Madge PCR

Ajak Pasangan Berhubungan Seksual, ‘Physical Touch’ Atau Manipulasi?

‘Love language’ alias bahasa cinta ‘physical touch’ belakangan jadi kontroversi karena dipakai memanipulasi pasangan demi bisa bercinta. Sejauh mana batasnya?

Avatar
  • April 22, 2022
  • 5 min read
  • 2035 Views
Ajak Pasangan Berhubungan Seksual, ‘Physical Touch’ Atau Manipulasi?

What is your love language?” seorang teman laki-laki bertanya pada “Citra”, seorang mahasiswi asal Jakarta.

Physical touch and quality time,” jawabnya.

 

 

“Mau pelukan atau lebih dari itu?” pria itu bertanya lagi.

Physical touch isn’t about sex,” tegas Citra.

Pengalaman itu sempat dibaginya di Twitter. Ia ingin orang-orang paham, bahwa physical touch alias sentuhan fisik tak melulu berarti melakukan seks. Hubungan seksual memang salah satu bagian dari bahasa cinta sentuhan fisik, tapi ia bukan satu-satunya cara mengekspresikannya. Memegang tangan, cuddling, mencium, memeluk, atau mengusap punggung adalah aneka macam sentuhan fisik lain yang juga bisa meningkatkan keintiman dalam hubungan, kata Citra.

Belakangan terungkap, pria yang berusaha mendekati Citra lewat pertanyaan bahasa cinta itu ternyata melakukan hal yang sama pada banyak orang demi dapat seks. “Emang mending research dulu deh antara physical dan sexual touch, biar kita enggak terjebak sama manipulasi orang-orang kayak gitu,” katanya pada Magdalene.

Kasus serupa sempat ramai dibincangkan di Twitter, ketika ada salah seorang korban dari perilaku serupa buka suara di akun confess. Ia dimanipulasi pacarnya—yang mengaku punya bahasa cinta sentuhan fisik—untuk selalu berhubungan seks.

Namun, apa sebetulnya batas antara bahasa cinta sentuhan fisik dan memanipulasi pasangan untuk bercinta? Lalu, apa yang membuat orang-orang ini termotivasi untuk memanipulasi pasangannya?

Baca Juga: Mengenal Batasan antara Cinta dan Kekerasan

Physical Touch Adalah Bahasa Cinta yang Dimanipulasi

Umumnya, seseorang yang manipulatif akan melakukan segala cara demi mendapatkan keinginannya. Tak jarang menggunakan trik-trik paksaan tanpa mempertimbangkan orang lain yang terlibat dalam hubungan itu.

Seperti yang dialami sender di akun confession tersebut. Pacarnya selalu bilang hubungan seksual akan bikin mereka semakin saling sayang. Meski kadang tak ingin, sender itu merasa terpaksa harus menuruti kehendak kekasihnya demi mempertahankan hubungan mereka.

Sayangnya, manipulasi bukanlah bentuk mengekspresikan cinta. Seksolog Zoya Amirin kepada Magdalene bilang, “Manipulasi itu (dilakukan) orang-orang yang sebenarnya tidak siap untuk memberi dan menerima cinta.”

Ia menambahkan, seseorang yang benar-benar menyayangi pasangannya, justru akan menerima dan menilai pasangannya cukup, serta menjaga relasi tersebut dari perasaan tidak nyaman. Bukan memaksakan kehendak yang mungkin malah membuat hubungannya berakhir.

“Orang-orang seperti itu desperate secara psikologis,” ucap Zoya. “Artinya, kalau enggak melakukan sesuatu dengan caranya, dia enggak merasa disayang karena enggak mendapatkan yang diinginkan,” jelas Zoya.

Keintiman untuk mencapai kesempurnaan relasi pun sebetulnya tidak hanya bisa ditingkatkan lewat hubungan seksual, melainkan tindakan-tindakan sederhana yang membuat pasangan merasa disayang.

Seperti dijelaskan Robert Sternberg dalam A Triangular Theory of Love (1986). Ada tiga aspek yang mencakup kesempurnaan tersebut, yakni komitmen, keintiman, dan gairah. Psikolog asal AS itu juga menjelaskan, hubungan seksual justru termasuk dalam gairah, bukan keintiman.

Kendati demikian, memberikan sentuhan pada pasangan untuk mengekspresikan rasa sayang tetap perlu didasarkan pada consent. Sentuhan apa yang ingin diterima, dan kapan boleh melakukannya.

Apabila yang terjadi adalah tindakan manipulatif, menurut Zoya sudah termasuk pemaksaan hubungan seksual.

