Issues

Buruknya Liputan Gender dan Minoritas di Media: ‘Kami Memang Salah, tapi…’

Puluhan editor serta pemimpin media di Jakarta dan Jawa Barat ngomong blak-blakan soal jurnalisme konstruktif di ruang redaksi mereka.

Avatar
  • September 14, 2022
  • 8 min read
  • 1111 Views
Buruknya Liputan Gender dan Minoritas di Media: ‘Kami Memang Salah, tapi…’

Ghea masygul, ini sudah kos-kosan ke-30 yang didatangi, tapi belum ada yang mau menerimanya tinggal. “Awalnya (induk semang) welcome, tapi begitu saya mengaku seorang transpuan, mereka mengambil jarak. Langsung ditolak, enggak boleh, pokoknya,” ujar transpuan Srikandi Pakuan Bogor itu, (3/9).

Biar bagaimanapun, Bogor, kota tempatnya bermukim beberapa tahun terakhir tak bisa lagi jadi rumah yang aman. Spanduk “LGBT dilarang tinggal di sini”, “LGBT dilarang makan di sini”, “Kami menolak LGBT” bertebaran di sudut-sudut kota. 

 

 

“Teman saya diusir, digusur, dipersekusi dari tempatnya mencari uang karena dianggap meresahkan,” katanya lagi.

“Padahal kami enggak ngapa-ngapain, enggak mencuri, enggak membunuh, enggak berbuat kriminal. Kami cuma mencari uang buat bertahan hidup.”

Meletusnya kepanikan moral ini terutama dipicu setelah Wali Kota Bogor Arya Bima mengetok Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) pada Desember 2021. Dalihnya demi mengurangi angka HIV/ AIDS yang konon meningkat di sana.

Dalam Pasal 6 Perda itu, kelompok Lesbian Gay Biseksual, dan Transgender (LGBT) dimasukkan sebagai ‘perilaku atau aktivitas seksual menyimpang’, satu grup dengan pamer alat vital (ekshibisionisme), seks dengan hewan (bestialitas), dan pecinta mayat (nekrofilia).

Buntutnya dirasakan langsung oleh Ghea dan kawan-kawan komunitas LGBT. “Bogor dari dulu memang tak pernah ramah pada kelompok minoritas, tapi Perda itu justru jadi alat legitimasi untuk menggebuk kami,” tuturnya dalam diskusi meja bundar bertajuk “Mengubah Narasi Gender di Media melalui Jurnalisme Konstruktif, besutan Magdalene dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Diskriminasi terhadap LGBT di Bogor ini sekaligus memperkuat temuan survei Saiful Mujani Research pada April 2022. Dalam survei itu dijelaskan, kelompok LGBT menjadi salah satu pihak yang paling tak disukai (dibenci) oleh para responden di Indonesia.

Lembaga yang sudah melakukan survei intoleransi sejak 1999 itu ingin menunjukkan, ada hubungan kuat antara pemberitaan media dan kebencian publik. Dulu di era Reformasi 1998, paling banter kelompok yang paling dibenci adalah Komunis, tapi LGBT masuk dalam daftar sejak kasus pembunuhan mutilasi Ryan Jombang. Ryan makin dapat sentimen negatif karena orientasi seksualnya yang menyukai lelaki.

Dalam riset terpisah yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) pada 2016 disebutkan, sebanyak 973 orang menjadi sasaran diskriminasi, persekusi, dan kekerasan di seluruh Indonesia sepanjang 2017. Hampir tiga perempat dari korban adalah transgender, diikuti dengan 23 persen laki-laki homoseksual, dan 3 persen lesbian. Kasus-kasus berkisar dari pengekangan kebebasan berekspresi (termasuk larangan acara atau diskusi terkait LGBT) dan penggerebekan rumah serta penggusuran, sampai penangkapan di klub malam gay, hingga pembunuhan. Kasus ini terus meningkat, seiring dengan munculnya regulasi homofobik, termasuk Perda Bogor.

Baca juga: Apa itu Jurnalisme Konstruktif, Kenapa Kita Membutuhkannya

Media Turut Jadi Sponsor Homofobia

Yang terjadi, media turut andil menyebarkan kebencian terhadap kelompok minoritas LGBT. Judul-judul dibuat dengan tendensi menghakimi, orientasi seksual dan identitas gender diungkit atas nama menambang klik. Di antaranya, “LGBT Diduga Hendak Gelar Pesta Gay di Puncak Bogor”, “39 Lokasi Jadi Sarang LGBT di Bogor, Dekat Istana Paling Favorit”, “Ngeri! Coki Pardede Akui Dirinya Gay Hingga Ungkap Fakta Mengejutkan Lain Saat Diperiksa Polisi”, “Politisi PKS : Isu LGBT Meresahkan Publik, Kebebasan Ada Batasnya!”, “Ini Alasan Kenapa Pasangan Homoseksual Sering Membunuh”, “Kasus-kasus pembunuhan sesama jenis yang bikin heboh”.

Zahra, aktivis Sanggar Waria Remaja (SWARA) angkat suara soal ini, dalam diskusi yang sama. “Masih banyak berita soal prestasi transpuan, tapi alih-alih menguraikan pencapaiannya, justru mengetengahkan apa orientasi seksual transpuan itu. Sebaliknya, jika ada transpuan yang tersandung kasus hukum, bukan aspek hukumnya yang dibahas tapi lagi-lagi soal orientasi seksualnya. Dari sini saya makin yakin, para wartawan di media selain tak punya empati, juga minim perspektif dan keberagaman gender,” ungkapnya.

Keluhan Zahra dan Ghea diamini oleh sejumlah editor dan pemimpin media yang hadir di diskusi tersebut. Rani, salah satu wartawan di Jawa Barat berkomentar, sejauh ini di media tempatnya bekerja, perspektif keberagaman gender memang terbilang minim. Pada akhirnya kalau pun ada berita soal perempuan atau kelompok minoritas, itu tak lebih dari tempelan saja.

Senada, Taufik dari CNN Indonesia berujar, tak semua awak redaksi mempunyai pemahaman yang bebas bias gender. Di tempatnya bekerja, sudah ada kebijakan dan kemajuan sikap soal peliputan LGBT, tapi masih belum cukup jelas. “Kami biasanya terbatas memberitakan LGBT dari aspek perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) saja, dan menurut saya itu masih kurang ya,” ujarnya.

Mustaqim, wartawan Kompas TV memetakan sebab-sebab kenapa pemberitaan di media masih belum berperspektif gender. Setidaknya, kata dia, ada empat lapis persoalan di ruang redaksi terkait ini. Di antaranya adalah nihilnya perspektif gender, kapasitas wartawan yang rata-rata, terhambat kebijakan kantor yang tak inklusif, dan persoalan pasar. 

“Bisa jadi wartawan-wartawan di redaksi ini paham perspektif gender. Mereka sadar dirinya salah ketika buat peliputan yang menyudutkan kelompok minoritas, tapi atas nama profit perusahaan media, wartawan pun tak bisa berkutik,” tuturnya.

Yang dikatakan Mustaqim ada benarnya. Dalam buku “The Political Economy of Communication” (1996), Vincent Mosco menyebutkan, media melakukan praktik komodifikasi atau transformasi hubungan, dari yang mulanya bebas dari hal-hal yang bisa diperjualbelikan, menjadi hubungan yang murni komersial. Baik komodifikasi konten, khalayak, maupun pekerja, media konsisten mentransformasi hubungan mereka sedemikian rupa. Komodifikasi konten misalnya dilakukan dengan membuat judul sensasional dan clickbait, agar berita itu laris di pasaran.

Alhasil, ketimbang repot memikirkan apakah berita yang dibuat justru melanggengkan stereotip atau tidak, wartawan bekerja berdasarkan logika mencari cuan. Masalahnya, di ekosistem media saat ini, wartawan jadi tak punya banyak pilihan untuk melawan.

Baca juga: ‘Quo Vadis Infotainment’: Antara Jurnalisme dan Sensasionalisme

Lalu, Adakah Solusinya

Dalam diskusi ini, para editor dan pemimpin media yang hadir tak cuma menguraikan problem di ruang redaksinya, tapi juga menawarkan solusi. Solusi pertama adalah mengasah sensitivitas gender dari level reporter, hingga pemimpin redaksi, bahkan pemilik modal jika perlu. Terkait ini, Umi, redaktur IDN Times menjelaskan, medianya, kendati masih baru, sudah menyadari bahwa perspektif gender itu dibutuhkan.

“Karena itulah kami membuat tujuh pilar IDN Times, di mana salah satunya adalah gender equality. Inilah yang akhirnya jadi pedoman kita untuk menulis konten, termasuk menetapkan narasumber, harus balance antara narasumber perempuan dan lelaki, diksi diperhatikan betul, kami juga mengharamkan penggunaan diksi cantik di judul berita. Pilar ini sudah diperkenalkan sejak hari pertama bekerja,” tuturnya.

Dengan pedoman yang jelas di ruang redaksi, pemberitaan yang diskriminatif itu bisa dieliminasi. Dalam hal ini ia berujar, tak cuma media baru yang bisa melakukan, media lama yang sudah mapan pun bisa menirunya. Kompas, salah satunya.

“Kuncinya adalah semua orang mesti paham perspektif gender. Semua orang harus ingat apa itu marwah Kompas. Jadi begitu tergoda membuat berita yang diskriminatif, ingat-ingat lagi bagaimana marwah Kompas yang peduli dengan hak asasi manusia, yang independen, dan menghindari bias, dan sejenisnya,” ucap Reni dari Kompas.com.

Upaya meningkatkan sensitifitas gender itu juga bisa ditempuh lewat pelatihan yang komprehensif. Maksudnya, pelatihan tak cuma dilakukan di level reporter saja, tapi bahkan sampai ke pemilik modal. Apalagi sejauh ini relatif banyak pelatihan yang mengangkat topik-topik keberagaman atau isu gender, baik yang dilakukan media, kolektif wartawan, hingga Non-Governmental Organization (NGO).

Bahkan, jika diperlukan, tak cuma lewat pelatihan, wartawan bisa duduk bersama untuk mendiskusikan liputan-liputan problematik. Andi Yentriani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menjelaskan, karena isu gender makin kompleks, wartawan dituntut bukan hanya memahami kasusnya tapi juga bagaimana cara menyampaikan ke media agar tidak menimbulkan kebingungan.

“Jadi saya mengajak wartawan untuk mungkin bertemu sebulan sekali, membuat perbincangan bersama tentang isu-isu gender serta minoritas. Mungkin itu akan membantu untuk membuat konten yang lebih baik,” ujarnya.

Solusi kedua, memperbaiki perlahan ekosistem bisnis media yang selalu bergantung pada klik. “Saya tahu, semua media pasti mengincar traffic karena angka adalah (indikator penilaian) yang bisa dimengerti oleh semua orang, berbeda dengan kualitas dan kedalaman tulisan yang tak selalu dimengerti. Karena itu, saya menyarankan agar media mulai mengubah pola pikir saat mendekati pendana. Media perlu meyakinkan para pengiklan bahwa untuk menciptakan ekosistem yang baik, mereka bisa menggunakan indikator penilaian berupa kualitas atau kedalaman berita misalnya,” kata Citra, Pemimpin Redaksi Radio KBR 68H.

Hal ini, kata dia, mungkin mudah diterapkan pada media besar yang mapan, tapi bagaimana dengan media kecil? “Kalau media top rank cenderung diuntungkan karena sudah punya nama, tapi media kecil apalagi di daerah, tantangannya berlipat-lipat. Persaingan pendanaan ketat. Karena itu, saya menyarankan media kecil bisa meyakinkan pada pendana dan publik bahwa mereka punya dampak.” ungkap Joko, Pemimpin Redaksi Bandung Bergerak sekaligus Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung.

Kita, imbuhnya, juga bisa mendorong ada pemerataan akses pendanaan untuk media-media independen. Pun, kita juga menempuh langkah kolaborasi agar bisa terus bertahan.

Baca juga: Ramai-ramai Media Hijrah ke ‘Blockchain’, Mungkinkah Indonesia Menyusul?

Pada akhirnya, kita tahu media adalah industri yang berada dalam tekanan. Pasalnya, ada disrupsi teknologi yang mengubah perilaku orang mengonsumsi informasi dan memengaruhi model bisnis. Namun, bukan berarti kita bisa pesimis. “Justru di situlah tantangan ini untuk tetap menjadi relevan, membuat produk jurnalistik yang berkualitas, memperkuat penegakan kode etik, dan membuat model bisnis yang sesuai,” tutur Devi Asmarani, Pemimpin Redaksi Magdalene.co dalam diskusi itu.

Setidak-tidaknya, lanjut dia, para editor dan pemimpin media bisa memulai dengan melatih para reporternya untuk lebih sensitif gender. Selain itu, media juga bisa berinisiatif membuat pedoman atau pilar peliputan, mendorong ruang redaksi agar lebih vokal, dan yang terpenting, menyadari tanggung jawab jurnalistik kepada publik.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *