December 6, 2025
Issues Politics & Society

5 Masalah Mendesak Kebijakan Narkotika: Dari Lapas Penuh hingga Ganja Medis

Kebijakan narkotika Indonesia dinilai masih bertumpu pada pendekatan hukum yang represif. Jaringan masyarakat sipil menyerukan reformasi kebijakan berbasis kesehatan dan HAM.

  • July 3, 2025
  • 5 min read
  • 1185 Views
5 Masalah Mendesak Kebijakan Narkotika: Dari Lapas Penuh hingga Ganja Medis

Setiap tahun, ribuan orang, terutama dari kelompok rentan, masuk penjara karena kasus narkotika. Mayoritas bukan pengedar, melainkan pengguna yang seharusnya ditangani melalui pendekatan kesehatan. Di Hari Narkotika Internasional 2025, Jaringan Reformasi Kebijakan Nasional (JRKN) bersama 24 organisasi masyarakat sipil menyerukan perubahan mendasar terhadap kebijakan narkotika yang selama ini dinilai gagal, diskriminatif, dan melanggar hak asasi manusia.

Dalam forum bertajuk Membangun Dialog Budaya dan Kebijakan untuk Perubahan Inklusif di Hotel Manhattan, Jakarta Selatan (25/6), para pembicara menyoroti berbagai persoalan struktural dalam kebijakan narkotika di Indonesia, mulai dari pendekatan hukum yang represif, penjara yang terlalu penuh, hingga minimnya dukungan terhadap riset ganja medis.

Gloria Lai, Direktur Asia untuk International Drug Policy Consortium, menyebut isu narkotika masih dianggap sensitif di banyak negara, termasuk Indonesia. “Meski tujuannya melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi muda, mereka justru banyak menerima informasi yang keliru, berujung pada kriminalisasi, tes urin paksa, bahkan penyiksaan dalam tahanan,” ujarnya.

Menurut Gloria, komunitas rentan seperti LGBT juga sering menjadi sasaran tindakan semena-mena, sehingga pendekatan yang adil dan interseksional sangat penting.

Iska Beritania, pembina Yayasan Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), menambahkan bahwa kebijakan penindakan selama ini kerap melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hal ini diamini oleh Dien Anshari, Direktur Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, yang menyebut aparat penegak hukum masih terlalu mengandalkan pendekatan represif.

“Mayoritas yang dipenjara karena narkotika adalah pengguna, bukan pengedar. Ketika dipenjara, mereka tak hanya kehilangan kebebasan, tapi juga kesempatan untuk pulih. Masalahnya tidak selesai saat mereka keluar. Justru mereka rentan ditangkap kembali atau kembali memakai karena tak pernah mendapat pemulihan,” ujar Dien.

Ia juga menyoroti kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang penghuninya sudah jauh melampaui kapasitas. Per Juni 2025, terdapat 268.718 orang menghuni rumah tahanan dan lapas di Indonesia, padahal kapasitas idealnya hanya 138.128 orang. Artinya, terjadi kelebihan hampir 95 persen.

“Dari jumlah itu, 52 persen adalah tahanan kasus narkotika, atau sekitar 140.474 orang, dan sebagian besar adalah pengguna,” katanya.

Forum ini menjadi wadah bagi JRKN, yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Inti Muda Indonesia, Lingkar Ganja Nusantara, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan sejumlah organisasi lain—untuk mempertegas tuntutan terhadap kebijakan narkotika. Berikut poin-poin yang menurut mereka perlu disoroti dalam reformasi kebijakan narkotika.

Kebijakan Narkotika di Indonesia
Para anggota RKJN dalam forum yang menyerukan perubahan kebijakan narkotika. (Foto oleh Yayasan Aksi Keadilan Indonesia)

Baca Juga: Tebang Pilih Hukum Narkotika: Rakyat Dibui, Polisi Disuruh Salat

1. Ubah paradigma: Dari hukum ke kesehatan

Richard Alexanderth Siregar dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN) menyatakan, selama lebih dari dua dekade, pendekatan hukum dalam UU Narkotika terbukti tidak efektif. Ribuan orang dijatuhi hukuman penjara hanya karena kepemilikan atau penggunaan dalam jumlah kecil. Tanpa rehabilitasi yang layak, pengguna berisiko mengalami kekambuhan dan kembali dipidana.

“Paradigma kebijakan harus berubah. Ini bukan soal melegalkan, tapi memanusiakan,” ujar Richard. Menurutnya, revisi UU Narkotika yang kini masuk Prolegnas 2025 harus mengedepankan pendekatan berbasis kesehatan dan perlindungan HAM.

2. Ketimpangan asesmen: Siapa yang di-rehab, siapa yang dipenjara?

Yosua, Koordinator Penanganan Kasus di LBH Masyarakat (LBHM), menyoroti ketimpangan dalam proses asesmen tersangka narkotika. Dalam sejumlah kasus, individu dari kalangan berpengaruh lebih mudah diarahkan ke rehabilitasi dibanding masyarakat biasa, yang langsung dijebloskan ke penjara.

LBHM bahkan pernah menggugat Komisi Keterbukaan Informasi Jakarta untuk membuka alasan perbedaan perlakuan aparat ini.

“Asesmen adalah kunci menentukan apakah seseorang harus direhabilitasi atau dipenjara. Ketimpangan ini bentuk ketidakadilan struktural,” tegas Yosua.

Baca Juga: Merry Utami dan Kerentandan Perempuan dalam Kasus Narkotika

3. Kriminalisasi yang memiskinkan dan memenuhi lapas

Aisyah Humaida dari LBHM menyebut kriminalisasi terhadap pengguna narkotika sebagai penyumbang utama penuhnya penjara. Data per Juni 2025 menunjukkan 140.474 dari 268.718 penghuni rutan dan lapas merupakan tersangka kasus narkotika, atau sekitar 52 persen.

Dekriminalisasi, menurut Aisyah, bukan berarti melegalkan narkoba secara bebas, “tapi menghentikan pemidanaan terhadap pengguna untuk konsumsi pribadi dan mengalihkannya ke pendekatan kesehatan dan sosial.” Kriminalisasi juga berdampak ekonomi bagi keluarga tersangka dan sering kali disertai dengan kekerasan saat penahanan.

LBHM mencatat pada 2024 ada 576 tahanan mengalami kekerasan, 126 disiksa oleh polisi, 68 diperas oleh polisi, 23 mengalami pelecehan seksual, dan 509 tidak mendapat akses bantuan hukum.

4. Perempuan dalam kasus narkotika jadi korban framing media

Purnama Ayu Rizky dari Magdalene, dalam diskusi forum, menyoroti bagaimana media kerap menampilkan perempuan dalam kasus narkotika sebagai pihak “bodoh” atau “terseret cinta,” tanpa memperhatikan relasi kuasa dan kekerasan.

“Judul seperti ‘pacarnya bandar’ membentuk narasi seksis yang menyalahkan perempuan,” ujarnya.

Framing media seperti ini, lanjut Ayu, berdampak pada kebijakan dan memperkuat stigma. Ia mendorong jurnalis untuk menerapkan pendekatan jurnalisme empati dan mengikuti pedoman Dewan Pers tentang peliputan perempuan dan anak.

Baca Juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika

5. Riset ganja medis masih jalan di tempat

Isu terakhir yang disoroti adalah mandeknya riset ilmiah ganja untuk kepentingan medis. Aisyah menekankan bahwa ini bukan sekadar wacana, tetapi mandat konstitusional untuk memenuhi hak atas kesehatan.

Richard dari LGN menyatakan kekecewaannya terhadap sikap lembaga-lembaga negara.

“Dalam Focus Group Discussion 2023, Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Kementerian Kesehatan belum menunjukkan sikap jelas soal siapa yang akan memimpin riset ini,” katanya.

Padahal, regulasi BRIN No. 6/2023 menetapkan bahwa seluruh riset terpadu seharusnya dijalankan oleh BRIN.

JRKN dan jaringan masyarakat sipil mendesak Pemerintah dan DPR didesak untuk tidak hanya merevisi UU Narkotika, tetapi juga mengubah paradigma: dari menghukum ke memulihkan, dari stigma ke empati, dari pembungkaman ke perlindungan hak.

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.