Konflik Tasya-Tasyi dan Obsesi Warganet pada Drama ‘Public Figure’
Kenapa kita gemar mengonsumsi drama ‘public figure’? Karena terus disediakan atau karena ‘demand’ dari penonton yang tinggi?
Ketika konten kreator Tasya Farasya membagikan potret kebahagiaan ulang tahun anaknya lewat Instagram, warganet mendapati sebuah kejanggalan. Yakni ketidakhadiran Tasyi Athasyia, konten kreator dan kembaran Tasya, dalam foto-foto yang dipublikasikan.
Lucunya, mereka ramai-ramai menelusuri dan mengomentari “permasalahan” itu lebih lanjut. Sampai suami Tasyi, Syech Zaki Alatas, angkat bicara lewat video klarifikasi yang dipublikasikan di kanal Youtube-nya.
Video tersebut dibuka dengan menjawab pertanyaan yang banyak ditanyakan warganet: kenapa Tasyi tak datang ke acara ulang tahun anaknya Tasya?
Menurut Syech, Tasyi tak bisa hadir karena rumah tangga mereka sedang bermasalah. Ada sosok takhbib—laki-laki yang suka menggoda istri orang—di pernikahan mereka.
“Dalam acara ulang tahun Lily (anak Tasya) itu ada orang yang berkali-kali melakukan takhbib. Aku buat keputusan, kak Tasyi enggak boleh datang,” jelas Syech.
Di keluarga bukan figur publik, normalnya permasalahan seperti ini hanya akan beredar di lingkup orang terdekat. Orang lain biasanya tak perlu tahu, apalagi sampai dibicarakan di media sosial.
Namun, Tasyi dan Tasya adalah sosok ternama. Terlepas dari kontennya yang jadi konsumsi publik, warganet juga mengikuti kehidupan pribadi mereka.
Selain membagikan konten terkait pekerjaannya, baik Tasyi maupun Tasya juga mem-posting momen spesial mereka. Misalnya liburan, ulang tahun, pernikahan, atau sekadar berkumpul dengan keluarga. Sesuatu yang ternyata ditunggu dan disukai warganet.
Otomatis, kejanggalan seperti absennya Tasyi di ulang tahun Lily mudah ditemukan. Bahkan, tanpa ragu warganet langsung mempertanyakannya. Dilanjutkan dengan menggoreng masa lalu Tasyi dan Tasya yang semakin memperburuk suasana.
Obsesi warganet dengan drama figur publik sebenarnya bukan terjadi belakangan ini. Reality show seperti Keeping Up with the Kardashians (KUWTK) (2007-2021) atau The Real Housewives (2006-sekarang), bisa dikatakan berperan dalam antusiasme kita terhadap drama selebritis (seleb).
Sebagai penonton, rasa penasaran kita akan kehidupan mereka seketika terjawab. Padahal, yang ditampilkan para seleb belum tentu informatif, atau punya dampak signifikan dengan keseharian kita.
Yang mereka lakukan cuma hidup dari hari ke hari di tengah gelimang harta dan drama dari lingkungannya. Bukan menawarkan solusi untuk mengatasi kemiskinan, atau melakukan temuan ilmiah. Menariknya, tontonan seperti itu tetap menyenangkan untuk disaksikan.
Reality show dengan drama kehidupan seleb tak hanya ditayangkan televisi Amerika Serikat. Di Indonesia ada Janji Suci (2014-2021) yang mengikuti rumah tangga Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Kemudian juga Diary The Onsu (2020-sekarang), dan Keluarga Bosque (2020-2021).
Ketiga program tersebut tayang di Trans TV, target utamanya masyarakat yang tidak menggunakan internet. Sebab, konten serupa juga mereka unggah di Youtube.
Kebiasaan kita mengonsumsi media akhirnya punya siklus tak terputus dengan industri hiburan yang sering mengeksploitasi kehidupan sehari-hari atau bahkan privat milik seleb.
Lalu, apa yang membuat warganet terobsesi dengan drama public figure yang seringnya enggak begitu berbobot—atau bahkan settingan belaka? Berikut Magdalene merangkum empat alasannya.
Baca Juga: Dear Warganet, Setop Komentari Hidup Figur Publik
1. Melarikan Diri dari Realitas
Ketika sedang membutuhkan rehat sejenak, tanpa disadari kita sering doomscrolling media sosial. Dari satu Instagram story ke lainnya, sekalian mencari tahu pembicaraan terkini lewat trending topic di Twitter. Atau menyaksikan reality show di jam makan siang.
Sulit dimungkiri, drama para figur publik yang ada di kedua medium tersebut menyenangkan untuk dinikmati. Persoalan mereka adalah hiburan untuk lari sejenak dari kenyataan dunia kita sendiri.
Dalam tulisannya di Psychology Today, penulis Diana Raab menyebutkan, melarikan diri secara virtual adalah salah satu cara sehat yang bisa dilakukan. Ia mencontohkan situs “A Second Life”, yang memungkinkan penggunanya untuk menjalani kehidupan berbeda dari realitas.
Perbedaannya, dalam hal ini kita cenderung memanfaatkan drama seleb sebagai jalan eskapisme. Dengan melihat kehidupan orang lain, mereka tidak hanya melepaskan stres, tetapi menjawab pertanyaan apa rasanya hidup nyaman berkecukupan tanpa memusingkan masalah finansial.
Lewat konten yang disajikan, public figure sedikit banyak memberikan akses untuk “mencicipi kemewahan”.
Mulai dari liburan ke luar negeri, belanja keperluan rumah tangga hingga jutaan rupiah, sampai naik jet pribadi. Hal-hal yang bagi kita rasanya enggak mudah untuk digapai, atau memang cukup jadi angan-angan.
Eliza Cummings-Cove, seorang Marketing and Admissions Director di Dukes Education Group, pernah melakukan riset berjudul Keeping up with the Kardashians: A postfeminist fairy tale? (2016). Menurutnya, KUWTK berbeda dari reality shows lainnya. Mereka mengabadikan berbagai momen dalam hidupnya, seperti patah hati, melahirkan, dan ketergantungan dengan obat-obatan. Selain lewat programnya, Kardashians juga membagikan detail hidup mereka lewat media sosial.
“Kedua hal itu menciptakan kedekatan dan hubungan yang real, antara mereka (Kardashians) dengan audiensnya,” ujar Cummings-Cove.
Karena itu, banyak orang menyukai KUWTK. Mereka senang dilibatkan, dan sebagai media personality, Kardashians berhasil mewujudkannya.
Baca Juga: Selebritis Berhak Punya Privasi, Kita Saja yang Gagal Paham
2. Melihat Orang Lain Berperilaku Buruk
Bagi warganet, selalu ada hal menarik dari drama yang terjadi di lingkup public figure. Baik itu urusan perceraian, perselingkuhan, cekcok dalam keluarga dan pertemanan, atau influencer yang suka blunder sendiri dengan tingkah lakunya.
Meskipun kehadiran infotainment bikin kehidupan seleb semakin menarik, media sosial membuat permasalahan seperti itu semakin digandrungi, bahkan perkembangannya semakin mudah diikuti. Contohnya dalam konflik yang menimpa Tasyi. Setelah menjelaskan permasalahannya, ia dan sang suami kembali mengunggah video di Youtube, berisi permintaan maaf ke Ala Alatas—ibu dari Tasyi.
Berkaca pada drama di kalangan public figure, Robert Thompson, direktur pendiri Bleier Center for Television and Popular Culture di Newhouse School of Public Communications Syracuse University, Amerika Serikat mengungkapkan alasannya.
“Kita senang menyaksikan orang lain berperilaku buruk dan melakukan kesalahan, terlepas dari status sosialnya,” katanya dikutip dari USA Today.
Karena itu, nama figur publik bersangkutan biasanya akan tertera di trending topic Twitter, diikuti penyebab perkara dan komentar warganet. Mereka berlomba membela, menyalahkan, atau melemparkan guyonan.
Sebenarnya ada istilah tersendiri untuk menjelaskan hal ini, yang disebut schadenfreude, atau kesenangan yang didapatkan setelah melihat kesulitan orang lain.
Dalam Celebrity and Schadenfreude: The cultural economy of fame in freefall (2010), Steve Cross dan Jo Littler menjelaskan, perasaan senang itu muncul karena kita melihat sosok yang powerful menjadi lemah. Dengan kata lain, kesenangan menjadi upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan, yang dalam hal ini adalah privilese dan perbedaan kelas yang dimiliki.
Pasalnya, publik cenderung memotret seleb sebagai sosok yang punya segudang keistimewaan. Hidupnya terlihat begitu mudah, jika dibandingkan dengan kita dengan latar belakang kelas pekerja. Mirip lirik lagu 7 Rings milik Ariana Grande, “I want it, I got it.” Alias mau apa aja bisa dipenuhi.
Alhasil, perilaku atau konflik yang mencoreng nama mereka—dan jadi konsumsi drama bagi warganet, dianggap sebagai kerentanan yang kasatmata.
Untuk mengatasi kerentanan itu, umumnya public figure akan membuat klarifikasi di media sosial. Di samping meluruskan perbuatannya, tak lain tak bukan tujuan klarifikasinya adalah mengembalikan citra mereka sekaligus mempertahankan followers.
Dengan membuat klarifikasi, artinya seleb maupun influencer melibatkan kehadiran publik. Sebab, selain akan kehilangan penikmat kontennya, mereka juga membutuhkan followers sebagai target pasar ketika melakukan endorsement atau menjadi brand ambassador sebuah brand.
Walaupun ujung-ujungnya untuk mempertahankan eksistensinya di bawah spotlight, setidaknya pengikut mereka merasa dibutuhkan.
Misalnya aktor Jonathan Frizzy yang belakangan ini sering tampil di televisi. Ia mengklarifikasi berbagai tuduhan yang muncul di publik. Mulai dari tidak menafkahi anak pasca perceraian, perseteruan dengan mantan istri, sampai berselingkuh saat masih menikah.
Ternyata, kontrak kerja aktor yang akrab disapa Ijonk itu terancam, sehingga terpaksa menggunakan ruang publik untuk mengklarifikasi permasalahannya dengan sang mantan istri.
Atau beberapa tahun lalu, ketika sejumlah Youtuber berlomba membuat video permintaan maaf. Di antaranya Jeffree Star, James Charles, Laura Lee, Jenna Marbles, Addison Rae, Shane Dawson, dan Summer McKeen. Mereka membuat video tersebut karena perilakunya terhadap Youtuber lain, bersikap rasis, dan melemparkan candaan pedofilia.
Baca Juga: Dangkal dan Sensasional: Wajah Selebriti di Media Massa
3. Relate dengan Hidup Sehari-hari
Selain ditayangkan lewat reality show di televisi, kehidupan figur publik juga dapat diakses melalui Youtube. Sebut saja sejumlah kanal Youtube milik seleb yang menayangkan keseharian mereka. Ada Raffi Ahmad, Baim Wong, Anang Hermansyah, dan Atta Halilintar. Mereka berlomba menayangkan life update terkini, bahkan bisa setiap hari mengunggah video.
Tayangan itu menghibur sebagian masyarakat. Selain ingin tahu hidup artis, mereka menonton video tersebut karena tersentuh dengan kebaikan public figure. Contohnya Baim Wong yang dulu hobi bikin konten social experiment—yang jatuhnya mengeksploitasi kemiskinan, tapi dipandang sebagai empati oleh kelas ekonomi menengah ke bawah.
Pun jika melihat kolom komentarnya, mereka memuji dan mendoakan sang aktor dengan totalitas penyamarannya demi membantu orang lain. Atau berharap nasib mereka akan seperti Baim.
Dari konten social experiment yang problematik itu, ada perasaan dirangkul atau diakui keberadaannya di masyarakat. Terutama dengan profesi Baim yang berubah di setiap episode, dari pengemis, penjual tisu, dan gelandangan.
Selain itu, lewat drama seleb dan influencer yang tampak di media sosial ataupun reality show, publik mengetahui kalau mereka punya permasalahan serupa meskipun memiliki perbedaan kelas sosial.
Salah satunya ketika pengusaha dan influencer Medina Zein yang memamerkan tas Burberry-nya, tapi belum melunasi utang pada Rachel Vennya.
Mungkin sebelumnya warganet punya persepsi kalau orang kaya enggak punya utang lantaran hidupnya berkecukupan. Namun, perseteruan di antara keduanya membuktikan hal yang berbeda. Mereka justru melihat, persoalan ekonomi kelas menengah ke bawah dan atas serupa, mungkin nominalnya yang berbeda.
Bahkan, warganet berusaha “ikut membantu” menyelesaikan permasalahan, dengan meramaikan kolom komentar di Instagram Medina, agar ia segera membayar sisa uang tas yang dibelinya dari Rachel.
4. Bahan Interaksi Sosial
Apa yang hangat dibicarakan di media sosial, biasanya juga jadi bahan obrolan di masyarakat. Bahkan, media online turut membicarakannya. Alhasil, warganet semakin up to date dengan drama terkini dari para seleb, dan membuat mereka bergunjing.
Zak Stambor dalam Bonding over others’ business (2006) menuliskan, 65 persen diskusi melibatkan gosip sebagai hiburan atau untuk memperkuat ikatan kelompoknya. Maka itu, gosip dinilai sebagai obrolan universal yang bisa menentukan arah pembicaraan, atau membantu terhubung dengan orang lain dan menjalin ikatan sosial.
Sebenarnya drama seputar figur publik enggak mesti untuk bergosip, melainkan ice breaker untuk memecahkan suasana. Dengan kata lain, kehidupan mereka sifatnya seperti current affairs yang patut diketahui.
Di sisi lain, pembahasan seputar drama seleb atau influencer sekaligus menghindari percakapan terkait kehidupan pribadi. Sebab, mereka enggak memiliki pengaruh terhadap kehidupan kita, membuat sebagian orang lebih nyaman membicarakannya.