Screen Raves

Review ‘Qodrat’: Kembalikan Kejayaan Tokoh Pemuka Agama dalam Film Horor

Lewat rukiah, Qodrat sebagai film horor sukses mengembalikan kejayaan tokoh agama dan sakralnya ritual-ritual agama.

Avatar
  • November 3, 2022
  • 7 min read
  • 4309 Views
Review ‘Qodrat’: Kembalikan Kejayaan Tokoh Pemuka Agama dalam Film Horor

Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan hanya kepada Allah-lah kembali (seluruh makhluk).”

Lewat penggalan surat An-Nur ayat 42, film Qodrat karya Charles Ghozali dibuka secara tak biasa. Ini seakan jadi pengingat buat para penonton, Muslim utamanya, untuk kembali mempertanyakan keimanan mereka. Selama 102 menit penayangan filmnya, Qodrat memang berhasil jadi film horor yang tak pernah memberikan jeda nafas sama sekali bagi para penontonnya.

 

 

Penonton selalu dibawa dalam wahana roller coaster tanpa ujung yang mengharuskan mata terpaku pada layar sembari beristighfar atau melafalkan nama Allah SWT lain dalam Asmaul Husna. Semua tak lebih karena film ini jadikan pertarungan antara ustaz dan jin sebagai poros cerita utamanya.

Secara garis besar film Qodrat bercerita tentang ustaz Qodrat (Vino G. Bastian) dan pergulatannya dengan jin bernama Asuala. Asuala dalam film ini bisa dibilang adalah biang kerok dari teror tanpa henti yang dialami Qodrat. Dalam adegan pertama film saja, penonton sudah diperlihatkan adegan mengerikan dari awal teror Asuala. Anak laki-laki Qodrat, Alif Al Fatanah (Jason Bangun) harus mati mengenaskan di tengah proses rukiah karena dirasuki oleh Asuala.

Qodrat yang sempat masuk lapas pasca kematian Alif dan juga disambangi oleh Asuala yang merasuki salah satu penjaga lapas pun memutuskan untuk kembali ke Pesantren Kahuripan. Rumah keduanya di mana ia menimba ilmu agama. Namun sesampainya di sana, kondisi pesantren begitu mengkhawatirkan.

Kyai Rochim (Cecep Arif Rahman) yang jadi guru Qodrat juga jatuh sakit tanpa gejala. Daerah di sekitar pesantren gagal panen. Penduduk sekitarnya selalu dapat gangguan kekuatan jahat hingga harus banyak memakan banyak korban jiwa. Ternyata setelah rangkaian puzzle berusaha Qodrat susun, muaranya lagi-lagi berakhir Asuala. Maka Qodrat pun putuskan untuk musuhnya itu.

Sumber: Instagram Vino. G. Bastian

 

Baca Juga:    ‘Pengabdi Setan 2: Communion’: Agama Kalah (Lagi) Melawan Kejahatan

Kembalinya Kejayaan Simbol-Simbol Agama

Film-film horor Indonesia hampir tak pernah absen tampilkan simbol-simbol agama. Banyak tokoh agama seperti kiai dan ustaz beserta ritual-ritual keagamaan menghiasi narasi film-film horor. Kiai dan ustaz dengan segala atribut religiusnya diposisikan sebagai tokoh protagonis. Mereka adalah perlambangan kebaikan yang mampu memerangi sekaligus menang atas kejahatan. Jelas Nanang Krisdinanto, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mandala dalam artikelnya yang terbit di The Conversation.

Sejak kemunculannya pada masa pemerintah Orde Baru, tokoh agama memang dianggap sebagai figur yang tepat untuk menjaga atau memulihkan ketertiban. Tak heran, tokoh agama jadi sangat sakral dan ritual-ritual keagamaan seperti wudhu, solat, dan dzikir jadi senjata membasmi jin dan makhluk jahat lainnya.