Gairah yang timbul terhadap pasangan adalah hal wajar, tapi memaksa atau sampai memanipulasi untuk mendapat seks yang tidak boleh dilakukan.

“Cuma perlu diomongin aja, enaknya dilakukan atau enggak. Dan pertimbangan-pertimbangan lainnya,” jelasnya. Hal itu termasuk membuat dan menghargai sejumlah kesepakatan, misalnya stelting—melepaskan kondom saat berhubungan seksual dan hampir ejakulasi.

“Soalnya ada juga yang memanipulasi seperti itu. Intinya jangan sampai dilakukan kalau enggak mendapatkan persetujuan di awal,” ujarnya.

Masalahnya, ketika tindakan manipulatif itu berhasil dilakukan, timbul relasi kuasa yang timpang dalam hubungan tersebut. Peristiwa macam ini terjadi ketika relasi tersebut akhirnya diatur sepihak, sehingga kemungkinan manipulasi lainnya—di luar manipulasi berhubungan seksual—untuk mengontrol pasangan sangat mungkin terjadi.

Baca Juga: Hubungan Toksik Berdampak pada Kesehatan Mental

Yang Dilakukan Jika Dimanipulasi

Mungkin tidak semua orang bisa mencegah tindakan manipulatif seperti yang dilakukan Citra. Sebab, saat jatuh cinta, seseorang lebih rentan dan sering dibutakan perasaan, sampai tak sadar pasangannya adalah a walking red flag.

Dalam studi Vulnerability in Intimate Relationships (2016), peneliti George Tsai menjelaskan, hal tersebut disebabkan adanya kepercayaan yang dibangun untuk menceritakan rahasia, rasa takut, dan tidak aman.

Bahkan kerentanan itu membuka ruang untuk mengeksploitasi, dan mengambil keuntungan dari pasangannya yang tidak berdaya, terlebih jika emotional vulnerability dalam relasi tidak setara.

Namun, bukan berarti seseorang tidak dapat keluar dari relasi toksik itu. Zoya mengatakan, sadar dan belajar dari pengalaman dimanipulasi merupakan kunci untuk mengakhirinya. Sesederhana menyadari lebih banyak sedihnya, ketimbang bahagia selama pacaran.

“Kalo dirasa walking on eggshells melulu, apa-apa harus hati-hati, feel stupid, nunggu pasangan jadi lebih baik, mendingan get out of relationship,” sarannya.

Selain itu, bisa merespons tindakan pasangan secara asertif. Orang manipulatif cenderung melakukan aksinya dengan logika, sehingga bisa ditanggapi dengan melibatkan perasaan.

Baca Juga: Putus Nyambung dalam Pacaran, Apakah Relasinya Sudah Karatan?

“Misalnya dimulai dengan memvalidasi pemikirannya, bagaimana ia ingin melampiaskan gairahnya dengan orang lain untuk mempertahankan prinsip kamu, yang secara logika memang masuk akal,” tuturnya. “Setelah itu jelaskan apa yang kamu rasakan, kalau dia melakukannya dengan orang lain. Lalu minta dia untuk bantu menenangkan.”

Dari caranya menanggapi, menurut Zoya akan terlihat sikap manipulatifnya. Apakah ia mengurungkan keinginannya dan berusaha memvalidasi perasaan, atau mengesampingkannya dan mencari pembenaran secara rasional, yang menjadi defense mechanism-nya.

“Kalau dia bilang kamu baperan, kamu cuma alat, enggak penting buat dia. Tapi jangan salahkan perasaanmu karena itu valid,” tegasnya.

Sekalipun seks penting dalam hubungan romantis, hal tersebut bukanlah segalanya. Sebagai seksolog, Zoya menyarankan untuk membangun relasi dari persahabatan, saling mencintai, dan diakhiri dengan seks jika ingin mengetahui apakah keduanya sexually connected.

Namun jika sebaliknya, kemungkinannya relasi itu menjadi toksik dan bertahan hanya karena seksnya sensasional. Namun, ternyata di luar itu tidak ada koneksi.

Hal lain yang juga perlu dipahami adalah faktor seseorang enggan melakukan hubungan seksual. Sekalipun sebelumnya telah melakukan, bukan berarti ia siap melakukannya lagi dengan pasangan yang baru.

“Lagi pula, jika seks dimanfaatkan untuk meningkatkan keintiman hubungan, seharusnya yang dilakukan adalah making love, bukan sekadar hubungan seksual,” ungkap Zoya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *