5 Aturan Dasar Jika Ingin Pinjam Bahu Teman untuk Bersandar
Jika ingin curhat atau pinjam bahu teman untuk bersandar, lebih baik simak aturan ini biar sama-sama enak.
Memiliki teman sama seperti memiliki kotak pandora dengan sejuta pertolongan pertama pada situasi buruk di dalamnya. Jika meminjam uang dan barang pada teman tidak termasuk di kamus semua orang, maka meminjam bahu teman untuk bersandar di kala masalah mendera pastilah pemersatunya. Singkatnya, sebut saja curhat.
Punya teman untuk bersandar saat ada persoalan itu penting, karena sering kali kita tidak bisa menceritakan semua masalah pada keluarga. Seorang remaja yang tumbuh di keluarga konservatif, misalnya, tidak akan bisa memberitahu kisah putus cintanya pada ibunya, apalagi jika ia telah berhubungan seks dengan mantan kekasihnya. Maka, ia akan bercerita pada teman. Begitu juga ketika kita mendapat kesulitan dari kolega kantor, tentu kita memerlukan bercerita pada teman di luar lingkar pekerjaan kita, demi terjaminnya kerahasiaan curhat.
Sepintas, membuka diri pada teman terdengar seperti satu gerbang yang mendekatkan dua jiwa. Sayangnya, tidak semua berakhir demikian. Sering terjadi, sesi curhat justru menjauhkan kita dari teman pendengar. Rasanya, setelah beberapa kali membagi derita padanya, kok hubungan pertemanan dengannya justru perlahan berjarak. Mengapa demikian? Apakah masalahku begitu buruknya hingga dia tak lagi mau jadi temanku?
Sebelum menuduh teman kamu tidak lagi peduli padamu, yuk, kita periksa poin-poinnya yang saya kumpulkan berdasarkan pengalaman mereka yang bahunya sering dipinjam sebagai sandaran.
Baca juga: Saat Curhat, Pedulikan Juga Kesehatan Mental Lawan Bicara
-
Buat Janji Sebelum Curhat pada Teman
Seberapa pentingkah kita harus membuat janji sebelum menyita waktu teman berjam-jam untuk mendengarkan hal yang menggelisahkan? Kebanyakan kita pasti berpikir, janji hanya untuk sesuatu yang bersifat formal seperti pekerjaan, bukan untuk keperluan pribadi dalam pertemanan.
Ruri, 36, telanjur mengangkat telepon temannya karena mengira itu mungkin hanya telepon singkat biasa. Ternyata ia sering terjebak dalam dua hal sulit yang akhirnya harus dia kerjakan dalam waktu bersamaan: berkonsentrasi menanggapi tangisan teman sambil mengerjakan pekerjaan kantor.
Baginya, sulit untuk meminta teman yang sedang menangis agar menelepon lagi nanti, hingga ia sering berakhir dengan kacaunya pikiran tentang apakah tugas kantornya telah ia kerjakan dengan baik atau tidak. Setelah kejadian itu berulang, dia akhirnya memilih untuk mengabaikan telepon dari temannya tersebut kecuali dia tahu terlebih dahulu apa yang akan mereka bicarakan.
Terkadang, seseorang yang sedang sedih merasa bahwa meluapkan perasaannya demikian penting hingga ia bisa menelepon siapa saja selama apa saja, tanpa perlu memikirkan apakah temannya sedang mengerjakan sesuatu atau tidak. Membuat janji terlebih dahulu adalah solusinya.
-
Peka dan Empati terhadap Teman Curhat
Jika temanmu sedang menganggur, kamu tidak pantas mengeluhkan betapa banyaknya pekerjaanmu di kantor. Jika temanmu berpaham liberal, mengeluhkan betapa gerakan kesetaraan gender sangat merusak konsep moral konservatif adalah sama seperti menabuh genderang perang.
Di dunia yang semakin egois, punya teman yang bersedia menemani dalam keadaan sulit adalah sebuah berkah. Karenanya, jangan sampai kita kehilangan teman sebab kita hanya berfokus pada kepentingan kita sendiri.
Laura, 40, berhenti meminjamkan bahunya kepada seorang teman yang mengeluh bahwa ia harus mengeluarkan uang ekstra karena anak-anaknya mencoreti dinding rumahnya. Padahal ketika itu Laura tengah berduka setelah baru saja mengalami keguguran untuk kesekian kali. Bagi Laura, itu seperti membuang-buang makanan di depan orang yang tengah kelaparan.
Sebelum bergalau ria, ada baiknya cek terlebih dahulu latar belakang orang yang ditarget untuk dipinjam bahunya. Jika kondisi kalian bertentangan atau kegalauanmu diperkirakan justru hanya akan memperburuk kondisi pendengarnya, mencari target bersandar yang lain sepertinya lebih bijak.
