Beauty Lifestyle

Standar Kecantikan dan Bahaya ‘Beauty Filter’ di Kamera Ponsel

Fitur beauty filter di kamera mengobrak-abrik standar kecantikan yang mustahil dicapai oleh perempuan.

Avatar
  • July 7, 2021
  • 4 min read
  • 994 Views
Standar Kecantikan dan Bahaya ‘Beauty Filter’ di Kamera Ponsel

Kamu tak butuh skincare atau makeup yang mahal hanya demi terlihat cantik, cukup pakai beauty filter di gawaimu. Begitulah cara kapitalis menjual produk paling artifisial tersebut. Di era di mana teknologi terus berlari seperti sekarang, tampil cantik sesuai konstruksi masyarakat bahkan bisa diwujudkan dalam hitungan menit. Tinggal pilih filter yang diinginkan, tada~ kamu bisa memiliki kulit putih, wajah yang tirus, serta bulu mata yang lentik. Kami membahas ini dalam episode kedua FTW Media, sebuah Podcast Indonesia yang membahas tentang representasi perempuan dalam media.

 

 

Salahkan Standar Kecantikan yang Tak Adil

Kamu yang senang berselancar di media sosial, pasti pernah melihat berita-berita soal editan foto super ekstrem yang membuat wajah dan tubuh berubah. Dari yang gendut bisa kurus, dagu lancip, bahkan kulit kecoklatan bisa berubah seketika tanpa pemutih. 

Sejumlah warganet barangkali langsung mencemooh, “Wah editan-nya tipu-tipu ini, parah”,”Wah hati-hati, Guys, sama filter kamera,” lalu mulai memojokkan sang perempuan. Padahal penggunaan beauty filter didorong oleh standar kecantikan tak adil yang menekan para perempuan.

Baca Juga: Saya Feminis, Saya Menentang Narasi ‘Semua Perempuan Cantik’

Walaupun beberapa orang ada yang memilih melakukan operasi plastik, penggunaan filter kecantikan di ponsel pintar masih menjadi kegemaran masyarakat apalagi perempuan. Menurut Profesor Kajian Wanita di Universitas Hawaii, L. Ayu Saraswati, standar kecantikan yang berada di masyarakat memengaruhi keunikan yang ada pada pribadi seseorang. 

“Masalahnya ketika penggunaan filter ini menjadi normal, perempuan yang (awalnya) punya warna kulit beragam, dengan standar ini, warna kulit cantik cuma satu: Putih. Akibatnya, kita sendiri menjadi tidak bisa menghargai keberagaman,” ungkapnya.  

Dampak Buruk

Di balik menyenangkannya memakai beauty filter, para perempuan tak sadar ini menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Pada 2019 lalu, fotografer fesyen John Rankin Waddel, menggelar pameran foto bertajuk “selfie Ham” Bersama dengan M&C Saatchi dan MT Art Agency. Rankin meminta 15 orang remaja untuk menyunting swafoto mereka hingga ke tahap yang mereka anggap ramah media (social-media friendly). 

Dari sana, Rankin melihat sisi gelap di balik penggunaan filter tersebut. Kata dia, aplikasi filter telah mengubah total diri remaja itu. Mereka cuma terdorong untuk memodifikasi diri, menghasilkan wajah baru yang asing. Filter telah mengajarkan orang-orang bahwa wajah mereka tidak cukup bagus, cantik, tampan, sehingga sudah selayaknya dipoles. 

Baca Juga: ‘Effortless Beauty’: Standar Ganda Kecantikan yang Mustahil Dicapai

Selain itu, survei lainnya yang dilakukan oleh Girl Guiding juga mendapatkan hasil hampir-hampir mirip. Mereka  menemukan sepertiga perempuan muda tidak akan mengunggah swafoto mereka tanpa menggunakan filter. Mengutip BBC, survei menemukan, remaja usia 11-21 tahun merasa kesal karena tidak memiliki penampilan seperti yang mereka lihat di media sosial pada kehidupan nyata mereka. Ini jumlahnya 39 persen (dari hampir 1500 responden). 

Standar kecantikan yang sering kali memberatkan perempuan juga terjadi dalam dunia profesional. Ini tergambarkan dalam sebuah film berjudul The Truth About Beauty, sebuah film Cina-Hongkong yang bercerita tentang Guo Jing, perempuan lulusan anyar dan tengah mencari pekerjaan. 

Malangnya, ia selalu ditolak sebab wajah dan rambutnya yang keriting tidak masuk dalam standar kecantikan dunia profesional kerja. Akibatnya, ia pun melakukan operasi plastik dan menggunakan teknologi editing foto agar ia mendapat pekerjaan. 

Faktanya ini tidak hanya terjadi di dunia film saja. Diskriminasi dalam dunia kerja kerap kali kita jumpai. Ada banyak sekali kriteria pekerja yang tidak masuk akal, seperti berpenampilan menarik, tinggi minimal-maksimal, belum menikah, berat badan, bahkan ada juga secara terang-terangan menuliskan harus cantik dan menarik. Sialnya, kriteria diskriminatif seperti ini lebih banyak ditujukan pada perempuan. Ini masih memperlihatkan bagaimana perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang standar kecantikan yang tidak masuk akal.

Mendobrak Standar Kecantikan Media Sosial

Walaupun masyarakat masih banyak terpengaruh pada standar kecantikan yang direpresentasikan oleh media-media arus utama, ada juga inisiatif-inisiatif perubahan kecil yang dilakukan oleh beberapa perempuan untuk mendobrak standar kecantikan.

Salah satunya ada penata rias Sasha Pallari yang viral lewat kampanye #filterdrop. Kampanye ini mengajak pengguna media sosial menyadari kondisi ketika sebuah filter telah digunakan untuk konten promosi. Dia mendorong konsumen dan merek untuk kembali pada realitas dengan meninggalkan filter tersebut.

Baca Juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan

Selain itu ada juga Hayati Aziz, penerima penghargaan “Model of the Year 2018” di BeautyFest Asia. Model asal Sumatera ini sukses menentang standar kecantikan versinya sendiri, dengan kepala plontos dan kulit cokelat.

Kamu juga bisa, kok, jadi bagian dari kampanye untuk menunjukkan cantikmu sendiri, tanpa tipu-tipu filter, tanpa dibayangi standar bikinan masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jonesy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *