Film di Asia Tenggara Belum Inklusif, Minim Representasi Lesbian dan Transpuan
Industri film mendorong terciptanya ruang yang inklusif bagi perempuan, tetapi masih membatasi kiprah perempuan lesbian, biseksual, dan transpuan.
Dalam satu adegan film Selamat Pagi, Malam, dua karakternya Naomi (Marissa Anita) dan Gia (Adinia Wirasti) berdansa di sebuah kamar hotel tua. Adegan pamungkas tersebut menjadi semacam akhir yang manis dan pahit untuk hubungan Naomi dan Gia yang semakin renggang saat mereka meninggalkan New York.
Keputusan Naomi untuk menyesuaikan diri dengan konformitas yang heteronormatif di Jakarta semacam paku terakhir yang menutup peti mati hubungan mereka. Walaupun kisah percintaan Naomi dan Gia hanya satu dari tiga kisah berbeda, mereka menjadi salah satu pasangan lesbian dalam sinema Asia Tenggara.
Selain Naomi dan Gia, ada hubungan Suci (Asmara Abigail) dan Asih (Mian Tiara) dalam film Yuni (2021) yang hubungannya dinarasikan secara halus untuk film Indonesia. Di Filipina ada film coming of age, Billie and Emma (2018) dan Yes or No (2010) di Thailand dengan formula narasi yang keluar dari kesedihan pasangan lesbian. Sedangkan Malaysia dengan film Miss Andy (2020) yang berkisah tentang transpuan asal Vietnam pindah ke Malaysia yang konservatif.
Walaupun ada beberapa film tentang keragaman orientasi seksual dan identitas gender perempuan, Lina Tan, produser film asal Malaysia mengatakan untuk Lesbian, Biseksual, dan Transpuan (LBT) industri film Asia Tenggara masih jauh untuk inklusivitas di depan maupun balik layar.
Pasalnya, argumen Tan, sineas masih sulit menerima keragaman perempuan. Contoh paling dasarnya, perempuan cis-heteroseksual masih harus dikotakkan dalam peran gender yang stereotipikal dan kisah yang heteronormatif. Film pertama Tan, misalnya, Gol dan Gincu (2005) bercerita tentang perempuan yang memiliki latar belakang berbeda yang disatukan oleh sepak bola.
Film Asia Tenggara tersebut menjadi semacam cult classic di Malaysia, tetapi masih menerima kritik ketika satu plot ceritanya mengisahkan tentang perempuan tomboi yang tidak ingin tunduk pada konformitas.
Selain itu, film lain yang diproduseri Tan, Kami Histeria tentang perempuan dalam band rock yang berhasil mengalahkan musuh yang mengancam kesuksesan mereka. Namun, eksekutif film masih menginginkan agar film tersebut diakhiri dengan para karakter perempuannya diselamatkan dan jatuh cinta pada laki-laki agar tampak lebih menarik.
“Masih ada kesulitan untuk menembus batasan tentang identitas perempuan dan menyatakan mereka bisa jadi pahlawan untuk diri mereka sendiri tanpa bantuan laki-laki. Jadi representasi untuk LBT masih sangat sulit karena di area ini saja masih terhambat,” kata Tan dalam diskusi daring Women Who Rule The Screen: Southeast Asia oleh Netflix beberapa waktu lalu.
Baca juga: Feminis Bercerita, demi Industri Film yang Inklusif
Tidak Hanya Film di Asia Tenggara
Kesulitan mencapai inklusivitas di industri film tidak hanya terjadi di Asia Tenggara. Pada riset yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah yang mengamati tentang representasi komunitas LGBT, GLAAD menemukan, masih minim representasi untuk perempuan queer.
Walaupun terus terjadi peningkatan karakter LGBT dalam layar kaca pada 2019, mayoritas kisahnya masih tentang laki-laki dan minim representasi transgender dan keragaman ras komunitas LGBT. Selain itu, jika menampilkan karakter transgender cenderung diperankan oleh laki-laki atau perempuan cis-gender.
Temuan GLAAD terkait hal itu juga bukan sesuatu yang baru. Jika melihat ke belakang, film 3 Generations (2015), misalnya, mengisahkan tentang transpria yang mencari keberadaan ayahnya, tetapi karakter utamanya diperankan oleh Elle Fanning, perempuan cis-gender. Begitu pula dengan The Danish Girl (2015) yang dimainkan oleh Eddie Redmayne.
Selain itu, jika menyentuh tentang orientasi seksual perempuan, hubungan romantisnya masih dibangun atas sudut pandang male gaze yang mengobjektifikasi lesbian, seperti Blue is The Warmest Color (2013) dan film Jepang Ride or Die (2021). Representasi lesbian pun berbeda ketika film-nya dinarasikan menggunakan female gaze, seperti film Portrait of A Lady on Fire (2019).
Tanya Yuson seorang penulis dan produser eksekutif dari Filipina juga menyatakan, representasi LBT cenderung dijadikan bahan komedi, khususnya untuk transpuan karena hanya penggambaran semacam itu yang diterima audiens.
Baca juga: 4 Sutradara Perempuan Tombak Perfilman Korea Selatan
Hal senada juga disampaikan oleh aktivis dan seniman Anggun Pradesha dalam Feminist Festival tahun lalu, jika transpuan diberikan ruang bermain dalam film perannya sulit lepas dari bahan komedi seksis dan problematis. Selain itu, transpuan digambarkan sebagai pendosa yang harus kembali menjadi laki-laki.
Perkara representasi transgender yang kurang baik juga ada dalam film Malaysia, Dalam Botol (2011). Walaupun film tersebut semacam mendobrak batasan aturan sensor yang ketat di Malaysia–segala hal yang berkaitan dengan LGBT tidak boleh ditampilkan di media.
Dalam Botol sendiri mengisahkan tentang laki-laki gay yang melakukan operasi transisi untuk memuaskan kekasihnya, tetapi mengalami penolakan karena transisi tersebut.
Dalam sebuah esai yang ditulis Alicia Izharudin untuk situs London School of Economics and Political Science, Izharuddin berargumen film tersebut masih memukul rata orientasi seksual adalah hal yang sama dengan identitas gender seseorang. Di Malaysia ada asumsi laki-laki gay adalah transpuan dan transpuan serta laki-laki gay adalah “laki-laki keperempuanan”. Film Dalam Botol mengukuhkan persepsi tersebut.
“Lebih jauh ada pesan transisi (dalam film) hanya dimaksudkan untuk memaksakan asumsi transgender dan homoseksualitas adalah sementara dan itu adalah situasi menyedihkan yang harus ditolak,” tulisnya.
Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Pentingnya Ruang Aman untuk Penyintas
Komunitas LBT di Asia Tenggara
Selain Malaysia yang konservatif, Indonesia juga masih diskriminatif terhadap komunitas LGBT dan beberapa waktu lalu mengesahkan Peraturan Daerah yang mempidanakan ragam orientasi seksual dan identitas gender. Di wilayah Asia Tenggara sendiri, Thailand disebut jauh lebih progresif terkait komunitas LGBT. Selain itu, juga terkenal dengan serial maupun film tentang boys love (BL).
Namun, media Bangkok Post sempat melemparkan kritik bahwa industri film Thailand masih minim kisah tentang perempuan lesbian maupun biseksual. Jika ceritanya diangkat, cenderung fokus pada situasi malang dan drama menyedihkan.
Pailin Wedel, seorang sutradara di Thailand juga menyebutkan, di Thailand ada sutradara tranpuan, tetapi jika berkaitan dengan narasi LBT, filmnya banyak diproduksi oleh industri film indie. Selain itu, di masyarakat sendiri masih ada persepsi tentang peran gender yang normatif dalam hubungan lesbian. Walaupun Thailand lebih progresif, ide seseorang harus memegang peran tertentu dalam sebuah relasi untuk bahagia masih sangat mengakar.
“Sepuluh tahun lalu suami saya membuat dokumenter dan melakukan wawancara dengan pasangan lesbian lalu menemukan bahkan dalam hubungan lesbian ada peran gender yang kolot. Kalau femme pacaran dengan femme, maka disebut ‘that’s so gay’. Tapi bukankah kalian memang gay?” kata Wedel.
Untuk memberikan representasi yang baik tentang minoritas seksual dan gender, Anggun dalam Feminist Festival menyebutkan sebaiknya melakukan diskusi dengan komunitas agar mendapatkan perspektif yang lebih baik tentang LGBT.
Sedangkan Yuson menyataka, “Komunitas LBT melalui banyak hal, tapi jika mereka ingin berbagi cerita akan kami dukung 100 persen. Perjalanan ini (menjadi inklusif) harus terus didorong agar kita bisa menjadi lebih baik.”
Sementara Tan menyatakan, “Platform seperti Netflix penting karena menjadi wadah untuk film dengan narasi yang dianggap tabu oleh masyarakat. (Saya) berharap terus ada perubahan narasi tentang bagaimana kita menggambarkan perempuan.”