-
Curhat adalah Hubungan Dua Arah
Punyakah kamu teman yang hanya kamu hubungi jika kamu sedang memiliki segudang sampah pikiran untuk dibuang? Bagimu mungkin dia teman yang bijak, yang mampu menjernihkan pikiranmu segera setelah kamu mendatanginya dalam keadaan keruh. Namun, pernahkah kau berpikir bagaimana posisimu di matanya?
Jane, 29, tidak lagi menghiraukan seorang teman yang hanya menghubunginya jika ia ingin membuat janji curhat. Bagi Jane, perlakuan demikian membuatnya merasa lebih seperti penyedot debu dibandingkan seorang teman.
“Bayangin aja, gue lagi sakit, gue kebanjiran, gue lagi kegiatan apa, dia enggak pernah ngontak dengan tulus sekedar pengen tau kabar gue. Dia cuma pantau status sosmed gue buat nyari tahu, gue kira-kira bisa dia curhatinnya kapan. Dikira gue psikolog kali. Gue ini teman, gue enggak dibayar pake duit, teman itu saling invest bonding.”
Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: Terpisah dari Keluarga, Jadi Teman Curhat Pasien
-
Perhatikan Status Teman Curhat
Dalam beberapa masalah, kita barangkali lebih nyaman untuk membagi perasaan pada lawan jenis yang sudah berkeluarga. Namun, pernahkah kita mencari tahu apakah masalah pribadi kita berpotensi disalahartikan oleh keluarga pendengar?
Rey, 35, memilih menjauhi teman perempuannya yang sering mengiriminya cerita tentang masalah pribadinya, demi menghindari salah paham di antara dia dan istrinya. Bagi Rey, memberikan saran pada teman barangkali bukan masalah besar, namun bagi istrinya, teman Rey seharusnya mencari sandaran lain yang belum berkeluarga untuk frekuensi curhat sesering itu.
Status juga perlu dipertimbangkan ketika masalahmu berkaitan dengan orang yang memiliki hubungan akrab dengan si pendengar. Seperti jika atasanmu adalah orang tua, kakak atau sahabat dari teman yang bakal kamu curhati, tentu akan berbahaya jika kamu menyoal hal negatif tentang mereka. Sebijak apa pun pendengarmu, kemungkinan besar ia juga memiliki versi lain tentang isu yang melibatkan orang terdekatnya dan bisa saja membuatnya menjauhimu setelah ceritamu usai.
-
Tolong Saling Menjaga Rahasia Saat Curhat
Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya, kamu juga harus memastikan bahwa masalah yang kamu bagikan bukanlah peristiwa yang kelak kalian sesali. Masalahmu, keluhanmu, bahkan kadang sumpah serapahmu bukanlah sesuatu yang ingin kamu kabarkan pada banyak orang, sebab itulah kamu memilih satu temanmu sebagai tempat berbagi, bukan?
Begitu juga tanggapan dari pendengarmu yang tak jarang turut menginvestasikan emosi dan sumpah serapahnya dalam proses penceritaanmu. Menyedihkannya, tak jarang salah satu dari kalian bukanlah penjaga rahasia yang andal hingga interaksi kalian justru berakhir sebagai isu yang tersebar dari mulut ke mulut yang justru akan menjadi masalah baru.
Di titik ini, tidak lagi hanya temanmu yang akan menjauhimu, tapi kamu juga akan menjauhinya. Keakraban sosial kalian dalam lingkup yang lebih besar juga akan merenggang sebab kalian merasa canggung dengan penilaian teman-teman lain terhadap diri kalian berdasarkan isu yang telah beredar tersebut.
Hemmi, 25, mengatakan bahwa dia menyesal telah menceritakan masalahnya pada seorang teman yang ternyata menjadikan masalahnya itu sebagai gosip berseri di kantor mereka. Sedangkan Nanda, 31, memutuskan pertemanannya dengan seseorang yang meminta saran untuk keluar dari hubungan asmaranya yang toksik, karena teman tersebut justru mengatakan bahwa Nanda-lah yang telah memaksanya memutuskan pacarnya hingga Nanda menerima banyak teks negatif dari pacarnya temannya itu.
Setelah bercerita, masalah memang belum tentu terurai, namun mengetahui adanya seorang teman yang setia membuka bahunya untuk disandari sedikit banyaknya memberikan kelegaan luar biasa, seolah kita mendapat kekuatan besar untuk menghadapi hidup setelahnya langsung dari atas langit. Yang perlu diperhatikan adalah memosisikan diri dengan cermat sebagai bentuk penghargaan kepada si empunya sandaran.
Di dunia yang semakin egois, memiliki teman yang bersedia menemani di kala kesulitan menerjang adalah sebuah berkah. Karenanya, jangan sampai kita kehilangan teman sebab kita hanya berfokus pada kepentingan kita, tanpa mempertimbangkan bahwa mungkin kita telah menjadi sumber ketidaknyamanan bagi dirinya.