5 Lagu Indonesia yang Biner dan Heteronormatif
Sederet lagu Indonesia ini mencerminkan sudut pandang masyarakat yang masih biner dan heteronormatif. Bahwa gender hanya perempuan dan laki-laki.
Bukannya mendengarkan lagu anak-anak seperti yang dinyanyikan Tasya Kamila, waktu Sekolah Dasar (SD), saya lebih senang mendengarkan lagu percintaan dari penyanyi dan grup band asal Indonesia. Sebut saja Dewa 19—yang sampai sekarang hampir semua lirik lagunya saya hafal mati, atau lagu-lagu Yovie & Nuno.
Walaupun enggak sepenuhnya paham dengan makna liriknya, lagu-lagu itu tetap enak untuk didengar. Kalau menurut Brian Fauteux, asisten profesor di departemen musik University of Alberta, Amerika Serikat, orang-orang senang mendengarkan lagu percintaan karena relate dengan kehidupan mereka.
“Kita punya gambaran tentang cinta, dan rasanya menyenangkan bisa melihat pengalaman sendiri dalam budaya populer,” ucap Fauteux dalam wawancara bersama Folio. Menurutnya, musik merupakan cara penting untuk mengekspresikan emosi dan perasaan yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata.
Tanpa perlu 100 persen relate, saya sepakat dengan Fauteux. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dekat dengan hubungan asmara. Baik merasakan secara langsung, atau melihat relasi orang-orang di sekitar. Bahkan, saya yang waktu itu masih SD udah mulai naksir dengan teman sekelas, dan sedikit-sedikit mengerti tentang relasi romantis.
Yang enggak disadari adalah, lagu-lagu tersebut hanya menggambarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Secara berulang, mereka menyebutkan kedua gender biner lewat liriknya, menekankan relasi heteroseksual. Ini mencerminkan sudut pandang masyarakat yang masih heteronormatif. Mereka belum mengakui keberadaan teman-teman LGBT, yang juga bagian dari penikmat musik Indonesia.
Untuk mengetahui lagu-lagu yang sangat gender biner dan heteronormatif, berikut Magdalene merangkum beberapa di antaranya.
Baca Juga: Kita Boleh Jadi Penikmat Lagu ‘Toksik’ Asal…
1. “Sabda Alam” – Ismail Marzuki
“Diciptakan alam pria dan wanita. Dua makhluk dalam asuhan dewata. Ditakdirkan bahwa pria berkuasa. Adapun wanita lemah lembut dan manja.”
Dari bait pertama, Ismail Marzuki membuka lagu dengan lirik yang menunjukkan, Tuhan menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Hal ini memperkuat adanya dua gender biner, yang kemudian masing-masing digambarkan memiliki karakteristik sesuai gendernya, sekaligus perbedaan posisi di masyarakat.
Laki-laki merupakan sosok yang kuat dan dapat menjalankan peran sebagai penguasa, sedangkan perempuan lemah lembut dan manja. Penggalan lirik yang diciptakan pada 1956 itu sebenarnya merepresentasikan kondisi di masyarakat, bagaimana mereka masih membedakan keduanya berdasarkan peran gender tradisional. Pun semakin melanggengkan stereotip, laki-laki mampu memberdayakan diri jika dibandingkan dengan perempuan.
Lebih dari itu, “Sabda Alam” juga menunjukkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Ada liriknya yang menyebutkan: “Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu. Namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut di sudut kerling wanita.”
Yang perlu digarisbawahi dari bait tersebut, perempuan cuma direpresentasikan sebagai objek laki-laki. Bahkan, kata “sejak dulu” seperti menormalisasi perilaku ini, seolah perempuan berhak diperangkap dan tidak memiliki kebebasan atas dirinya. Namun, di sisi lain mereka juga mampu melemahkan laki-laki, lewat pesona dan kecantikannya.
Sampai saat ini, lagu tersebut dinyanyikan kembali oleh beberapa musisi lain, seperti White Shoes & The Couples Company dan NonaRia.
2. “Dua Sedjoli” – Dewa 19
Serupa dengan “Sabda Alam”, lagu yang menjadi bagian dari album Bintang Lima itu mengamini identitas gender yang terbagi atas laki-laki dan perempuan.
“Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang Adam,” tulis Ahmad Dhani pada chorus lagu tersebut.
Secara eksplisit, liriknya turut menekankan hanya orang-orang heteroseksual yang dapat menjalin hubungan romantis. Dhani tidak memvalidasi ketertarikan seksual maupun identitas gender lainnya. Ia mengacu pada agama samawi yang menyebutkan, Tuhan hanya menciptakan Adam dan Hawa, tidak ada gender non biner. Begitu pula dengan bagaimana relasi mereka terbentuk, mengawali hubungan antar manusia yang kemudian berkembang biak.
Pun perempuan direpresentasikan bukanlah karakter utama dalam hidupnya, ataupun individu yang utuh. Peran mereka tidak lebih dari sekadar mendampingi laki-laki, merujuk pada Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Karenanya, laki-laki adalah sosok yang pantas mendominasi. Hal ini semakin diperkuat lewat lirik berikutnya.
“Renungkan sejenak hadirmu di sini. Jangan pernah ingkari dirimu adalah wanita. Harusnya dirimu menjadi perhiasan sangkar maduku. Walaupun kadang diriku bertekuk lutut di hadapmu.”
Peran perempuan semakin disederhanakan. Mereka seolah diminta merefleksikan diri terkait keberadaannya. Liriknya bahkan meluruskan, bagaimana perempuan seharusnya bersikap sekaligus mengingat fungsinya yang tidak lebih dari objek laki-laki, dan mampu melemahkan mereka.
Baca Juga: 5 Lagu K-pop ‘Genderless’ dan Mendobrak Gender Biner
3. “Pecinta Wanita” – Irwansyah
“Aku memang pecinta wanita, namun ku bukan buaya yang setia pada 1000 gadis.”
Hubungan heteroseksual dalam “Pecinta Wanita” ditunjukkan lewat lirik tersebut. Sebagai penyanyi, Irwansyah menyebut dirinya sebagai buaya—istilah untuk laki-laki yang enggak setia dengan seorang perempuan.
Sementara ketertarikannya terhadap perempuan disampaikan secara eksplisit, ia sudah menemukan pasangan hidup dalam diri seorang perempuan. Pun disebutkan bagaimana selama ini ia mencari sosok tersebut, dan ditampilkan dalam video klipnya yang melibatkan sejumlah perempuan mengiringi penampilan Irwansyah. Hal itu seperti menunjukkan mereka adalah pilihan bagi Irwansyah.
Lebih dari itu, Acha Septriasa turut mengisi vokal dan tampil dalam video klipnya. Ia seperti menanggapi pernyataan Irwansyah yang telah berhenti mencari pasangan, dengan mengonfirmasinya lewat suara perempuan.
“Kamu memang pecinta wanita. Namun, kau bukan buaya yang setia pada seribu gadis. Kau hanya mencintai aku.”
4. “Dunia Lelaki” – Ahmad Band
“Hey juwita hati, buanglah sedih. Jangan masukkan hati, nanti sakit. Tetaplah mulia selamanya.”
Lirik tersebut seolah ditujukan Ahmad Dhani kepada perempuan, supaya mereka enggak larut dalam kesedihan atas perilaku yang mungkin disebabkan oleh laki-laki. Secara tidak langsung, liriknya mengatakan perempuan merupakan individu yang sensitif dan terlalu membawa perasaan. Mereka enggak berhak meluapkan emosinya setelah disakiti.
Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang berani dan senang berpetualang, seperti ditunjukkan lewat penggalan lirik selanjutnya. “Karena aku lelaki, bukan banci. Mainanku bukan boneka yang diam saja, enggak bisa diajak berpetualangan, mencari pantangan tantangan,” tulis Dhani.
Seperti judulnya, “Dunia Lelaki” mengakui laki-laki hanya memiliki sisi maskulin. Sementara laki-laki yang memiliki karakteristik feminin dikategorikan sebagai banci. Mereka dipotret sebagai sosok yang diam saja, enggak suka berpetualang, atau menghadapi tantangan. Dengan kata lain, lirik tersebut sekaligus mengafirmasi maskulinitas toksik dan melupakan gender non biner. Hanya laki-laki tangguh yang memenuhi standar sosial yang dianggap jantan.
Lewat lirik lagu yang dirilis pada 1998 itu, Dhani sebagai pencipta lagu juga seperti memaklumi bagaimana laki-laki seharusnya bersikap.
“Dunia lelaki begitu adanya. Usah dipahami bukan untuk dimengerti. Memang begitu.”
Kalau melihat kelanjutan dari bait pertama, lirik di atas seolah mengatakan perempuan tidak perlu berusaha memahami sikap laki-laki yang menyakiti mereka. Sebab, sudah selayaknya itu dimaklumi karena merupakan tabiat laki-laki.
Baca Juga: Menghadapi Skena Musik Penuh Ujaran Seksis
5. “Rahasia Perempuan” – Ari Lasso
Usia saya belum menginjak belasan tahun, ketika pertama kali mendengar “Rahasia Perempuan”. Walaupun demikian, saya menyadari ambiguitas pada liriknya. Alhasil, muncul pertanyaan apakah bagian yang dimaksud adalah anggota tubuh perempuan.
Pasalnya, sejak bait pertama, lagu yang dinyanyikan Ari Lasso itu berkata demikian: “Ada satu bagian pada perempuan, yang sangatlah peka bila disentuh oleh lelaki.”
Enggak dimungkiri, pikiran saya menjurus pada aktivitas seksual. Ditambah bait berikutnya yang berbunyi: “Karena bagian itu hanya untuk lelaki yang cukup umur. Karena bagian itu sungguh sangat bisa buat perempuan dimabuk kepayang dimabuk asmara.”
Lirik tersebut seperti mengesankan, perempuan hanya bisa tertarik secara seksual terhadap laki-laki. Merekalah yang berhak dan mampu memberikan kepuasan, lewat sentuhan tubuh. Namun, begitu sampai pada chorus lagu, yang dimaksud Ari Lasso justru mengarah pada ketertarikan romantis—di mana laki-laki mampu membuat perempuan jatuh hati.
“Sentuhlah dia tepat di hatinya. Dia ‘kan jadi milikmu selamanya. Sentuh dengan setulus cinta, buat hatinya terbang melayang.”
Dalam wawancara bersama Gofar Hilman, Ari mengaku liriknya sengaja dibuat tengil dan bermain di area abu-abu. Sebab, awalnya memang tidak ditulis untuk membahas tentang percintaan, tetapi mengarah pada kepuasan perempuan.
“Sebenarnya ada lagi liriknya yang di-cut. ‘Ada satu bagian yang bukan hatinya, di manakah bagian itu?’ Itu kita buang, dan sebenarnya mengarah ke situ (vagina),” aku Ari.
Ia menjelaskan, lirik tersebut dipotong karena dianggap norak, sehingga makna lagu tidak lagi mengarah pada aktivitas seksual. Namun, hal tersebut enggak menghilangkan kesan bahwa lagu ini menutup mata pada orientasi selain heteroseksual, yang juga memiliki ketertarikan seksual maupun romantis.