Memaknai Islam yang Penuh Kesetaraan
Cendekiawan Islam Musdah Mulia menjelaskan konsep muslimah reformis dan bagaimana Islam ajarkan keadilan dan kesetaraan gender.
Apa saja sih ciri-ciri muslimah yang baik menurut ajaran Islam? Apakah itu dia yang paling sering mengingatkan (“Mohon maaf sekadar mengingatkan”, lengkap dengan emoji tangan terkatup ) orang lain tanpa memikirkan perasaan dan situasi? Atau itu dia yang merasa ajaran atau keyakinannya paling benar, sehingga mereka sering menjadikan itu alasan untuk bersikap semena-mena pada makhluk lain?
Itu semua bukanlah ciri-ciri muslimah yang baik, menurut cendekiawan Islam Musdah Mulia, muslimah yang benar-benar bertakwa kepada Tuhan adalah mereka yang memiliki integritas moral untuk menegakkan kemanusiaan, dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh di dalam dirinya, termasuk keadilan dan kesetaraan gender. Karenanya, muslimah yang bertakwa sibuk mengintrospeksi dirinya sendiri dalam beribadah, sehingga tidak punya waktu untuk menghakimi orang lain, ujarnya.
“Enggak ada tuh dia merhatiin jilbabnya si anu berapa meter, bajunya si anu kayak gimana. Jangan menghakimi orang, bilang si anu kafir, si anu saleh. Tahu dari mana? Sebagai makhluk, kita ini setara. Hanya Tuhan yang tahu,” kata Musdah Mulia dalam webinar Magdalene Learning Club Ramadan bertajuk “Menjadi Muslimah Reformis” yang diselenggarakan oleh Magdalene dan didukung oleh Bank Mandiri.
Musdah menambahkan, saat ini, ada banyak sekali ajaran-ajaran Islam yang konservatif nan radikal, yang membuat banyak orang berpikir bahwa beragama itu sangat menakutkan. Orang-orang mengingatkan manusia lain sembari menghakimi, seolah-olah Tuhan menitipkan mandat pada mereka untuk membenarkan manusia, padahal Tuhan sangat mencintai kemanusiaan, ujarnya. Dan manusia yang beriman pada Tuhan, tentu seharusnya menyadari bahwa setiap agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan universal dan mencintai kedamaian.
“Tadi pagi, saya buka WhatsApp, ada pesan, ‘Barang siapa (perempuan) yang terlihat selembar rambutnya, haram baginya bau surga.’ Itu kan horor. Mengancam lagi. Mengingatkan boleh, tapi harus penuh sopan santun. Jangan mengancam. Jangan sedikit-sedikit dibilang kafir,” ujar Musdah.
“Kamu menganggap dirimu benar ya oke, tapi belum tentu orang lain pasti salah. Bisa jadi kamu benar, tapi orang lain benar juga. Kebenaran itu ada di mana-mana. Jangan menganggap dirimu benar mutlak. Jangan ambil posisi Tuhan seperti itu,” ia menambahkan.
Baca juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?
Muslimah Reformis dan Islam yang Ajarkan Kesetaraan Gender
Musdah Mulia memiliki pemaknaan yang progresif mengenai bagaimana Islam memandang perempuan dan kesetaraan gender. Di tengah berbagai diskursus, atau mungkin miskonsepsi, yang menekan perempuan untuk menjadi kelompok yang patuh dan mengikuti segala perintah laki-laki, Musdah memandang nilai-nilai seperti itu justru bertentangan dengan ajaran Islam, karena Islam sesungguhnya mengajarkan kesetaraan gender bagi para umatnya.
Banyak kelompok-kelompok muslim yang menilai bahwa kesetaraan gender adalah konsep dari Barat yang menyesatkan. Padahal, menurut Musdah, ajaran soal kesetaraan gender sudah hadir pula di Indonesia sejak zaman dahulu kala.
“Saya sering membaca buku-buku sastra Bugis Kuno yang ditulis sebelum agama Islam masuk ke Indonesia. Di buku itu disampaikan soal pentingnya kesetaraan gender. Buku itu juga menuliskan, ada lima jenis gender manusia, yaitu perempuan, laki-laki, perempuan yang kelaki-lakian, laki-laki yang keperempuanan, dan ada yang tidak menyebut dirinya laki-laki atau perempuan, tapi mereka sejalan dengan Tuhan,” jelas Musdah.
Untuk menjelaskan Islam yang ramah terhadap perempuan dan kesetaraan gender, Musdah memperkenalkan konsep “muslimah reformis”, sebuah gagasan yang meliputi para perempuan muslim (muslimah) yang memahami jati dirinya, mandiri, berani, dan mewujudkan kedamaian dalam masyarakat, ujar Musdah.
“Muslimah reformis memiliki keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan gender. Mereka juga berusaha membebaskan perempuan dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Banyak perempuan yang mengatakan, kita harus taat pada suami karena dia imam. Tahu dari mana? Itu hasil budaya patriarki yang diajarkan orang tua pada kita,” kata Musdah.
“Salah satu tantangan dalam mengkampanyekan isu-isu gender ini adalah perempuan banyak yang merasa nyaman dengan ini, jadi menindas sesama perempuan. Kita menghadapi tembok budaya patriarki yang dipertahankan oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri. Mengubahnya tidak mudah, tapi lakukan saja,” katanya.
Baca juga: Ada Apa dengan (Kelompok Anti-) Feminisme
Muslimah Reformis Ajarkan Perempuan Menjadi Manusia yang Cerdas
Melalui konsep ini, Musdah mengajak para perempuan muslim untuk disiplin menggunakan akal sehat mereka dalam beragama dan memaknai berbagai hal di kehidupannya. Hal itu berkaitan dengan bagaimana Islam mengutamakan akal sehat manusia. Misalnya, ia mencontohkan, ayat pertama yang diturunkan dan dituliskan dalam Al-Qur’an adalah “iqra” yang berarti “bacalah”. Menurutnya, itu menunjukkan bahwa Islam mengajak umatnya mempelajari bahwa agama selalu sejalan dengan akal sehat.
“Orang kalau beragama enggak pakai akal kritis, itu jadi terbuai. Makanya, beragama harus kritis. Hadis-hadis seperti ini ada ribuan banyaknya. Kita harus terus kaji dan pakai akal sehat sebelum menerimanya,” ujarnya.
“Katakan pada para anak perempuan, ‘Kamu diciptakan Tuhan secara utuh, dengan harkat dan martabat. Jadi tidak boleh menghamba kepada siapa pun.’ Kalau budayanya seperti ini, ya rekonstruksi. Budaya itu kan konstruksi masyarakat.”
Menurut Musdah, muslimah reformis menganut semangat untuk mengampanyekan penghapusan segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi gender, yang dapat dimulai dari lingkup keluarga. Hal penting yang bisa dilakukan adalah mengajarkan anak laki-laki agar tidak memperbudak perempuan, karena perempuan adalah mitra yang setara, dan mengajarkan anak perempuan agar jangan mau diperbudak.
“Katakan pada para anak perempuan, ‘Kamu diciptakan Tuhan secara utuh, dengan harkat dan martabat. Jadi tidak boleh menghamba kepada siapa pun.’ Kalau budayanya seperti ini, ya rekonstruksi. Budaya itu kan konstruksi masyarakat,” ujarnya.
Baca juga: Akademisi Islam: RUU PKS Sejalan dengan Ajaran Agama, Lindungi Manusia
Dalam konsep muslimah reformis ini, Musdah juga berusaha membedah arti yang melekat dalam terminologi-terminologi keislaman. Misalnya, kata “muslimah” dinilai Musdah menunjukkan keaktifan perempuan, karena dalam Bahasa Arab, muslimah merupakan kata kerja aktif.
“Muslimah adalah orang yang selalu aktif merajut kedamaian dan kebaikan. Jadi kalau ada orang yang mengaku muslimah tapi apatis, enggak mau membangun kebaikan dalam masyarakat, aneh juga saya pikir,” katanya.
Musdah juga mencontohkan kata “salihah” yang erat dengan konotasi kepasifan perempuan. Menurutnya, “perempuan salihah” itu terkesan menggambarkan sosok yang tidak banyak bicara dan patuh dengan semua perkataan suami. Sehingga, menurutnya, kata yang tepat itu untuk digunakan adalah “aslaha” dan perempuannya disebut dengan “muslihah”.
“Muslihat itu terjemahannya adalah reformis dalam Bahasa Indonesia, orang yang aktif melakukan upaya peningkatan kualitas diri, menyangkut kualitas keimanan, pengetahuan, akhlak, finansial. Jadi perempuan itu tidak cukup menjadi salihah, tapi juga harus jadi muslihah.”