Namun, pasca Reformasi apalagi di beberapa tahun belakangan ini terjadi desakralisasi simbol-simbol agama. Kita melihatnya lewat Ruqyah: The Exorcism (2017), Asih (2018), Danur 2: Maddah (2018), atau Pengabdi Setan 2: Communion (2022).

Empat film ini punya kesamaan. Simbol-simbol agama seperti tokoh agama dan ritual-ritual keagamaan tak mempan mengusir gangguan jin atau setan. Di Pengabdi Setan 2: Communion misalnya ustaz Mahmud dibuat mati justru setelah “pertemuan”nya dengan pocong. Atau di Danur 2: Maddah tante Tina sedang sholat ia justru dikelilingi oleh setan. Di tengah desakralisasi simbol-simbol agama inilah justru Qodrat coba mengembalikan lagi kejayaannya. Akan tetapi, dengan pendekatan yang lebih humanis.

Dibandingkan menggambarkan Qodrat sebagai tokoh agama yang suci dan tak pernah sedikit pun kehilangan keimanan, Qodrat justru sengaja dibuat layaknya manusia biasa. Ia sempat kehilangan kepercayaan pada Allah akibat duka yang ditimbulkan oleh Asuala. Namun, di saat duka menyelimutinya ia sempat mengalami mati suri.

Dalam kematiannya Qodrat tersesat di padang pasir. Dengan menggunakan kain ihram dan dilantunkan suara adzan, ia pun bersegera menunaikan solat. Ibadah yang sudah lama tak ia lakukan. Dari sinilah ia kemudian terbangun dan menyadari apa yang ia alami adalah sebuah peringatan sekaligus karamah (anugerah). Karena setelah kematiannya, ia mendapatkan kemampuan untuk melihat yang tak kasat mata dan dapat kekuatan lebih dalam dirinya.

Menariknya, karamah yang didapatkan oleh Qodrat ini dijadikan bagian redemption arc, satuan cerita dalam karya film atau sastra di mana suatu karakter yang telah melakukan hal “immoral” atau jahat menebus diri mereka sendiri dan memperbaiki kesalahan mereka. Dalam hal ini, Charles Ghozali sebagai sutradara seperti tak segan-segan memosisikan filmnya sebagai film horor religi yang kental dengan pesan dakwah. Bahwasanya jika kita telah jauh dari Allah dan kehilangan kepercayaan padanya kita adalah manusia immoral. Sehingga kita butuh penebusan dengan melakukan hal-hal yang diminta dan diwajibkan agama.

Sepanjang film kita diperlihatkan bagaimana Qodrat telah mendapatkan keimanannya kembali. Ia jadi rajin beribadah bahkan dalam beberapa adegan film sengaja dititikberatkan pada ibadah solat dan dzikir yang ia lakukan. Tutur katanya pun kini selalu diselipkan nama dan sifat Allah dalam asmaul husna.

Tak lupa, ia juga melakukan rukiah secara cuma-cuma tanpa imbalan sedikit pun dari warga desa. Tak heran dia marah ketika kawan satu pesantrennya, Jafar (Randy Pangalila) meminta upeti pada warga. Menurut Qodrat merukiah adalah kewajiban tokoh agama yang diberikan karamah lebih dari Allah SWT.

Redemption arc dalam Qodrat pun tak hanya diperlihatkan ritual-ritual agama saja. Tetapi juga lewat sikap Qodrat yang mencerminkan tokoh agama suci. Ia kini sudah bisa memberikan nasihat agama. Hal yang dianggap sudah sepatutnya dilakukan tokoh agama untuk sebarkan dakwah. Pada Asha (Maudy Effrosina), Qodrat menyampaikan pentingnya beribadah dan tak putus asa pada jalan hidup yang diberikan Allah. Karena Allah tau apa yang kita kerjakan dan tak akan tutup telinga terhadap hamba-Nya.

Sumber: Instagram Vino. G. Bastian

 

Baca Juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor

Disabilitas dan The Bad Miracle

Qodrat boleh mampu kembalikan kepercayaan orang Muslim pada kesakralan simbol agama, akan tetapi Qodrat menyimpan yang sudah banyak dimiliki oleh banyak film maupun serial bergenre serupa. Problem ini menggarisbawahi tentang representasi karakter disabilitas dan keajaiban yang mereka dapat.

Dalam film Qodrat, penonton kenal dekat dengan sosok Alif Amri (Keanu Azka Briansyah). Anak bungsu laki-laki dari Yasmin (Marsha Timothy) yang lumpuh sehingga harus beraktivitas dengan kursi roda. Namun, kelumpuhannya tiba-tiba secara ajaib hilang saat ia sedang dan setelah dirasuki Asuala.

Selama ia dirasuki Asuala dan Alif mampu berdiri dengan kedua kakinya. Ia kerap diperlihatkan memegang gunting stek (gunting besar yang digunakan untuk memangkas tanaman) untuk mencelakai Asha dan Yasmin. Bahkan dalam satu adegan rukiah, Alif berjibaku dengan ilmu bela diri dengan Qodrat. Sedangkan setelah Asuala berhasil keluar dari tubuhnya, Alif tak kembali lumpuh. Justru ia perlahan bisa kembali menapakkan kakinya ke tanah disusul dengan senyuman ustaz Qodrat yang senang melihat kondisi Alif.

Apa yang dialami Alif ini sudah lumayan klise terjadi di genre horor. Kita melihatnya di film Pengabdi Setan (2017), The Unholy (2021), dan series Midnight Mass (2021).  Ian dalam Pengabdi Setan, awalnya digambarkan sebagai anak yang sedari lahir Tuli. Tetapi pada akhir cerita ia tiba-tiba bisa berbicara. Alice dalam The Unholy juga sama. Ia adalah gadis Tuli yang tiba-tiba bisa berbicara dan menyembuhkan orang dengan disabilitas lain. Sedangkan di Midnight Mass, Alice yang lumpuh bisa tiba-tiba berjalan bahkan berlari berkat bantuan kekuatan dari entitas jahat, Angel.

Dari Alif dan beberapa tokoh yang ada, karakter disabilitas hanya berporos pada dua trope. Pertama, mereka adalah karakter yang dianggap rentan atau secara esensi dekat dengan kejahatan. Mariah Ramsawakh dalam artikelnya di Medium menekankan trope karakter disabilitas di genre horor ini berkaitan erat dengan gagasan teks-teks keagamaan. Teks-teks ini menekankan disabilitas sebagai hukuman dan pintu gerbang menuju sihir dan kejahatan.

Dalam perumpamaan-perumpamaan teks agama, para pendosa “dikutuk” dengan kebutaan, kusta, atau lumpuh sebagai hukuman atas dosa-dosa yang dirasakan. Penyembuhan hanya ditawarkan ketika mereka bertobat dan memohon pengampunan.

Bahkan dalam teks-teks Puritan (kumpulan sejumlah kelompok keagamaan di Inggris pada abad 16 dan 17) menyatakan orang dengan disabilitas secara bawaan didorong ke arah kejahatan. Hal yang bisa penonton lihat dari pembangunan atmosfir mencekam dari adegan Alif yang dirasuki oleh Asuala.

Baca juga: ‘Ratu Ilmu Hitam’: Santet Jadi Keadilan Terakhir Bagi Korban Kekerasan Seksual

Kedua, dalam genre horor disabilitas dianggap sebuah kemalangan. Trope ini menggambarkan orang dengan disabilitas secara negatif karena mereka dianggap perlu “diperbaiki” untuk menjalani kehidupan yang bahagia. Dalam trope inilah entitas gelap umumnya berperan dalam “menyembuhkan” orang-orang dengan disabilitas.

Mereka kerap kali diceritakan akan tiba-tiba mendapatkan keajaiban tetapi setelah mengalami hal buruk. Kesurupan atau bertemu dengan manifestasi entitas jahat. Hal ini tak lain karena menurut Ramsawakh disabilitas dipandang sebagai hukuman moral. Mereka ada untuk dikasihani atau dihukum.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *