K-Drama ‘Business Proposal’ dan Roman Picisan yang Tak Selamanya Buruk
Drakor ‘Business Proposal’ menggabungkan semua plot klise melodrama yang pernah ada dalam satu cerita, tapi apakah roman picisan selalu buruk?
Drama Korea Business Proposal memang sangat klise dengan formula pimpinan perusahaan (CEO) kaya dan tampan, jatuh cinta pada perempuan biasa saja yang cerdas nan baik hati. Rasanya ingin memutar bola mata ketika kisah romansa stereotipikal “si kaya dan si miskin” bak Cinderella terus didaur ulang dengan judul berbeda.
Meski demikian, Business Proposal bukan sekadar roman picisan atau cerita yang mendayu-dayu dalam kesedihan. Namun, itu tak takut tampil konyol dengan segala tingkah karakternya, yang menjebak diri dalam rumitnya jaring-jaring kebohongan.
Alkisah seorang CEO muda karismatik dengan masa lalu yang misterius, Kang Tae-moo (Ahn Hyo-seop) dijodohkan dengan Jin Yeong-seo (Seol In-a), anak perempuan pengusaha besar. Sekilas perjodohan itu tampak keluar dari buku dongeng, dua orang yang secara fisik menarik akan berikrar di mata Tuhan agar bisnis keluarga semakin kuat.
Namun, Kang Tae-moo percaya membangun relasi romantis cuma buang-buang waktu, sedangkan Jin Yeong-seo tidak ingin dijodohkan. Di sinilah sahabat Jin Yeong-seo, Shin Ha-ri–(Kim Se-jeong) berperan penting.
Dengan bayaran KRW800 ribu atau lebih Rp9 juta, Shin Ha-ri berpura-pura menjadi Jin Yeong-seo. Dia bertugas menakut-nakuti Kang Tae-moo agar laki-laki itu lari terbirit-birit dan membatalkan rencana pertunangan mereka. Shin Ha-ri yang santun pun bertransformasi jadi perempuan narsistik yang terobsesi pada laki-laki–ssst, katanya dia bisa pacaran dengan 3-4 laki-laki di waktu yang sama.
Alih-alih ‘jijik’, Kang Tae-moo semakin tertarik untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Celaka tiga belas bagi Shin Ha-ri, tidak hanya misi ‘membatalkan pertunangan’ gagal, Kang Tae-mo adalah CEO perusahaan tempat dia bekerja. Shin Ha-ri pun harus bermain ‘kucing-kucingan’ dengan Kang Tae-moo.
Plot itu membuat Business Proposal menjelma roman picisan yang mudah ditebak. Apalagi mengawinkan formula the princess and the pauper dengan sentuhan modern dan alur fake dating ala To The Boys I’ve Loved Before setelah dua episode pertamanya. Belum lagi ada ‘masalah’ persetujuan keluarga sebagai kendala terbesar untuk akhir bahagia selamanya.
Meski demikian, Business Proposal tidak pernah berdiam lama pada narasi “cintaku terhambat perbedaan kelas ekonomi”. Ia berani mengejek ceritanya yang klise lewat drakor melodrama yang digemari kakek Kang Tae-moo. Karenanya, di antara sejumlah drama lain yang banjir air mata, Business Proposal menunjukkan drakor romantis tidak buruk-buruk amat dengan komedi.
Baca juga: Kejutan di Ujung ‘Twenty-Five Twenty One’
Ada Apa dengan (Cinta) K-drama?
Sebenarnya Business Proposal bukan satu-satunya drakor dengan genre komedi romantis. Reply 1988 (2015), misalnya, yang kerap disebut sebagai drama komedi romantis bercampur slice of life terbaik dalam satu dekade. Selain itu, Weightlifting Fairy Kim Bok-joo (2016) menunjukkan Lee Seung-kyung dan Nam Joo-hyuk memiliki chemistry yang belum ada duanya.
Pun, genre romantis menjadi semacam inti dari drakor yang proses produksinya tidak kaleng-kaleng dan dibuat dengan sepenuh hati. Business Proposal, misalnya, menggunakan animasi kartun pada adegan memperkenalkan Kang Tae-moo. Tentu sebagai referensi ceritanya diangkat dari webtoon The Office Blind Date dan Kang Tae-moo adalah personifikasi laki-laki idaman dua dimensi yang menjadi nyata.
Mengutip penelitian Korean TV Drama Viewership on Netflix: Transcultural Affection, Romance, and Identities (2020) oleh Hyejung Ju, akademisi bidang media dari Claflin University, AS, komedi romantis maupun melodrama menjadi jenis drakor (label yang bisa digunakan untuk segala jenis serial televisi Korsel) yang paling populer. Pasalnya romansa mampu menembus batasan budaya. Apalagi platform streaming, seperti Netflix mengamplifikasi ketenaran drakor romansa tersebut.
