Madge PCR

‘Love Language Act of Service’: Ketika Cinta Bicara lewat Aksi Nyata

Jika kita tidak menikmati act of service yang kita lakukan pada orang lain atau tidak merasa dihargai karena melakukannya, mungkin inilah saatnya untuk mengevaluasi kembali.

Avatar
  • November 4, 2022
  • 6 min read
  • 1857 Views
‘Love Language Act of Service’: Ketika Cinta Bicara lewat Aksi Nyata

“Amanda”, 28, tak pernah menyukai kata-kata manis dari pasangan. Tak ada “I love u”, “Aku sayang kamu”, “Aku butuh kamu”, dan sejenisnya. Dalam hemat Amanda, rasa cinta yang diungkapkan lewat tindakan justru paling berharga ketimbang kata-kata manis.

“Geli aja gitu kalau denger kata-kata gombal. Beda kalau tindakan ya. Kaya aku merasa enggak expect aja, dia bakal melakukan sesuatu buatku. Itu buat aku seneng banget. Merasa berbunga-bunga,” kata dia pada Magdalene.

 

 

Hal senada diyakini oleh “Melinda”. Menurut perempuan itu, rasa cinta lewat tindakan tak hanya membuatnya senang, tapi juga nyaman dan penuh. Ia jadi merasa dimengerti dan diakui perasaannya.

“Kalau lewat tindakan tuh, lebih keliatan nyata care-nya. Ngerasa ‘Oh berarti beneran sayang” gitu sih, kayak kebukti aja pasangan tuh enggak cuma omdo (omong doang. Redgitu.”

Baca Juga: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan, Haruskah Berhenti Jadi Bucin Keras Kepala?

Apa itu Act of Service?

Kesukaan Amanda dan Melinda ini dikenal sebagai bahasa cinta act of service. Konsep ini pertama kali digagas Gary Chapman dalam The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate (1992).

Melalui act of service, individu berkaitan akan melakukan tindakan praktis kepada orang yang mereka cintai, baik dalam relasi romantis atau bukan. Mengutip dari Healthline dan IDN Times, tindakan praktis di sini mengacu bukan pada bobot tindakan. Namun, esensi tindakan yang dilakukan untuk membantu orang yang kita cintai. Semua dilakukan tanpa pamrih atau meminta balasan. Hal ini tak lain karena act of service jadi cara individu dalam mengomunikasikan rasa sayang sekaligus apresiasi dan sikap menghargai pada orang terkasihnya. 

Act of service juga dapat merefleksikan bagaimana pasangan atau orang di luar hubungan romantis, memandang dan memahami kita. Karena itu, besar kecil tindakan tidak berlaku dalam act of service dan bisa berdampak besar pada individu bersangkutan. Mereka jadi lebih merasa bahagia, dihargai, dan puas dalam menjalin relasi romantis.

Namun, ada catatan penting terkait ini. Kepada Cosmopolitan, Samantha Kingma, terapis pernikahan dan keluarga berlisensi  menjelaskan act of service tidak boleh disamakan dengan “melayani” seseorang. Kingma mengatakan ada garis tipis antara keinginan untuk membantu dan sepenuhnya melayani orang lain yang menolak untuk mengambil tanggung jawab mereka sendiri. Jika kita tidak menikmati tindakan yang kita lakukan pada orang lain atau kita tidak merasa dihargai karena melakukannya, mungkin inilah saatnya untuk mengevaluasi kembali

Sama seperti bahasa cinta lain, termasuk word of affirmationact of service sebenarnya tak bersifat satu arah. Ia tak hanya diterima oleh orang-orang yang memiliki bahasa cinta ini, tetapi juga jadi cara untuk memberikan hal yang sama kepada orang terkasihnya.  

Hal ini dilakukan oleh Melinda yang kebetulan suaminya memiliki bahasa cinta serupa. Dalam pernikahannya, Melinda dan suami saling memberikan rasa cinta lewat tindakan-tindakan kecil.

Melinda menyiapkan baju, memotong kuku, atau mengisi dompet digital suaminya. Sementara, suami Melinda kerap memijat saat ia merasa lelah mengasuh anak semata wayangnya. Dia juga mengantar dan menjemputnya ke kantor, atau membantu pekerjaan Melinda walau hanya membacakan materi kerja saja.

Terkesan sepele memang, tetapi tindakan-tindakan praktis ini nyatanya efektif meningkatkan keintiman dan kualitas komunikasi antara keduanya. Keduanya merasa dihargai dan diberikan cinta sama besarnya.

Baca Juga: Ajak Pasangan Berhubungan Seksual, ‘Physical Touch’ Atau Manipulasi?

Bagaimana Jika Bahasa Cintanya Berbeda?

Perlu kita pahami bersama, setiap orang punya preferensi bahasa cinta berbeda-beda. Melinda kebetulan memang punya bahasa cinta yang sama dengan suaminya, sehingga memudahkannya menavigasikan diri dalam relasi. Namun, Amanda punya kasus yang berbeda. Dibandingkan dengan pasangannya pada zaman pacaran dulu, suami Amanda kini punya bahasa cinta yang berbeda. Words of affirmation atau bahasa cinta yang diungkapkan lewat kata-kata.

Perbedaan ini sedikit banyak cukup berpengaruh pada pola relasinya. Amanda merasa suaminya terkesan tak punya inisiatif atau bahkan insentif karena tak mempertimbangkan perasaannya. Saat ia sedang hamil, misalnya, Amanda mengharapkan sang suami mau menjemputnya di kantor. Mau bagaimana pun naik kendaraan umum saat hamil sangat menyusahkan. Apalagi kalau harus melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Depok.

Sayangnya, suami Amanda tak juga melakukannya. Bahkan ketika ia berusaha memberikan “kode” pada suaminya, dia malah meminta Amanda untuk pulang dengan taksi online.

“Ya aku langsung marah lah. Pas pulang aku diemin dia. Satu hari penuh sampe dia nyadar sendiri dan minta maaf.”

Amanda pun mengaku, perbedaan bahasa cinta antara suaminya ini membuat mereka sering merasa bete satu sama lain. Ia jadi pihak yang sering bete karena suaminya yang terlihat tidak acuh.

Pengalaman Amanda inilah yang jadi pengingat penting tentang bahasa cinta. Roy Biancalana, penulis, pembicara, dan pelatih hubungan berlisensi mengungkapkan kendati banyak terapis hubungan menggunakan bahasa cinta dalam pendekatan permasalahan klien mereka, bahasa cinta tak bisa ditelan begitu saja karena cukup problematik.

Menurutnya, bahasa cinta tendensi berfokus pada ekspektasi yang ingin kita dapat dari pasangan, begitu pula asumsi kita atas apa yang sebaiknya dilakukan pada pasangan.Ini mengakibatkan rasa cinta hanya diukur seperti target skor dalam pertandingan. Siapa yang paling banyak memberikan bahasa cinta kepada pasangannya, berarti dialah yang jadi pemenang dalam relasi itu. Ia yang paling menyayangi dan mencintai pasangannya lebih dari pasangannya sendiri.

Hal ini jelas problematis karena menurut Biancalana tujuan dari suatu hubungan bukanlah untuk membuat kita bahagia karena merasa dicintai, tetapi untuk membuat kita sadar. Sadar akan apa?

Sadar akan pola pikir “kamu melengkapi hidup saya” telah lama kita rangkul seakan kita adalah manusia tak utuh yang selalu kekurangan atas sesuatu, terutama cinta. Jadi kita selalu butuh sesuatu di luar diri kita untuk memberikannya kepada kita. Tanpanya kita tak merasa berharga.

Baca juga: 5 Pelajaran Penting dari Pengalaman Patah Hati

Terapis pernikahan dan keluarga berlisensi, Linda Carroll kemudian melanjutkan bahasa cinta apa pun itu hanya bagian dari gaya komunikasi. Bahasa cinta bisa berubah seiring berjalannya waktu. Ia juga hanya bisa dijadikan cara untuk menjalani hari-hari dengan pasangan dengan penuh kasih bukan untuk membangun atau memperbaiki sebuah relasi.

Karena itu, dibandingkan dipusingkan dengan bahasa cinta hal yang paling penting dilakukan dalam relasi. Komunikasi dua arah yang setara. Artinya, kedua orang harus menajamkan telinga mereka masing-masing dan berkompromi. Cara pertamanya tentu adalah menurunkan ekspektasi pada diri sendiri dan pasangan kita.

Sadari harus ada jembatan yang harus dibangun antara kita dan dia. Karena jika tidak, ada dua kemungkinan terjadi. Pertama, relasi yang kita bangun akan berakhir dalam relasi kuasa yang timpang. Kedua, selamanya kita hanya bergantung pada ekspektasi tanpa ujung yang hanya mengecewakan diri kita sendiri dan inilah yang akhirnya berusaha dilakukan oleh Amanda. Kini ia mengerti perbedaan bahasa cinta antaranya dan suami bukan halangan.

Love language itu hanya bumbu sehari-hari. Yang penting itu saling ngerti, saling komunikasi. Karena buat apa punya love language sama juga kalau misal kita enggak saling ngerti apalagi di relasi jangka panjang. Adanya nanti berantem terus.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.