Ditanya kenapa enggak pernah pacaran dan kapan punya pacar adalah “makanan sehari-hari” bagi “Gita”. Di setiap pertemuan keluarga, Gita yang lama menjomblo kerap diingatkan kalau usianya sudah sangat cukup untuk pacaran. Namun, meski pertanyaan-pertanyaan itu lama-lama terasa seperti deadline, ia enggan menanggapi dengan jawaban sesungguhnya.
“Gue bilang aja belum mau pacaran. Lagi pula juga belum ketemu orangnya,” ujar perempuan 22 tahun tersebut. Padahal, alasan yang sebenarnya adalah Gita belum siap kembali pacaran.
“Gue belum siap ketemu orang yang salah lagi,” jawab Gita. Pasalnya, ketika terakhir pacaran pada 2020, ia memiliki pengalaman enggak menyenangkan.
Waktu itu, Gita beberapa kali diselingkuhi oleh mantan pacarnya. Kejadian itu membuatnya takut kembali menjalin relasi romantis, lantaran menganggap ada risiko kembali diselingkuhi. Dalam hemat Gita, dibutuhkan kesiapan untuk kembali patah hati ketika memutuskan berelasi dengan orang lain.
Kalau berkaca pada sejumlah artikel di internet, pengalaman Gita merupakan satu dari beberapa tanda-tanda seseorang belum siap untuk pacaran. Biasanya diikuti dengan ciri-ciri lainnya, seperti enggak tertarik untuk proses pendekatan, belum bahagia dengan diri sendiri, dan punya emotional baggage dari masa lalu yang perlu dibuka.
Pada dasarnya, masa lalu memiliki peran cukup signifikan dalam membentuk seseorang di masa kini. Bahkan, kerap menimbulkan kerumitan karena memengaruhi persepsi terhadap hubungan yang akan datang.
Pernyataan tersebut diyakini oleh psikolog Diana Mayorita. Ia mengatakan, kerumitan itu muncul lantaran terlalu dipikirkan, atau dijadikan penghalang untuk memulai relasi yang baru.
“Padahal, kalau pengalaman masa lalu diolah menjadi sumber pembelajaran yang mendewasakan, justru ada banyak hal yang akan dipelajari,” ungkap Yori pada Magdalene, (5/10).
Kendati demikian, bukan berarti melepaskan diri dari masa lalu adalah syarat utama untuk kembali berpacaran. Toh sebenarnya tidak ada tolok ukur, untuk merasa siap terlibat dalam sebuah hubungan. Namun, bagaimana kesiapan itu bisa ditentukan?
Baca Juga: Dua Minggu ‘Chatting’ dengan Bot di Replika
Perlukah Merasa Siap Sebelum Pacaran?
Sebagai salah satu orang yang mengamini, diperlukan kesiapan untuk pacaran, saya menilai gagasan tersebut abstrak. Alias enggak ada definisi yang tepat, ataupun tolok ukur untuk menjelaskan artinya selain orang yang bersangkutan.
Editor Julie Beck juga berpendapat yang sama dalam tulisannya di The Atlantic. Beck menyatakan gagasan tersebut sebenarnya menutupi makna yang disembunyikan di baliknya. Entah sebagai tameng untuk menghindari perpisahan, atau kesanggupan untuk mengenal sesuatu yang dirasakan lebih dalam.
Sama seperti Gita dan saya, masing-masing memiliki makna atas kesiapan untuk pacaran. Bagi Gita, gagasan itu berarti harus siap disakiti lagi. Sementara buat saya, artinya harus siap membiarkan orang lain jadi bagian dari kehidupan.
Sementara, menurut Stephanie Coontz, profesor sejarah dan sejarah keluarga di Evergreen State College, Amerika Serikat, gagasan kesiapan untuk pacaran itu mulai muncul pada 1980. Ia mengatakan, itu dipengaruhi oleh cara orang-orang berpikir tentang komitmen dan pernikahan.
“Pernikahan dilihat sebagai salah satu tahapan kehidupan, di mana akan ada waktunya setiap orang dewasa untuk settle down dan belajar mempertahankan hubungan (romantis),” jelasnya dikutip dari The Atlantic.
Untuk sebagian orang dewasa, pacaran bukan lagi hubungan kasual seperti remaja, yang umumnya nggak memiliki tujuan tertentu. Secara psikologis, mereka belum matang untuk mampu meregulasi emosi. Namun, orang dewasa justru menjadikan pacaran sebagai persiapan sebelum menuju jenjang yang lebih serius, seperti disebutkan Coontz.
Baca Juga: Mereka Pilih Menjomblo 25 Tahun, Kenapa?
Hal itu juga berlaku pada Gita. Tujuannya berpacaran adalah mencari teman hidup. Maka itu, Gita mencari sosok yang bisa saling mengerti dan percaya, tanpa perlu memberikan kabar terus-menerus. “Apalagi dengan pekerjaan gue sekarang. Kayaknya cukup sulit untuk bisa cepat balas chat,” katanya.
Meskipun demikian, perempuan yang bekerja sebagai content creator itu enggak terburu-buru untuk berpacaran. Gita mengaku belum memiliki kesiapan mental—untuk menghadapi masalah dan selalu ada untuk satu sama lain. Lebih dari itu, Gita juga meyakini sebelum berpacaran perlu menyayangi dirinya sendiri.
“Nah gue belum ngerasa bisa menerima kekurangan diri sendiri. Jadi gimana mau menerima orang lain, kalau diri sendiri belum beres?” tuturnya. Pun Gita menyatakan, dirinya masih sering insecure, sesuatu yang dinilainya dapat menimbulkan masalah-masalah kecil dalam hubungan dan justru ia hindari.
Sependapat dengan pernyataan Gita, psikolog Yori menuturkan hal serupa. Ia menerangkan, hanya diri sendiri yang mengetahui apa saja yang sedang dibutuhkan. Maka itu, selama belum mengenal dan mencintai diri sendiri, seseorang cenderung menuntut orang lain untuk terus mencintainya.
“Kalau kayak begitu bukan cinta yang didapat, tapi kecewa,” kata Yori.
Alhasil, kesiapan itu dapat berpengaruh terhadap kualitas hubungan. Menurut Yori, ini disebabkan oleh keinginan untuk merasa bahagia dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, saat menjalin relasi romantis.
“Yang perlu diketahui, setelah kita bersiap terlibat dalam hubungan, berarti kita juga belajar bagaimana beradaptasi,” tambah Yori. “Enggak hanya adaptasi untuk menyesuaikan dengan orang lain, tapi juga diri sendiri.”
Baik untuk diri sendiri dan orang lain, adaptasi itu diperlukan untuk bernegosiasi ketika membiarkan orang lain masuk dalam kehidupan. Tanpa beradaptasi dengan perubahan justru menyebabkan kondisi psikologis yang tidak stabil dan rentan stres.
“Akhirnya malah berdampak pada hubungan yang dijalani,” ucap Yori.
Baca Juga: Minus Pacaran dengan Teman Kantor, Ini Tipsnya
Bersikap Rentan dan Mau Membuka Diri
Yang enggak kalah penting dari kemampuan beradaptasi, adalah kesediaan untuk membuka diri. Selain untuk saling mengenal, ini juga yang akan memperkuat relasi.
“Perlu diingat, kalau membuka diri juga secara nggak langsung membuka ruang untuk kecewa dan terluka,” jelas Yori mengingatkan. Pasalnya, ketika membuka diri dengan seseorang, artinya ada kerentanan yang ditunjukkan. Rentan dalam konteks ini tidak melulu soal kemampuan dalam melakukan sesuatu, tapi juga sisi buruk yang dimiliki.
Gita mengaku merasakannya. Baginya, menjadi vulnerable dan rapuh membuatnya enggak percaya diri. Karena itu, Gita enggak ingin orang lain melihat kerentanannya.
Sebenarnya ada cara yang dapat dilakukan untuk membuka diri dan memulai hubungan. Yakni bertanya pada diri sendiri, apakah hal itu siap dilakukan, yang berarti juga harus siap dengan risikonya. Pertanyaan itu bisa dimulai dari kepada siapa perlu membuka diri, apakah orang itu layak untuk melihat kerentanan kita, dan apakah ia bersedia tinggal setelah mengetahui diri kita sebenarnya.
“Kalau diri sendiri udah siap, cari momen yang pas untuk ngobrol dan bertukar sudut pandang. Enggak usah buru-buru, karena diri kita yang sebenarnya akan terlihat saat sedang menghadapi konflik,” ujar Yori.
Nantinya, keterbukaan itu tidak hanya meningkatkan kualitas hubungan, tetapi juga menciptakan rasa aman untuk jadi diri sendiri.