Baca juga: 7 Hal yang Bisa Bikin Sinetron Istri Terobsesi K-pop Lebih Meyakinkan
Akan tetapi, ketika berbicara tentang genre romantis, ada ungkapan “drakor tak melulu romance, kok” yang mengindikasikan ada sesuatu yang salah dengan romansa. Sementara, genre tersebut berkontribusi dalam ketenaran drakor sebagai kekuatan kultural Korsel.
Jika melihat dua dekade lalu drakor genre melodrama yang pertama kali menyapa penonton Indonesia dengan Autumn in My Heart (2000), Winter Sonata (2002), dan Jewel in The Palace (2004), kecintaan pada drakor tersebut terus bertumbuh sampai drama Boys Before Flower meledak. Ini sejalan dengan semakin populernya Hallyu Wave di Indonesia pada 2009.
Kisah si kaya dan si miskin Goo Jun-pyo (Lee Min-ho) dan Geum Jan-di (Koo Hye-sun) menjadi perjuangan cinta sejati paling menyayat hati. Cerita melodrama yang mendayu-dayu membuat genre tersebut menerima label khusus untuk orang cengeng, terlebih lagi perempuan. Karena itu pula, Lee Keehyeung akademisi jurnalisme dan komunikasi Kyung Hee University di Seoul menyatakan dalam penelitian Speak Memory! Morae Sigye and The Politics of Social Melodrama in Contemporary South Korea (2004), melodrama cenderung diremehkan.
Selain itu, dia berargumen, melodrama yang sangat formulaik–jahat versus baik–juga fokus pada penderitaan perempuan agar cerita lebih dramatis. Tak jarang perempuan yang berada di kelas ekonomi lebih rendah menjadi bahan bulan-bulanan keluarga konglomerat sang protagonis laki-laki. Walaupun komedi romantis berbeda dengan melodrama, tak jarang bumbu-bumbu melodramatis disisipkan dalam drakor romcom.
Drakor memang bisa membuat hati bergetar ketika sang kekasih saling bertatap mata, tapi tak jarang ada kritik mereka meromantisasi kekerasan seksual, seperti pemaksaan cium, tarik tangan, hingga perundungan yang diartikan sebagai rasa tertarik. Misi mengubah laki-laki buas menjadi pangeran dengan kekuatan cinta, seperti What’s Wrong With Secretary Kim (2018) juga masih mewarnai cerita drakor.
Baca juga: ‘Semantic Error’: Ramuan Romcom + BL yang Manjur
Apakah Komedi Romantis Selalu Jelek?
Kritik tersebut tidak hanya dilemparkan pada drakor, tetapi berbagai karya sinema bertema “romantis”. Mengambil contoh 365 Days yang menitipkan pesan tidak apa-apa diculik dan disandera mafia yang memiliki obsesi tidak sehat kepada kita.
Tak bisa dimungkiri genre romansa sangat heteronormatif dan memberikan ekspektasi hubungan yang tidak realistis. Akibat hal itu, komedian dan aktor Mindy Kaling dalam memoarnya Is Everyone Hanging Out Without Me menyatakan, walaupun dia menyukai romcom, dia memperlakukannya bak cerita sci-fi yang dimensinya berbeda dengan dunia ini.
Genre pun romansa sekarat, belum lagi tema yang ‘murahan’ atau chick flick dilabeli milik perempuan semata. Meski demikian, tidak dapat menepiskan memang banyak perempuan yang menikmati drakor roman picisan. Akan tetapi, seiring industri film Korsel berkembang dan menunjukkan kebolehannya, genre romansa mulai berani menyisipkan kritik sosial dalam ceritanya.
Because This is My First Life (2017), misalnya, menyentuh isu domestifikasi perempuan, otoritas tubuh, dan kesenjangan sosial. Begitu pun dengan Business Proposal yang tak takut menyindir ketidakmampuan aparat mengatasi kasus pelecehan seksual molka atau spy cams yang merekam perempuan di toilet umum.
Meski demikian, Business Proposal tetap tak sempurna, sebab menggunakan karakter perempuan satu dimensional agar protagonis perempuan tampak lebih baik. Namun, drakor tidak selalu hitam dan putih sebab kadang ada pesan terselubung yang disampaikan di balik kisah romansa itu.
Untuk Shin Ha-ri, if life gives you lemons, you make lemonade. Saat dia merasakan dunianya runtuh, dia malah menemukan seseorang yang menyukai dirinya apa adanya. Lagipula saat kita bisa bersikap kritis saat menonton, apakah roman picisan bak Business Proposal benar-benar buruk?