Daur Ulang Kemasan BTS Meal dan Kesempatan untuk Jaga Lingkungan
Kemasan plastik dan kertas dari BTS Meal bisa didaur ulang agar tidak menghasilkan sampah dan menghindari pencemaran lingkungan.
Pembicaraan tentang BTS Meal yang diluncurkan hampir tiga pekan lalu tidak bisa lepas dari ARMY, penggemar grup idola tersebut, yang dinilai sebagai fans fanatik dan membahayakan kesehatan pengemudi ojek online (ojol). Selain itu, muncul juga anggapan bahwa ARMY menyumbang lebih banyak sampah plastik dari kemasan produk kerja sama boyband BTS dan McDonald’s tersebut.
Gita Syahrani, pendiri gerakan pelestarian lingkungan Hutan Itu Indonesia, mengatakan, konsumsi sampah plastik merupakan masalah yang terjadi setiap hari dan tidak hanya ketika ada peluncuran produk tertentu. Maka dari itu, sorotan tentang isu sampah dan lingkungan tidak seharusnya berpatok pada kemasan BTS Meal saja.
Selain itu, ia mengatakan, kemasan berlogo BTS yang sengaja disimpan ARMY dapat didaur ulang atau upcycling untuk mengurangi sampah plastik dan kertas yang dibuang. Proses upcycling tersebut juga berbeda dengan recycling yang mencacah sampah plastik untuk dijadikan produk baru, seperti ember, ujarnya
“Upcycling menambah nilai suatu barang dan ARMY mendaur ulang kemasan BTS Meal menjadi gantungan kunci, hiasan tumbler, hingga dompet kecil atau pouch,” ujarnya dalam diskusi “BTS Army Generasi Baru Penjaga Bumi” (19/6), bagian dari proyek ulang tahun BTS, #Festapora oleh ARMY Indonesia
Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Plastik, mengatakan bahwaupaya daur ulang sangat penting karena sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah berbentuk gunung. Selain itu, masyarakat harus memisahkan sampah organik dari anorganik agar mudah terurai dan dijadikan pupuk.
“Jargon buang sampah pada tempatnya sudah kuno karena kenyataannya sampah sehari-hari masyarakat sangat banyak dan yang diperlukan adalah pengurangan sampah. Di Jakarta saja sudah ada 7.000 ton sampah di Bantargebang,” kata Tiza.
Ia menambahkan, selain mendaur ulang, penting untuk mengurangi penggunaan plastik, seperti memakai reusable cup serta sedotan besi tahan karat, dan menggunakan kembali wadah plastik untuk berbelanja bahan makanan.
“Yang perlu dilakukan untuk masalah sampah adalah reduce, reuse, dan recycle. Tetapi sebelum mencapai tahap recycle harus memaksimalkan dua tahap sebelumnya yang tidak menimbulkan sampah,” ujarnya.
Baca juga: Euforia BTS Meal: Salah Alamat Menghujat ARMY
Energi Kotor dari Plastik Timbulkan Krisis Iklim
Gita mengatakan, menumpuknya sampah plastik tidak hanya memberi dampak pencemaran lingkungan saja, tetapi juga menyebabkan krisis iklim karena terbuat dari energi kotor, yaitu minyak. Dengan demikian, semakin banyak plastik yang diproduksi, maka minyak yang digunakan juga bertambah.
Energi kotor atau segala jenis gas yang menghasilkan polusi termasuk sebagai jejak karbon yang menjadi penyebab utama terganggunya keamanan lapisan dan suhu bumi. Krisis iklim pun menjadi ancaman terbesar dunia karena mampu mengubah gaya hidup semua orang dan menghancurkan keanekaragaman hayati, ia menambahkan.
“Jejak karbon berkaitan dengan segala proses konsumsi manusia, misalnya bagaimana cara pakaian diproduksi. Pabrik menghasilkan polusi. Lalu jika pakaian tersebut berasal dari luar negeri maka ada jejak karbon perjalanan menggunakan kapal atau pesawat,” ujar Gita yang juga merupakan Direktur Eksekutif Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari.
Tiza mengatakan, saat ini hanya tersisa waktu sembilan tahun lagi untuk menghentikan pemanasan global. Selain itu, bumi telah memanas 1,1 derajat Celsius dan jika pemanasan itu mencapai lebih dari 1,5 derajat Celcius, maka bencana kebakaran hutan, badai, serta gelombang panas akan terus terjadi.
Ia mengatakan cara mencegah krisis iklim dan pemanasan suhu bumi yang terus bertambah setiap tahun adalah mengurangi konsumsi barang yang diproduksi secara massal. Selain itu, mengurangi pembelian kebutuhan pangan impor karena produk lokal memiliki emisi atau jejak karbon yang lebih kecil akibat jarak tempuh yang tidak jauh.
Untuk skala yang lebih besar, upaya yang perlu dilakukan adalah menerapkan sistem ekonomi sirkuler agar tidak menghasilkan sampah. Pada sistem tersebut segala barang yang menghasilkan sisa dikembalikan pada produsen untuk diolah kembali menjadi barang baru. Dengan demikian, sampah organik atau anorganik tidak masuk ke TPA, ujar Tiza.
“Energi yang digunakan tidak lagi dari batu bara atau minyak bumi, tetapi yang terbarukan, seperti air, hidrogen, atau surya yang benar-benar tidak bisa habis dan tidak menghasilkan emisi,” kata Tiza.
Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Pemerintah Harus Didorong untuk Peduli Pada Lingkungan
Gita mengatakan cara yang paling mudah untuk melindungi lingkungan di level masyarakat adalah mengubah gaya hidup dan mengajak orang sekitar, seperti teman dan keluarga untuk melakukan hal yang sama. Selain itu, membuka bank sampah agar sisa-sisa anorganik dapat langsung didaur ulang dan membuat pupuk kompos dari sisa sampah organik.
“Untuk mengajak lebih banyak orang berpartisipasi dengan inisiatif bank sampah maka diberi imbalan. Tidak harus finansial, tetapi memberikan keuntungan bagi masyarakat yang mau mengubah kebiasaan mereka dalam menyikapi sampah,” ujarnya.
Meskipun begitu, ia menambahkan, langkah-langkah menjaga lingkungan tidak cukup dari peran masyarakat saja, pemerintah harus ikut berpartisipasi. Dalam ranah pemerintah daerah harus ada perubahan kebijakan fiskal. Pemerintah memberikan insentif tambahan bagi setiap daerah yang mendukung revolusi reduce, reuse, recycle dan mempertahankan hutan serta gambut yang sekaligus mensejahterakan masyarakat, ujarnya.
Baca juga: K-Popers juga WNI: Ketika Penggemar K-Pop Tolak Omnibus Law
Sementara itu, Tiza mengatakan dorongan kebijakan fiskal yang diperlukan untuk pemerintah nasional adalah mengurangi subsidi batu bara dan mengalokasikan dana untuk subsidi panel surya hingga mobil listrik.
“Harus ada dorongan kepada pemerintah nasional untuk melakukan kebijakan seperti itu, misalnya tidak mengeluarkan izin untuk mempengaruhi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau Perusahaan Listrik Negara,” kata Tiza.
Gita mengatakan sayangnya pemerintah masih enggan dalam menerapkan kebijakan yang fokus pada isu lingkungan karena menganggap masyarakat tidak peduli terhadap isu tersebut. Maka dari itu, diskusi di ruang publik tentang urgensi perubahan sistemik kenegaraan untuk menjaga lingkungan harus terus dilakukan sampai politikus menganggap isu tersebut penting.
“Kita menunjukkan pada negara bahwa ini penting dan mendesak. Selain itu, memberikan solusi kepada mereka tentang apa saja yang bisa dilakukan agar masyarakat tidak panik dan dibantu ketika ada kebijakan baru (yang fokus pada lingkungan),” ujarnya.