Health Issues Politics & Society

Apa itu ‘Collective Care’: Saling Jaga Warga di Tengah Rezim yang Menekan 

Saat negara absen, menjaga dan membantu warga ternyata bisa dilakukan sama-sama. Inilah yang dinamakan dengan ‘collective care’.

Avatar
  • April 12, 2025
  • 6 min read
  • 436 Views
Apa itu ‘Collective Care’: Saling Jaga Warga di Tengah Rezim yang Menekan 

Familier dengan istilah chosen family? Belakangan, konsep “keluarga pilihan” semakin populer sebagai alternatif bagi sebagian orang yang mencari dukungan dan kasih sayang di luar ikatan darah. Salah satunya adalah Dian, pekerja lepas yang tinggal di Depok, Jawa Barat. Setelah berkonflik dengan orang tua, Dian memilih membangun keluarga sendiri, tinggal bersama dua temannya di rumah yang mereka sewa di kawasan Depok. 

Sudah lebih dari satu tahun mereka hidup bersama. Selama itu, Dian bilang, mereka saling bahu-membahu dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Setiap tanggungan materi dibagi secara adil berdasarkan porsi dan kebutuhan masing-masing. Mulai dari pembayaran sewa rumah, biaya air, hingga kebutuhan harian, semua dibagi rata sesuai kemampuan. 

 

“Misalnya, kontrakan kami waktu itu Rp18.000.000 setahun. Nah, dari Rp18.000.000 itu, kita bagi tiga. Namun untuk biaya listrik sama biaya pompa air, akhirnya temanku yang paling banyak barangnya yang nanggung. Semacam itu bagi-baginya,” jelas Dian. 

Cerita serupa juga datang dari Cara Marianne, pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jakarta. Meskipun tidak tinggal satu atap seperti Dian, Cara dan keluarga pilihannya sering berbagi makanan, serta saling memberi dukungan saat kesulitan datang. Baru-baru ini, mereka merayakan Hari Raya Idulfitri bersama-sama, meskipun tidak semua dari mereka merayakan momen tersebut secara langsung. 

“Yang warm my heart adalah, aku kan enggak ngerayain Idulfitri, dan dari kami juga hanya beberapa yang merayakan. Namun kami tetap merayakan itu sama-sama dengan potluck (membawa hidangan masing-masing dan memakannya bersama-sama). Kebersamaan dan bantuan ini itu goes unspoken aja gitu loh. Kayak tiba-tiba, it just comes naturally,” jelas Cara pada Magdalene

Konsep chosen family ini memang memuat prinsip kesalingan, dan menjadi manifestasi dari hubungan yang dibangun berdasarkan dukungan, kasih sayang, dan pengertian, bukan semata-mata ikatan darah. Kita bisa menyebutnya dengan praktik perawatan, collective care, atau perawatan kolektif. Merujuk laman Act Build Change, perawatan kolektif bermakna praktik tanggung jawab komunal akan kesehatan sampai kesejahteraan emosional masing-masing individu dalam sebuah kelompok. 

Di situasi ekonomi dan politik yang serba tidak menentu seperti sekarang, perawatan kolektif, khususnya yang termuat dalam chosen family, sangat membantu anggotanya untuk saling menguatkan dan memberikan dukungan. Dalam sesi wawancara bersama Magdalene (9/4), Mellia Christia, psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa hal ini memang benar adanya.  

“Jadi sebenarnya kalau misalnya ditanyakan apakah itu (collective care) memengaruhi atau bisa membantu seseorang ketika menghadapi situasi sulit, jawabannya iya. Karena ada yang namanya social support di dalam situ. Artinya ketika saya menghadapi kesulitan, saya punya orang-orang yang akan selalu membantu saya, entah itu memvalidasi perasaan, atau benar-benar memberikan bantuan materi,” kata Meli. 

Baca juga: Ironi Kesehatan Mental: Ketika Negara Justru Menambah Beban Pikiran Warganya 

Fakta Collective Care 

Lebih jauh soal collective care, model perawatan satu ini merupakan praktik relasional antar-orang maupun lingkungan. Dalam buku bertajuk “Last Project Standing: Civics and Sympathy in Post-Welfare Chicago” (2015), Catherine Fennel menyebutkan aksi ini berkaitan dengan kemampuan tertentu seperti simpati, empati, dan merasakan perasaan orang lain.  

Dalam publikasi Gender-Based Violence Area of Responsibility (GBV AoR), disebutkan dukungan strategis antar-anggota kelompok jadi kunci utama dalam perawatan kolektif. Setiap yang tergabung dalam kelompok tersebut wajib memastikan kesehatan dan kesejahteraan individual secara bersama, alih-alih menyerahkan tanggung jawab tersebut ke individu secara pribadi. 

Dalam sejarah perjuangan feminisme sendiri, perawatan (care) merupakan salah satu aksi politis utama untuk melawan sistem yang tidak berkeadilan. Seperti yang Audre Lorde, feminis dan penulis dari Amerika, tuliskan dalam bukunya “A Burst of Light” (1988), “Perawatan bukanlah pemanjaan diri, itu adalah pertahanan diri, dan itu adalah tindakan perang politik.” 

Sebagai contoh, GBV AoR menggambarkan bagaimana collective care dapat membantu korban kekerasan berbasis gender untuk pulih dari trauma yang ia alami. Pada konteks organisasi, collective care untuk korban kekerasan seksual berbasis gender dapat dilakukan dengan menyediakan waktu untuk saling checking-up kondisi sesama, ikut berpartisipasi dalam retreats untuk mengistirahatkan pikiran sejenak, sampai saling memberikan pengingat untuk bekerja dalam waktu kerja yang cukup.  

Baca juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada 

Relevan untuk Situasi Sekarang 

Kembali pada kisah Dian dan Cara, ketika membangun keluarga pilihan, mereka berdua sama-sama mengamini, aksi ini merupakan tindakan saling bantu yang bukan hanya bernilai materi. Khususnya pada situasi negara yang sedang tidak stabil secara politik dan ekonomi seperti sekarang, Cara bilang, kesamaan nilai dan dukungan yang hadir di tengah mereka adalah sesuatu yang berharga. Hal tersebut dapat membuatnya merasa tidak berjuang sendirian. 

“Menurutku, kehadiran mereka (chosen family) itu sangat membantu ya. Apalagi di situasi sekarang, kita tuh punya value yang sama. Misalnya kayak buat boikot sesuatu atau menolak satu kebijakan tertentu. Most of the time, kita semua fight for the same thing, gitu. Dan itu ngasih sense of safety di mana aku merasa enggak berjuang sendiri, karena ya, semua orang berjuang,” jelas Cara. 

Selaras dengan pengalaman Cara, Melli pun menuturkan hal senada. Ia bilang, kehadiran orang lain dalam perawatan kolektif dapat menghadirkan dukungan dan perasaan diterima yang bernilai. Perasaan sepenanggungan yang hadir di tengah perawatan kolektif tersebut membuat individu merasa tidak berjuang sendirian.  

Collective care itu juga bisa membuat orang merasa included atau ada perasaan in group, merasa diterima, merasa dianggap, merasa bagian dari suatu kelompok. Hal-hal itulah yang kemudian secara psikologis sebenarnya meningkatkan kepercayaan diri. Misalnya juga ketika berada dalam satu situasi yang sulit. Musuhnya sama nih, ada musuh bersama, itu menjadi semakin kuat lagi keterikatan dengan kelompoknya. Biasanya kemudian nanti kaitannya dengan cohesiveness, kekompakan,” ungkapnya.  

Dalam urusan kesehatan mental sendiri, perawatan kolektif nyatanya juga punya pengaruh besar dalam menjaga psikologis seseorang. Meskipun kesehatan mental punya banyak faktor yang bisa memengaruhi, saling merawat lewat collective care dapat memberikan individu sense of belongingness yang punya andil pada mental secara jangka panjang. 

Collective care itu membuat kita merasa belong, kita terikat dengan satu kelompok, dan kalau di sosiologi ngomongnya social capital, kita punya orang-orang modal sosial yang bisa membantu kita untuk menghadapi permasalahan. Kalau secara jangka panjang pastinya akan mempengaruhi kesehatan mental, meskipun harus dipahami juga bahwa kesehatan mental itu enggak ada orang yang sehat mental terus-terusan,” jelas Melli. 

Baca juga: Benarkah Membayangkan Skenario Terburuk Bikin Hidup Bahagia? 

Hanya saja, Melli juga turut mengingatkan agar tiap individu tidak menjadikan collective care sebagai satu-satunya sumber daya kehidupan. Bagaimana pun juga, individu harus tetap bisa berdaya dan hidup di atas kakinya sendiri. 

“Kekuatan budaya kolektif itu kadang seakan-akan jadi membuat orang bergantung pada orang lain. Maksudnya kayak ‘Saya sudah pasti kok ada yang bantuin, kalau saya susah pasti saya bakal dibantuin’, tanpa kemudian membuat dia menjadi merasa berdaya atau mau memperjuangkan kehidupannya gitu ya. Individu harus tetap memperjuangkan atau mencari penyelesaian masalahnya by their own,” pungkas Melli.  

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.



#waveforequality
Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *