Perempuan Memang Bukan Alat Reproduksi: SP 2 buat Om Deddy
Pernyataan Chef Juna tentang kebebasan perempuan untuk menentukan mau hamil atau tidak, sebenarnya tepat. Namun, kenapa respons Deddy Corbuzier tak bersahabat?
Dear Om Deddy Corbuzier,
Baru-baru ini, linimasa media sosial Twitter dan Instagram saya ramai lagi dengan obrolan-obrolan tentang Om, nih! Potongan siaran Podcast #CLOSETHEDOOR yang menampilkan Om Deddy saat sedang ngobrol bareng Om Juna tentang anak dan keluarga beredar di mana-mana.
Sebenarnya, karena siaran podcast Om tadi, saya jadi menemukan sisi yang bernilai dari diri Om Juna yang selama ini cuma dikenal galak dan doyan ngeledekin kontestan koki di ajang MasterChef Indonesia.
Om Juna ternyata adalah seorang laki-laki yang pragmatis dan lumayan berpikiran terbuka tentang kebebasan dan otoritas diri perempuan. Merespons tanggapan dan pertanyaan Om Deddy soal keluarga, hubungan, dan pernikahan, Om Juna menjelaskan, baginya, mempunyai anak adalah keputusan perempuan (pasangannya). Menurut Om Juna, itu karena pihak yang akan merasakan segala sakit, juga perubahan fisik dan psikis selama sembilan bulan adalah istrinya, bukan dia sebagai laki-laki.
“(Kalau ditanya) Apakah saya mau punya anak? Kalau istri saya mau, oke, kita punya anak, tapi kalau istri saya enggak mau, oke, kita enggak usah punya anak,” ujarnya.
“Memang, kamu (laki-laki) yang bakal merasakan sakitnya selama sembilan bulan? Kok bisa ada orang tega membiarkan pasangan hidupnya menderita selama sembilan bulan kalau pasangannya tidak benar-benar mau melalui semua itu dan memiliki anak?” Om Juna menambahkan.
Sayangnya, respons Om Deddy lah yang bikin saya pingin garuk-garuk tanah.
“F*ck you, dude! That’s not what you think.”
“Kamu sadar kan kalau banyak orang yang enggak setuju dengan pemikiran kamu tadi?” kata Om pada Om Juna.
Really? It is what it is, Om!
Kenapa pemikiran yang benar dan apa adanya malah Om pertanyakan dan sudutkan, seolah-olah menghargai perempuan sebagai manusia, alih-alih sebatas alat reproduksi, adalah hal yang aneh?
Mengakui otoritas diri perempuan adalah bagian paling mendasar dari hak asasi manusia. Kan, Om sendiri yang pernah bilang kalau, “Manusia tidak dibedakan oleh wajah dan rupa, tetapi dibedakan oleh pikirannya” dalam sebuah episode acara Hitam Putih beberapa tahun lalu. Nah, implementasi terdekat dari perkataan itu, ya, dari bagaimana cara pikir Om dalam memandang dan memaknai sosok perempuan.
Baca juga: Dear Om Deddy Corbuzier, Tolong Kuasai Diri Sendiri
Respons positif warganet terhadap pemikiran Om Juna sekiranya bisa jadi bukti, masyarakat kita perlahan mulai mengamini standar maskulinitas yang baru—laki-laki yang menghargai perempuan.
Tentu Om ingin orang-orang bisa membedakan Om dengan laki-laki lain yang tidak berperilaku baik dan tidak menghargai sesamanya, bukan?
Kalau mungkin Om Deddy butuh penjelasan lebih detail tentang mengapa hamil dan melahirkan itu seharusnya jadi keputusan perempuan yang wajib masyarakat, keluarga, dan pasangannya hargai, izinkan saya menuliskan surat ini, supaya enggak terulang lagi dan jadi SP 3.
Jadi laki-laki yang menghargai perempuan, baik lewat pemikiran, tutur kata, dan perilaku, itu keren banget kok, Om!
Perempuan Bukan Alat Reproduksi
Saya salut dengan Om Juna. Logikanya juga tepat sasaran. Soalnya, yang terdampak langsung dari kehamilan dan melahirkan adalah perempuan, bukan laki-laki, sangat masuk akal kalau keputusan yang berkenaan dengan tubuh perempuan diputuskan oleh perempuan itu sendiri secara bebas tanpa paksaan dan tekanan.
Ini sebenarnya bare minimum, sih. Mungkin, ini juga jadi pekerjaan rumah baru untuk saya dan para perempuan lain, serta warganet pada umumnya, untuk tidak mengglorifikasi bare minimum, terutama ketika ada laki-laki yang mengakui kesetaraan gender dan otoritas diri maupun tubuh perempuan.
Meski begitu, ada hal penting yang perlu terlebih dulu kita bicarakan, yaitu alasan mengapa kehamilan bukan keputusan yang bisa jadi matang setelah dipikirkan satu-dua bulan, ataupun hanya memengaruhi kehidupan pasangan suami istri selama satu-dua tahun ke depan.
Baca juga: Rahim Perempuan Milik Siapa?
Ketika seorang perempuan hamil, terjadi banyak perubahan di dalam dan luar tubuhnya. Mungkin, Om pernah menyaksikan sendiri, ya, bagaimana perempuan yang hamil itu jadi mudah sekali kelelahan dan merasa sakit.
Namun, bobot tubuh yang berubah drastis, entah bertambah atau berkurang, morning sickness, keterbatasan ruang gerak sehari-hari, perubahan nafsu makan, gangguan pencernaan, dan gangguan kulit tubuh itu tampaknya hanya beberapa contoh yang tak bisa mewakilkan gejala-gejala kehamilan pada setiap perempuan di seluruh dunia, Om.
Hal itu juga diperparah dengan kerentanan ibu hamil untuk mengalami gangguan kesehatan mental ketika akses layanan kesehatan mental di Indonesia belum memadai secara kuantitas, kualitas, dan aksesibilitas. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), antara 10-50 persen ibu yang menjalani masa perinatal (saat hamil hingga setahun setelah melahirkan) mengalami depresi. Riset lain dari WHO menunjukkan, angka kejadian gangguan kesehatan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan pada ibu di negara berkembang tercatat memiliki rata-rata 15,6 persen saat hamil dan 19,8 persen saat setelah melahirkan
Di Indonesia sendiri, tercatat sebanyak 22,4 persen ibu mengalami depresi setelah melahirkan (postpartum depression). Sayangnya, meski angka kejadian depresi pada ibu selama masa perinatal di negara berkembang lebih tinggi daripada kejadian di negara maju, sistem kesehatan mental perinatal belum tersedia di banyak negara berkembang. Selain itu, ada juga faktor budaya dan kapasitas paramedis yang menghambat penanganan masalah ini secara optimal.
Baca juga: Hai Perempuan, Kamu Tidak Sendirian: Beban Mental Menjadi Seorang Ibu
Meski masih muda dan belum pernah hamil, melahirkan, maupun merencanakan keduanya, saya dan banyak perempuan lain saja sejak remaja sudah harus berhadapan dengan tamu bulanan kami—menstruasi—yang datang dengan serangkaian gejala yang menghambat kegiatan sehari-hari. Buat saya, kadang, rasa sakit ketika menstruasi itu begitu hebat sampai tidak bisa bekerja dan berkegiatan seperti biasa. Perubahan hormon juga terjadi tanpa tedeng aling-aling, kadang membuat beberapa perempuan sampai merasa depresi. Hal itu kemudian disebut dengan pre-menstrual dysphoric disorder (PMDD). Itu “saja” menstruasi, bukan hamil yang notabene“merawat dan menyimpan” makhluk hidup baru di dalam rahim. Sungguh tak terbayang sakit yang akan terasa.
Ditambah lagi, pemikiran yang terlampau menormalisasi tatanan keluarga ideal itu selalu berisi ayah, ibu, dan anak, merupakan salah satu akar doktrin yang menjustifikasi peran perempuan sebagai alat reproduksi. Ini yang mendorong masyarakat mewajibkan perempuan hamil dan melahirkan.
Realitanya, yang harus jadi pertimbangan bukanlah hanya kemauan untuk hamil dan melahirkan, tapi juga kemampuan. Tak semua perempuan mampu dan bisa hamil dan melahirkan, baik atas pertimbangan fisik, maupun psikis. Tak sedikit perempuan yang mengidap penyakit atau kelainan pada rahimnya dikucilkan masyarakat dan keluarga lantaran tidak kunjung hamil. Padahal, itu bukan sesuatu yang jadi kuasanya.
Selain itu, pemikiran itu juga akan menyuburkan anggapan bahwa beban untuk hamil itu ada pada pundak perempuan semata, sehingga kalau tak kunjung hamil, yang disalahkan hanya perempuannya. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk membawa kelainan yang membuat kehamilan sulit atau tidak bisa terjadi.
Begitulah, Om Deddy, kurang lebihnya yang ingin saya katakan. Saya yakin, garis besarnya pasti sudah Om dapatkan dalam berbagai pelajaran soal psikologi manusia yang Om dapatkan selama berkuliah. Kapan-kapan, mungkin kita bisa ngopi bareng dan diskusi lebih lanjut, Om. Mungkin, sambil belajar cara membengkokkan sendok dari Om Deddy juga seru.