July 14, 2025
Issues Politics & Society

Membongkar Alasan Anak Persma yang Ogah Jadi Jurnalis Pasca-Lulus 

Saya ngobrol dengan anggota pers mahasiswa yang enggan jadi jurnalis setelah lulus. Mereka menganggap kerja-kerja jurnalistik berisiko, minim perlindungan, dan enggak sebanding dengan upah.

  • June 20, 2025
  • 6 min read
  • 865 Views
Membongkar Alasan Anak Persma yang Ogah Jadi Jurnalis Pasca-Lulus 

Siapa sangka, teror kepala babi tanpa telinga yang dikirim ke rumah jurnalis perempuan Tempo berdampak besar pada keputusan hidup Safira Irawati. Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika Universitas Negeri Jakarta itu memutuskan tak ingin menjadi jurnalis profesional setelah lulus nanti. 

“Hidup jurnalis hari ini penuh ancaman cuma karena melakukan kerjanya meliput sesuatu. Ada yang diancam, diteror sampai dibunuh. Gajinya juga kecil, tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarin,” jelas Safira kepada Magdalene, (16/6). 

Padahal, mulanya Safira justru masuk ke dunia pers karena penasaran. Saat mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB), ia melihat buletin pers mahasiswa dilarang beredar oleh panitia atas arahan pejabat kampus. Larangan itu justru memantik rasa ingin tahunya. 

“Penasaran kenapa sampai ada larangan untuk nerima. Padahal cuma kertas, kaya buletin gitu, organisasi apa itu? Apakah berbahaya sampai dilarang?” ujarnya sambil terkekeh. 

Setelah berhasil mendapatkan dan membaca buletin itu, ia menyadari isinya memuat kritik terhadap kebijakan kampus, sesuatu yang tidak akan ditemukan di media resmi kampus. Sejak saat itu, dunia jurnalistik, terutama yang bersifat alternatif, menarik minatnya. 

“Kenapa cuma pers mahasiswa yang berani suarain keresahan mahasiswa dan beritain kebobrokan kampus? Media resmi kampus tidak akan berani ngelakuin hal itu, padahal mahasiswa perlu tahu juga,” jelasnya. 

Setelah setahun bergelut di pers mahasiswa, rasa kecewa mulai muncul. Safira menilai media arus utama kini kehilangan keberaniannya mengkritik kekuasaan. Terlebih, sejak pemerintahan Prabowo dimulai, ruang kritik di media nasional semakin sempit. 

Ia menunjuk momen pertemuan antara Presiden dan sejumlah pemimpin redaksi sebagai titik balik. “Sejak saat itu beberapa media tidak lagi menghadirkan informasi alternatif yang mengkritik kebijakan pemerintah,” katanya. 

Kekecewaannya semakin dalam ketika melihat bagaimana jurnalis perempuan semakin rentan terhadap kekerasan, baik fisik maupun psikis. Menurutnya, negara tidak cukup hadir dalam menjamin perlindungan, terlebih bagi perempuan. 

“Tapi ya enggak mengherankan juga sih. Lihat aja kabinet Prabowo-Gibran sekarang, representasi perempuannya sedikit banget. Mungkin karena itu juga, isu-isu soal keamanan perempuan jadi kurang dipedulikan,” tambahnya. 

Meski telah mantap tidak ingin menjadi jurnalis profesional, Safira belum terpikir keluar dari pers mahasiswa. Ia merasa pers kampus menjadi satu-satunya ruang yang benar-benar mengasah kepekaan sosial dan daya kritisnya. 

“Kalau upah wartawan layak dan perlindungannya nyata, bukan sekadar janji saya mau jadi jurnalis, karena sebenarnya jurnalis itu profesi yang keren,” tuturnya. 

Baca Juga: Neraka untuk Para Jurnalis Perempuan

Kerja Jurnalis Kian Berat, Ruang Gerak Menyempit 

Senada dengan Safira, Raja Ilham, mantan Koordinator Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), juga memilih jalan lain setelah lulus. Raja, yang pernah aktif di Pers Mahasiswa Aksara Telkom University, kini bekerja di agensi sebagai kampanye social media

“Kalau terus seperti ini, saya rasa kerja-kerja jurnalistik ke depannya akan semakin menurun kualitasnya. Bukan karena jurnalisnya tidak kompeten, tapi karena ruang geraknya disempitkan,” ujar Raja, (16/6). 

Menurutnya, sejak pemerintahan baru berjalan, akses informasi publik dari negara semakin terbatas. Jurnalis sulit bekerja secara independen, sementara kekerasan terhadap mereka masih terus terjadi. 

Raja mengaku pengalaman paling menantangnya saat aktif di FKPMB adalah menyatukan visi antar-lembaga pers mahasiswa dari berbagai kampus dengan latar belakang yang berbeda. 

“Tapi itu justru yang bikin saya berkembang. Saya belajar menyatukan banyak kepala dan latar belakang, meskipun capeknya luar biasa,” ujarnya. 

Meskipun kini tidak bekerja sebagai jurnalis, Raja tetap meyakini pentingnya media yang kuat untuk pembangunan daerah dan bangsa. Ia mengutip jurnalis senior Andreas Harsono: Jurnalisme yang sehat adalah syarat kemajuan. 

“Negara yang baik itu negaranya maju, persnya juga maju, tapi syaratnya satu: Negara harus membuka akses informasi dan tidak membatasi kerja jurnalistik,” jelasnya. 

Baca Juga: Perempuan Wartawan Pertama Rohana Kudus Pergi, tapi Suaranya Abadi

Persma Terimpit Ancaman dan Ketidakjelasan Hukum 

Kekhawatiran Safira dan Raja bukan tanpa dasar. Intan Shabira dari Divisi Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyebut kondisi kebebasan pers dan keselamatan jurnalis di Indonesia memang kian mengkhawatirkan—terutama bagi jurnalis perempuan dan jurnalis kampus. 

“Aku juga menjadi jurnalis kampus di Suara Mahasiswa Universitas Indonesia, aku menyadari posisi pers mahasiswa semakin rawan hari ini,” kata Intan, (17/7). 

Intan menjelaskan kebebasan pers, keamanan jurnalis, dan independensi media adalah tiga aspek yang saling terkait. Jika jurnalis tidak dilindungi, maka kemerdekaan pers akan terus terancam. Data dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional menunjukkan, sejak 2013 hingga 2021 terjadi 185 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa. Pelakunya tak hanya aparat, tapi juga birokrat kampus dan sesama mahasiswa. 

Masalah semakin kompleks karena pers mahasiswa belum diakui dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tanpa pengakuan ini, perlindungan hukum menjadi sangat lemah. Hingga kini, satu-satunya bentuk perlindungan legal adalah Memorandum of Understanding (MoU) yang diteken Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 18 Maret 2024. 

MoU ini mengatur tiga hal, yakni penyelesaian sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers, pelatihan dan pendampingan kapasitas jurnalistik, serta perlindungan hukum bagi pers mahasiswa. Meski langkah ini penting, Intan menilai implementasinya belum cukup. 

“Pers mahasiswa seharusnya tidak lagi dianggap sebagai organisasi kampus belaka. Dewan Pers perlu mendorong dan menjaga iklim media yang sehat, termasuk bagi pers mahasiswa,” jelasnya. 

Baca Juga: Semua Mau Jadi ‘Content Creator’: Profesi Jurnalis Sepi Peminat, Masa Depan Jurnalisme Suram?

Kenapa Masih Layak Jadi Jurnalis 

Di tengah situasi yang semakin berat, kenapa masih perlu bertahan di dunia jurnalistik? 

Laporan World Trends in Freedom of Expression and Media Development UNESCO (2022) menekankan peran jurnalisme dalam memperkuat partisipasi warga, mendorong transparansi pemerintahan, serta mengungkap pelanggaran hak asasi dan korupsi. 

Saat saluran informasi dikendalikan dan ruang kebebasan sipil menyempit, media independen—termasuk pers mahasiswa—menjadi sumber informasi yang menjangkau isu-isu yang kerap terabaikan media arus utama. 

Menurut Reuters Institute (2023), ketika kepercayaan publik terhadap institusi politik menurun, masyarakat justru mencari jurnalisme akurat, adil, dan berbasis fakta. Ini memperkuat kebutuhan akan jurnalis profesional dan komunitas yang menjalankan prinsip jurnalistik dengan integritas. Terlebih seperti cerita Safira, pers mahasiswa relatif independen dari kepentingan komersial dan politik. 

Dalam hal menekan risiko keamanan, Intan bilang, negara tak cukup membuat aturan saja. Harus ada pelatihan berkelanjutan, penguatan kapasitas, serta pendampingan nyata, imbuhnya. 

“Ketakutan akan selalu membayangi, ancaman akan terus menyertai, apalagi bagi perempuan. Namun rasa takut itu valid. Justru karena banyak orang tidak punya ruang untuk bersuara, kitalah yang harus melakukannya. Perlindungan hanya bisa tercapai jika solidaritas diperkuat dan semua pihak ikut serta di dalamnya,” pungkasnya. 

Artikel ini sudah diperbaharui pada 7 Juli 2025 di bagian atribusi Intan dari AJI dan posisinya yang hingga kini masih aktif di pers mahasiswa.



#waveforequality
About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.