Health Lifestyle

4 Hal yang Tidak Kita Bicarakan saat Membicarakan Penyakit Mental

Ada pemahaman dan penerimaan yang lebih besar dari masyarakat terhadap penyakit mental. Namun, beberapa hal penting tetap tidak terkuak.

Avatar
  • January 25, 2021
  • 7 min read
  • 985 Views
4 Hal yang Tidak Kita Bicarakan saat Membicarakan Penyakit Mental

Saya kira, 2020 adalah tahun yang buruk bagi semua orang di seluruh planet ini. Begitu buruknya sampai untuk pertama kalinya dalam 19 tahun setelah saya mendapatkan diagnosis gangguan bipolar, saat saya mengatakan bahwa saya sedang mengalami depresi, reaksi yang umum yang saya terima adalah: “Kayaknya kita semua begitu, deh.”

Namun, satu hal baik tentang tahun 2020 adalah, kesadaran soal kesehatan mental telah menjadi trending topic yang tidak kunjung hilang akhir-akhir ini. Hal tersebut adalah kabar baik sekaligus kabar buruk bagi orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan mental dan/atau penyakit mental.

 

 

Kabar baiknya, sekarang orang-orang menjadi lebih sadar dan menerima isu tersebut. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan, tetapi sepertinya masyarakat umum mulai memiliki pemahaman tentang pentingnya kesehatan mental, dan bahwa kondisi seperti depresi dan kecemasan adalah penyakit yang nyata.

Kabar buruknya, semakin banyak orang yang mendiagnosis diri sendiri lewat Google, atau lebih parah lagi, orang-orang non-profesional mendiagnosis pengikut media sosial mereka berdasarkan pengalamannya dan Google. Kemudian, ada juga orang-orang yang didiagnosis dengan benar dan secara profesional, yang mulai menggunakan kondisi mental mereka sebagai alasan atas perilaku buruk atau  tidak bertanggung jawab yang mereka lakukan. Alih-alih berusaha menjadi lebih baik, mereka memanfaatkan sikap masyarakat yang lebih menerima dan merangkul orang-orang dengan kondisi seperti mereka.

Kesadaran Soal Kesehatan Mental Semakin Meningkat, Tapi…

Sebagai orang yang didiagnosis pada awal tahun 2000-an, ketika masyarakat tidak begitu terbuka dan menerima isu kesehatan mental sehingga saya harus menyembunyikan kondisi saya bahkan dari teman-teman terdekat karena takut ditolak, saya sangat senang kita telah sampai pada titik ini.

Baca juga: Pandemi, Kesehatan Mental, dan Papa yang Memilih Pergi

Saya senang karena sekarang, saya dapat secara terbuka mengungkapkan bahwa saya adalah pengidap bipolar kepada teman-teman tanpa takut saya akan menjadi paria. Jadi jangan salah, saya mendukung kesadaran dan pendidikan tentang kesehatan mental. Saya rasa, semakin banyak orang tahu dan mengerti, semakin banyak pengetahuan yang mereka miliki, semakin baik pula situasinya bagi orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan mental.

Namun, terkadang ada beberapa pesan yang tidak kita komunikasikan dalam upaya kita semua untuk meningkatkan kesadaran kesehatan mental, dan untuk mendorong lebih banyak orang menerima dan merangkul mereka yang memiliki penyakit mental. Bukannya kita tidak mau mengomunikasikan pesan-pesan ini, namun terkadang kita lupa mengingatkan orang-orang tentang apa yang kita pikir sudah mereka ketahui.

Jadi, apa yang tidak kita bicarakan ketika kita berbicara tentang penyakit mental?

  1. Kondisi Kesehatan Mental Kita Tidak Menentukan Nilai Moral dan Etika Kita

Saya tidak tahu apakah kamu menyadarinya, tetapi keadaan hipomanik orang bipolar sering kali melibatkan perilaku berisiko, hiperseksualitas, perasaan besar diri, dan euforia. Dalam beberapa kasus bahkan melibatkan episode psikotik.

Tentunya, hal-hal yang saya sebutkan di atas berarti bahwa ketika saya mengalami hipomania, saya dapat melakukan perilaku yang berbahaya bagi diri saya sendiri dan juga orang lain. Jadi, ya, saya telah menyakiti orang lain dan membuat keputusan-keputusan yang buruk, tetapi itu tidak membebaskan saya dari apa yang diucapkan hati nurani saya serta membuat saya lepas dari konsekuensi atas tindakan saya.

Saya telah mengalami kehilangan teman. Saya telah merusak kepercayaan. Saya harus menebus kesalahan-kesalahan yang saya perbuat. Meskipun saya berusaha untuk memaafkan diri sendiri, saya masih hidup dengan rasa bersalah atas tindakan saya di masa lalu.

Baca juga: “Sepertinya Saya Bipolar”: Bahaya Diagnosis Mandiri Gangguan Mental

Kamu mungkin mengalami depresi, gangguan bipolar, atau penyakit mental lainnya, tetapi pedoman moralmu tetap sama, terlepas dari kondisi yang kamu rasakan. Mereka yang mengabaikan tanggung jawab dan menyalahkan kondisi mereka hanyalah manusia yang buruk, terlepas dari apakah mereka menderita penyakit mental atau tidak.

Mike Tyson misalnya, mungkin memiliki penyakit mental, tetapi dia tetaplah seorang pemerkosa. Memiliki penyakit mental bukanlah alasan untuk menjadi pelaku kekerasan. Memiliki penyakit mental bukanlah alasan untuk berperilaku buruk. Moralitasmu tidak ada hubungannya dengan kondisimu.

  1. Harus Menjelaskan tentang Diri dan Kondisi Kita kepada Orang-orang Itu Melelahkan

Saya merasa sungguh luar biasa melihat orang-orang lebih terbuka dan menerima kondisi kita sekarang. Tapi, buat kalian orang-orang yang baru woke dan bersikap suportif, bantulah kami semua dan lakukan pekerjaan rumahmu dengan baik. Ada begitu banyak referensi online yang bisa kamu dapatkan untuk mencari informasi tentang penyakit mental secara umum.

Di Instagram saja, kamu mungkin dapat menemukan ribuan akun yang membahas soal kesadaran dan pendidikan kesehatan mental. Pernahkah mendengar tentang Google, kan? Atau mungkin mengambil kelas di platform pembelajaran daring (saya).

Jangan terus meminta temanmu yang depresi atau mengalami anxiety attack untuk menjelaskan apa yang mereka alami. Biarkan mereka beristirahat. Kirimi mereka makanan. Beri tahu mereka bahwa kamu memikirkan mereka dan siap mendengarkan jika mereka ingin berbicara. Bersiaplah untuk mengirimi mereka meme lucu jika perlu.

Jangan minta mereka menjelaskan kepadamu apa itu depresi atau kecemasan, seperti apa rasanya, dan apa yang sedang mereka alami. Mereka sudah lelah melawan iblis mereka di dalam diri mereka masing-masing. Bantulah mereka bertarung melawannya.

  1. Seberapa Konstan Gangguan Kesehatan Mental Itu Terjadi

Berikut ini kiat pro untuk kamu yang seorang pemula: Penyakit mental tidak seperti flu. Penyakit mental itu lebih seperti diabetes. Penyakit ini bisa bertahan dalam hitungan tahun atau puluhan tahun. Beberapa penyakit mental bahkan merupakan kondisi seumur hidup, jadi meskipun dapat dikelola dengan baik, dan orang dengan penyakit mental dapat terus memiliki kehidupan yang kaya dan produktif, penyakit tersebut tidak akan benar-benar hilang.

Ketika saya dalam keadaan depresi, itu sangat melelahkan, dan bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelum akhirnya saya kembali ke situasi yang lebih baik dan merasa senang. Episode ini terakhir kalinya telah saya rasakan selama hampir dua bulan dan terus bertambah. Tidak menyenangkan berada di dekat saya sepanjang waktu ketika saya seperti ini.

Jadi, jika kamu ingin menjadi teman yang suportif atau dicintai bagi siapa pun yang memiliki penyakit mental, harap dipahami bahwa terlepas dari apa pun yang sudah kamu lakukan, terkadang episode mereka akan terus tetap berlanjut. Jika kamu ingin berada di samping orang tersebut, kamu harus siap sepenuhnya. Kamu perlu tahu apa yang sedang kamu hadapi.

Jika kamu tidak bisa berada di samping orang-orang dengan kondisi seperti itu, jangan membuat janji pada mereka. Jika kamu tidak bisa tinggal dalam waktu lama, jangan katakan “Aku akan selalu ada untukmu” sebagai upaya untuk menjadi teman yang baik. Percayalah, kita semua tahu bahwa bertahan di posisi tersebut bukanlah untuk semua orang. Kamu tidak perlu terlalu banyak berjanji.

Baca juga: 7 Lagu BTS tentang Kesehatan Mental

  1. Penyintas Kesehatan Mental Itu Kuat dan Berani, dan Tidak Perlu Dikasihani

Sangat bagus bahwa kita sebagai masyarakat sekarang lebih memahami penyakit mental, tetapi terkadang hal itu membuat kita merasa kasihan kepada mereka yang bergumul dengan penyakit mental yang mereka miliki. “Sedih banget ya,” kita akan berkata seperti itu atau, “Ya ampun, kasian banget dia”. Please, jangan begitu.

Kami yang memiliki penyakit mental tidak ingin dikasihani. Jika kamu memang ingin menunjukkan dukunganmu kepada kami, jangan kasihani kami. Sebaliknya, ingatkan kami bahwa kami kuat, kami berani, dan kami telah berjuang dalam pertempuran ini sebelumnya dan menang, jadi kami akan menang lagi kemudian. Jangan memperlakukan kami seperti bayi. Jangan mencoba melindungi kami dari kenyataan pahit dalam hidup. Hidup itu sulit, bahkan lebih sulit lagi bagi kami dengan kondisi ini.

Saya percaya bahwa jika saya diberi kondisi seperti ini, itu berarti Yang Di Atas Sana tahu saya memiliki kekuatan yang cukup untuk melewatinya dengan baik. Daripada merasa kasihan pada kami, beri tahu kami bahwa kami bisa melakukannya. Karena kami bisa. Kami hanya butuh bantuan.

Sebagai seseorang yang menderita penyakit mental seumur hidup, saya didorong oleh kemajuan yang kami buat dalam hal kesadaran kesehatan mental, terutama tahun ini ketika dunia secara kolektif jatuh secara mental. Namun, pada saat percakapan tentang kesehatan mental ini kian populer, ingatlah untuk membicarakan hal-hal yang biasanya tidak kita bicarakan, karena percakapan yang kita abaikan ini terkadang adalah yang paling penting.

Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.



#waveforequality


Avatar
About Author

Grace Wiroreno

Grace Wiroreno is a writer and the Creative Director of Anima Mea Creative Studio. She started watching her first K-drama in 2021 and now she’s in too deep. She also loves Korean food, Park Seo-Joon, and Seo Ye-Ji. She lives with her wibu brother, her strange neurotic dog, and four mentally ill cats adjacent to Jakarta, and she hates leaving the house except when friends invite her to eat in Cheongdam Garden. Her Instagram account is private but if you’re a non-threatening entity, you can request to follow her @binkyandthecreatures.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *