Issues

Pahlawan yang Tak Sadar Ia Berjasa adalah Anjing-anjing Saya

Anjing-anjing saya bukan hanya peliharaan bagi saya, mereka adalah keluarga sekaligus penyelamat ketika pikiran buruk menutupi akal sehat saya.

Avatar
  • December 21, 2021
  • 6 min read
  • 845 Views
Pahlawan yang Tak Sadar Ia Berjasa adalah Anjing-anjing Saya

Beberapa tahun lalu dalam talkshow psikologi di kampus saya, seorang pembicara, yang merupakan penyintas depresi menceritakan pengalaman ia selamat dari upaya bunuh dirinya. Setelah berkali-kali mengalami peristiwa yang membuatnya terpuruk, terisolasi, dan kehilangan motivasi hidup, penyintas itu sempat terpikirkan mengakhiri nyawanya dengan tali saat rumah sepi. Namun, beberapa saat sebelum ia mewujudkan niatnya itu, anjing peliharaannya mendekatinya dan memintanya mengelus-elus. 

Hal sederhana, tapi permintaan kecil si anjing tersebut entah bagaimana sukses mendistraksi si penyintas. Mulanya sejenak, lantas ada jeda waktu dan distraksi lain lagi yang menghindarkan si penyintas melakukan bunuh diri. Sampai akhirnya, pelan-pelan ia menemukan alasan kenapa ia mau tetap hidup walau sehari demi sehari, dan niat bunuh dirinya kian memudar seiring waktu.

 

 

Lompat ke beberapa bulan lalu, saya mewawancarai penulis Butterfly Hug, Tenni Purwanti, penyintas gangguan kecemasan. Pernah pula ia begitu putus asa hingga terpikirkan hal yang sama dengan penyintas di awal cerita tadi. Namun, satu hal mengalihkan dirinya dari pikiran bunuh diri: Apa yang akan orang-orang pikir ketika melihat kamar yang saya tinggalkan? Bagaimana kalau mereka menemukan aib-aib saya?

Kemudian ia berkata, ketika ada perasaan seperti yang pernah dialaminya, cobalah mencari alasan, seremeh apa pun itu, untuk tetap hidup. Bahkan, alasan terus hidup hanya untuk lanjut nonton drakor pun sahih. 

Pengalaman-pengalaman kedua orang ini bisa saya relasikan betul. Di sini, saya ingin berbagi sedikit cerita tentang bagaimana anjing-anjing saya menyelamatkan hidup saya. 

2016 adalah tahun ketika saya berada di titik paling rendah sepanjang hidup. Pada awal tahun, saya kehilangan anjing pertama dan kesayangan saya, seekor pomeranian berumur enam tahun, Chili, setelah ia diserang oleh anjing saya lainnya yang separuh golden retriever, Christmas. Peristiwa itu bukan kali pertama mereka bertengkar, tetapi kali ini, luka Chili cukup serius sementara saya yang sedang tak bekerja tetap, tidak punya cukup uang untuk membiayai operasinya. Saya cuma sempat membawanya ke UGD rumah sakit hewan untuk kemudian membawanya pulang, sampai beberapa hari kemudian ia meninggal.

Bagi banyak orang, kematian peliharaan adalah perkara sepele. Namun bagi saya, mereka adalah keluarga yang lebih dekat daripada keluarga biologis saya. Sejak pertama memiliki anjing, saya bersumpah akan menjaga mereka seumur hidup (saya atau mereka, tergantung mana dulu yang mati), dan komitmen ini menguat setelah saya nonton film Jepang mengandung bawang, 10 Promise to My Dog (2008). Membawa mereka pulang adalah pilihan bebas saya yang saya sadari melekat dengan tanggung jawab mengurusnya dengan baik. Dalam keadaan apa pun. 

Baca juga: Ketika Peliharaan Meninggal, Tak Ada Salahnya untuk Menangis

Kematian Chili membuat saya terpuruk berbulan-bulan. Kilas balik selama lima setengah tahun bersamanya terus menerus lewat di kepala dan tak henti membuat mata saya sembab. Memang, setelah itu ada anjing lain yang saya adopsi, tetapi tentu saja tak pernah dapat menggantikan posisi Chili. Bagaimanapun, kehilangan anakmu yang satu tidak akan pernah bisa terobati oleh kehadiran satu atau sejuta anak lain mana pun. Tiap-tiap mereka spesial dan punya ceritanya sendiri.

Tragedi tadi bukan satu-satunya yang membuat saya begitu putus asa untuk lanjut hidup. Setelah tiga tahun tinggal bersama dan berada dalam relasi toksik dengan mantan pacar saya, di mana pada akhirnya dalam diri saya tumbuh ketergantungan tinggi pada dirinya yang tukang ghosting, kami putus. Lagi-lagi, orang bisa bilang, faktor ini juga terlalu cemen untuk mendorong orang jadi desperate. Namun, bagi saya, hal itu adalah pukulan yang cukup besar untuk dapat mengganggu fungsi saya hampir setengah tahun, mulai dari makan hingga aktivitas rutin sehari-hari. 

Ditambah lagi pada saat itu, saya merasa diri saya tak punya tujuan jelas. Tak ada pekerjaan atau karier yang hendak saya kejar, tak ada keluarga atau teman-teman yang bisa diandalkan, tak ada keinginan, tak ada makna apa-apa hidup saya. Bahagia pun jadi konsep yang utopis bagi saya karena semuanya terasa sama, hampa. Pencapaian yang sudah pernah diraih dulu tak serta merta membuat saya merasakannya dan kala itu, saya berpikir semua usaha sia-sia saja. Itu semua yang mendorong saya berulang kali berpikir untuk menyudahi hidup sendiri.

Lantas di tengah perasaan macam itu, suatu kali saya susah payah saya bangun dari tempat tidur dan mendapati anjing tertua saya, Choco, duduk anteng tepat di sebelah kasur. Makanannya yang sedari malam saya sediakan tak disentuhnya. Pelan, dia menyundulkan kepalanya ke telapak tangan saya. Air mata saya bergulir, bukan karena nelangsa meratapi hidup sendiri, melainkan haru melihat polahnya. 

Di lain waktu, Choco menjadi sosok pertama yang siaga menjaga saya dari ‘ancaman’ luar, meski itu hanya tukang paket atau orang asing yang berkunjung. Tak sekali dua kali dia menggonggong pada orang yang dia pikir akan menyerang saya, misalnya ketika saya bertengkar hebat dengan mantan pacar. Dia selalu ingin memastikan saya baik-baik saja. 

Sementara, anjing-anjing saya yang lain selalu punya cara untuk menghibur saya. Sikap clingy dan demanding Baileys, anjing ketiga saya misalnya, meski kadang mengganggu di tengah kerja, adalah hal yang paling saya rindukan setelah keluar rumah cukup lama. Dia juga yang ‘memaksa’ saya untuk bergerak dengan mengajaknya jalan-jalan di sekitar supaya saya tak kelamaan berkutat dengan pesimisme dan pikiran buruk saya sendiri. Dia adalah distraksi terbaik yang pernah ada dalam hidup saya.

Seperti semua pemilik anjing, saya pun pernah kewalahan mengurus mereka, apalagi kalau semuanya sedang bertengkar dan saya susah payah melerainya sendirian. Belum lagi biaya hidup mereka yang juga mesti saya penuhi. Namun, keberadaan mereka sungguh telah membuat hidup saya lebih berwarna, dan menunda segala niat buruk saya terwujud: Pergi dari rumah meninggalkan semua tanggung jawab saya sebagai ibu, atau menghilang selamanya dari dunia. Hal baik ini yang bobotnya jauh menandingi pengorbanan saya memiliki mereka, dan cukup untuk menjadi alasan saya menyambung hidup. 

Baca juga: Bukan Budak Kucing, Rico Lebih dari Sekadar Keluarga

Lalu, kalau mereka sudah enggak ada, alasan hidup kamu hilang dong? Dulu, saya yang punya kecondongan untuk tak lama-lama hidup ini memang berpikir tanggung jawab saya kelar begitu mereka semua pergi. Seiring waktu, seperti pengalaman penyintas tadi, ada saja hal lain tak terduga yang menambah alasan saya tetap hidup. 

Kini, saya punya tanggung jawab terhadap anak saya. Bukan berarti segalanya jadi bergantung pada anak kecil itu juga. Ada atau tidaknya anak manusia dan anak-anak bulu saya, saya masih mau tetap hidup karena muncul rasa penasaran-penasaran akan banyak hal lain yang belum terjawab. Saya masih ingin menjajal hal-hal baru dan seperti apa saya pada “level” kehidupan lain, di ranah lain. 

Anjing-anjing saya bukan sesuatu yang menentukan saya tetap hidup atau tidak. Mereka adalah penuntun jalan bagi saya untuk melihat pintu-pintu lain yang bisa saya buka. Mereka adalah awal, bukan akhir.

Kata orang-orang, dog is a man’s best friend, tetapi bagi saya, ia adalah hadiah terbaik dari Kekuatan Besar di Luar Sana yang pernah saya terima. Mereka tak pernah tahu dirinya sudah berjasa dalam membuat saya terus hidup. Yang mereka tahu, mereka hanya ingin menyayangi saya. Itu pun sebenarnya sudah sangat cukup untuk menjadi terang bagi saya ketika dilumat pikiran buruk: Sebuah pernyataan tersirat saya layak dicintai.    



#waveforequality


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *