December 5, 2025
Issues Politics & Society

#GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta (1) 

Saya ngobrol dengan tiga orang ‘fresh graduate’ soal susahnya mendapat kerja dan eksploitasi magang yang mereka alami.

  • July 31, 2025
  • 7 min read
  • 1879 Views
#GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta (1) 

Ping! 

Ponsel “Andrew”, 25, bergetar, memunculkan notifikasi dari aplikasi LinkedIn

30+ opportunities in Indonesia 

View jobs 

Notifikasi itu langsung mencuri perhatian Andrew. Tanpa ba-bi-bu, jari-jemarinya berburu, mengeklik pemberitahuan yang selalu ia tunggu. 

Scroll atas, scroll bawah. 

“Ck!”  

Ia berdecak. 

Notifikasi yang dinanti ternyata kembali membuyarkan ekspektasi. 

Terhitung satu tahun sudah sejak ia jadi sarjana, Andrew belum mendapatkan pekerjaan tetap. Membuka aplikasi LinkedIn jadi salah satu caranya dalam mencari posisi full time. Namun lagi-lagi, malah posisi magang yang ia temukan. 

Andrew bercerita, sejak menjadi mahasiswa akhir hingga lulus, dia telah magang di empat perusahaan yang linier dengan jurusannya: Jurnalistik. Kata Andrew, ia muak kalau harus jadi pemagang lagi, yang artinya mesti kembali berhadapan dengan ketidakpastian masa depan. Karena itu, kini ia mau cari pekerjaan full time.  

Pernah di 2024, tak lama setelah lulus, Andrew melamar ke perusahaan media. CV miliknya berhasil tembus seleksi berkas. Lanjut ke wawancara, ia lolos. Begitu pun di seleksi psikotes. Tersisa seleksi kesehatan, selangkah lagi, ia akan resmi melepas gelarnya sebagai pengangguran

Namun, tiba-tiba pihak perusahaan menghubungi Andrew kalau posisi yang dilamarnya sedang di-hold.  

“Maaf ya Kak, ini posisinya di-hold,” ucap pihak human resource (HR) kepadanya. 

Andrew tidak diberi kejelasan soal maksud ‘hold’ itu. Ia hanya diberi tahu posisi yang dilamarnya akan dibuka lagi beberapa bulan ke depan. Setelah satu tahun berselang, Andrew tak kunjung menerima kabar terkait kelanjutan lamarannya.  

Baca Juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z 

Setelah penolakan itu Andrew kembali mencari pekerjaan full time di bidang jurnalistik. Akan tetapi sampai saat ini masih nihil. Sambil terus mencari, sekarang ia kembali jadi pemagang di sebuah media di Jakarta. Walaupun mengaku muak, Andrew tak punya pilihan lain daripada jadi pengangguran. 

Andrew enggak sendirian. Permasalahan serupa juga dialami oleh “Inar”, 22, fresh graduate yang baru lulus awal tahun ini. Sama seperti Andrew, Inar masih luntang-lantung mencari kerja full time.  

“Ya, ada (posisi full-time). Cuma dikit. Kebanyakan emang intern,” kisah Inar. 

Dari pengalaman mencari kerja, Inar menemukan kalau persaingan tenaga kerja saat ini sangat ketat. Di tengah pasar tenaga kerja, titelnya sebagai fresh graduate nyatanya tidak memudahkan Inar dalam mendapatkan pekerjaan. Justru posisi itu membuat ia berada di area abu-abu. 

Fresh graduate itu posisi yang abu-abu gitu. Kenapa aku bilang abu-abu? Terlalu tua untuk menjadi pemagang, tapi terlalu muda untuk menjadi full timer. Kenapa magang terlalu tua? Ya, saingannya sama anak mahasiswa gitu, kan.” 

Ketika Inar melamar posisi full time, saingannya tidak hanya para fresh graduate, tetapi juga orang-orang yang sudah memiliki pengalaman, tenaga kerja yang baru terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), atau karyawan yang ingin pindah kerja dari kantor lamanya. 

Pengalaman mendapat e-mail penolakan atau digantung tanpa kabar sudah dirasakan oleh Inar. Sama seperti Andrew, sambil mencari pekerjaan tetap Inar sembari menjalani magang di perusahaan media. Di perusahaan itu Inar sudah magang selama sembilan bulan. Itu pun telah melalui perpanjangan magang selama dua kali. Inar mengaku setelah kontraknya habis di batch ini, ia berharap bisa mendapat pekerjaan full time

“Ya, mau sampai kapan intern? Walaupun gaji (magang) di perusahaan lain mungkin akan lebih gede, ya. Cuman emang lebih pengennya sih kontrak,” harapnya. 

Fenomena sulitnya mencari pekerjaan full time dan terjebak di posisi intern, seperti yang dialami oleh Andrew dan Inar, sedang menjamur di kalangan fresh graduate. “Amor”, 24, juga mengalami pengalaman serupa. 

Sejak lulus kuliah pada 2023 silam, ia mengaku sulit mendapatkan kerja full time. Lowongan kerja yang banyak mensyaratkan pengalaman membuat ia harus terjun menjadi pemagang. Meskipun selama dua tahun, ia terhitung telah empat kali magang dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap. 

“Sedangkan kalau namanya entry level, dan yang diekspektasikan masuk itu orang-orang fresh graduate, dari mana kan pengalamannya? Ya, pastinya itu juga menjadi tuntutan untuk mahasiswa semester terakhir dan yang fresh graduate untuk akhirnya magang dulu,” tutur Amor. 

“Nah, jadinya menurut aku menciptakan sebuah tren gitu, loh. Di mana semua orang akhirnya magang sebagai syarat biar bisa kerja. Karena kerja demanding untuk mereka punya pengalaman terlebih dahulu,” tambahnya. 

Masalahnya, menurut Amor, tren ini membuka peluang bagi korporasi atau organisasi untuk merekrut tenaga kerja murah. Mereka membuka lowongan magang dan memberi pemagang pekerjaan seperti pekerja tetap, sementara tidak ada kejelasan apakah setelah magang pemagang akan diangkat menjadi karyawan tetap atau tidak. 

“Tapi justru dimanfaatkan oleh perusahaan atau organisasi, untuk terus-terusan buka lowongan magang gitu.” 

Argumentasi Amor didasari oleh pengalamannya yang tidak mengenakkan selama empat kali magang. Mulai dari mendapat kerja di luar tanggung jawabnya, beban kerja yang sama dengan pekerja tetap, hingga uang saku yang tidak layak. Mirisnya, Andrew dan Inar juga mengalami hal yang sama. 

Baca Juga: Beda Gen Z dan Milenial Hadapi Tekanan Kerja di ‘Start-up’, Siapa Lebih Tangguh? 

Posisi ‘Intern’, Beban Kerja ‘Full-Time’ 

Satu kata yang mendeskripsikan kerja Amor sebagai pemagang: Palugada (apa lu mau, gue ada). 

Saat ini, Amor menjadi pemagang di posisi program and research di organisasi non-pemerintah yang berfokus pada penelitian dan analisis kebijakan. Saat awal melamar, ia berekspektasi pekerjaannya akan lebih banyak di penelitian sebagaimana deskripsi kerja saat melamar. Namun, jauh panggang dari api, beban kerja Amor dituntut lebih. 

“Jadi di awal aku mikirnya karena research, nih, aku berekspektasinya bakalan penelitian  yang turun lapangan, ngumpulin data, dan monitoring gitu, kan. Tapi ternyata enggak. Jadi lebih kencang di programnya,” cerita Amor.  

Di divisi itu, Amor diminta untuk memegang salah satu program besar organisasi tersebut. Saat mengurus program itulah Amor merasa perannya menjadi palugada.  

Tanggung jawab Amor antara lain mencakup, merumuskan substansi acara, mencari pembicara, menghubungi pembicara, mengurus akomodasi pembicara seperti tiket pesawat, hingga membuat draf unggahan media sosial. 

“Pokoknya palugada banget. Bahkan kalau misalnya role-nya itu ditulis dengan benar, itu mungkin bisa jadi kayak program, penelitian, komunikasi, hubungan eksternal, dan apa pun itu,” kelakarnya. 

Kelebihan muatan kerja yang dialami Amor disebabkan oleh tidak proporsionalnya jumlah antara karyawan tetap dengan pemagang. Di divisi Amor sendiri, karyawan tetap berjumlah lima orang. Lebih sedikit ketimbang pemagang yang berjumlah tujuh orang. Sehingga, pemagang diberi pekerjaan yang tidak terpegang oleh para karyawan tetap. 

Baca Juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’ 

Inar juga punya pengalaman mirip. Ia magang di divisi Content Development media. Inar mulai magang di perusahaan itu sejak menjadi mahasiswa semester akhir di penghujung 2024. 

Di awal magang, Inar dibebankan tanggung jawab melakukan kurasi terhadap beberapa topik artikel tertentu yang pernah diterbitkan media itu, dan turut terlibat di dalam produksi konten audio visual. 

Tanggung jawab itu ia emban setidaknya selama tiga bulan sampai masa magangnya habis. Akan tetapi, pihak perusahaan meminta Inar untuk memperpanjang magangnya. Inar pun mengiyakan tawaran itu.  

Namun, di batch kedua ini beban kerjanya justru lebih berat. Inar diminta mengerjakan media monitoring, pekerjaan memonitor berita dan konten media sosial untuk melihat sentimen publik dan tren kompetitor menggunakan perangkat lunak. Jurusan Inar–sastra–yang tidak sejalan dengan pekerjaannya itu membuat Inar harus belajar media monitoring dari nol. Jam kerjanya pun berubah menjadi lebih pagi. 

“Kalau WFH (work from home) itu dari jam lima pagi sampai jam satu siang, tapi hitungannya tetap 8 jam. Pas WFO (work from office) dari jam tujuh pagi sampai jam tiga sore,” tutur Inar. Di batch sebelumnya. jam kerja Inar dimulai dari pukul sembilan pagi hingga jam lima sore. 

Inar bercerita, pekerjaan media monitoring yang ia lakukan bebannya tidak berbeda dengan karyawan kontrak di perusahaan tempat Inar magang.  

“Nah, tapi apa yang dikerjakan sama anak magang dan karyawan kontrak sebenarnya ya sama aja (mengerjakan media monitoring). Cuman pembagian jadwalnya aja (yang beda), kayak rolling gitu, lah,” ucap Inar. 

Pemagang juga memiliki kewajiban yang sama dengan karyawan tetap dan karyawan kontrak, yakni tetap masuk meski libur nasional. 

“Misalkan hari besar gitu, terus ada cuti bersamanya, aku tetap masuk. Natal kemarin orang-orang pada cuti aku masuk. Lebaran juga masuk. Orang-orang mudik ya, ini masuk,” candanya. 

Meskipun memikul tanggung jawab, beban, dan kewajiban yang sama dengan karyawan tetap dan karyawan kontrak. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan antara upah karyawan kontrak dan pemagang. Hal ini yang cukup memberatkan Inar sebagai pemagang. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.