July 14, 2025
Issues Politics & Society

Budaya dan Bahasa Queer Diadopsi, Komunitasnya Tetap Didiskriminasi

Dari gerakan ‘Vogue Femme’ hingga bahasa ‘binan’, budaya queer telah banyak diadopsi tapi komunitasnya sendiri tetap dimarjinalkan.

  • July 2, 2025
  • 4 min read
  • 882 Views
Budaya dan Bahasa Queer Diadopsi, Komunitasnya Tetap Didiskriminasi

Dalam sejarah budaya, kelompok mayoritas kerap “meminjam” bahkan mengklaim ekspresi budaya kelompok minoritas. Tak hanya dalam konteks ras, seperti tren cornrows yang berasal dari budaya Afrika, atau scarf Skandinavia yang dianggap mengapropriasi dupatta dari Asia Selatan—apropriasi juga terjadi dalam ranah seksualitas dan gender.

Budaya queer, yang lahir dari perjuangan dan kreativitas komunitas LGBTIQ, kini banyak dikonsumsi dan dikomersialkan oleh komunitas cisgender-heteroseksual. Bahasa, gaya, dan ekspresi queer ramai diadopsi, tetapi para komunitas queer sendiri tetap menghadapi diskriminasi, pengucilan, bahkan kriminalisasi.

Baca juga: Boys Love (BL) sebagai Budaya ‘Queer’ Baru: Bagaimana Kabar di Indonesia?

Kasus terbaru datang dari dunia tari. Seorang penari Indonesia berinisial AA dikritik karena menggunakan gerakan Vogue Femme, atau Vogue, dalam ajang dance battle. Gerakan ini merupakan warisan dari skena Ballroom, ruang budaya yang diciptakan oleh komunitas transpuan dan queer kulit hitam serta Latinx di New York pada 1970-an, sebagai bentuk perlawanan terhadap rasisme dan homofobia.

Namun AA, yang diduga lelaki cisgender dan heteroseksual, menggunakan gerakan ini tanpa memahami konteksnya. Ia dituding melakukan noguing (meniru tanpa menghormati teknik dan sejarah gerakan), tampil di panggung komersial cishetero, dan menerima pujian atas sesuatu yang tidak berasal dari identitas maupun perjuangannya sendiri.

Fenomena ini bukan hal baru. Madonna pernah mempopulerkan Vogue lewat lagu berjudul sama pada tahun 1990. Meski membawa nama Ballroom ke ranah global, sorotan lebih banyak tertuju padanya sebagai artis kulit putih heteroseksual, bukan kepada komunitas queer kulit hitam dan Latinx yang menciptakan gerakan tersebut. Dalam film dokumenter Paris is Burning (1990), banyak tokoh Ballroom menyatakan betapa jauhnya pengakuan publik terhadap mereka, bahkan ketika budaya yang mereka ciptakan sudah viral.

Baca juga: Sejarah Poppers: Kontroversi Kenikmatan dan Budaya Queer dalam Botol 10ml

Bahasa queer, dari slay sampai bahasa binan

Apropriasi tidak berhenti di panggung tari. Bahasa queer juga menjadi sasaran. Kata-kata seperti slay, yas, shade, tea, dan snatched telah menyebar luas di media sosial. Istilah-istilah ini berakar dari komunitas queer kulit hitam dan Latinx di Amerika Serikat, khususnya dari skena Ballroom.

Namun kini, istilah tersebut digunakan secara luas, termasuk di Indonesia, tanpa pemahaman akan konteks asalnya. Salah satu contohnya adalah celebrity chef Vindy Lee, yang dikenal lewat penggunaan kata slay sebagai ciri khasnya. Banyak yang mengira kata tersebut populer karena dirinya, padahal istilah itu telah lama hidup di komunitas queer sebagai simbol kekuatan, keanggunan, dan perlawanan.

Menurut media PinkNews, kata “slay” yang secara harfiah berarti “membunuh”, juga dipopulerkan oleh komunitas skena Ballroom pada era 1970–1980-an di Amerika Serikat. Dalam konteks ini, “slay” mengalami pergeseran makna menjadi metafora atas penampilan yang begitu memukau hingga seolah “membunuh” siapa pun yang melihatnya. Ungkapan ini adalah bentuk pujian ekstrem sekaligus ekspresi kekuatan diri dalam ruang yang penuh penolakan.

Di Indonesia sendiri, kita memiliki bahasa binan atau omong cong, bahasa khas komunitas transpuan dan gay yang berkembang sejak 1960-an. Bahasa ini menjadi bentuk perlindungan dan identitas di tengah represi sosial. Melansir GAYa Nusantara, bahasa binan begitu dikenal hingga beberapa kosakatanya masuk kategori bahasa informal yang digunakan masyarakat umum. Dede Oetomo, aktivis hak LGBTIQ dan pendiri GAYa Nusantara, bahkan pernah menyusun kamus tata bahasa binan dalam bukunya Memberi Suara pada yang Bisu (2001).

Baca juga: ‘Closet Monster’, ‘Kado’, ‘Desert Hearts’ dan ‘Queer Media’ yang Merawat Harapan

Namun seperti di Barat, ekspresi ini juga dikomodifikasi. Selebritas seperti Syahrini terkenal dengan gaya bahasa yang lucu dan nyentrik, padahal banyak ekspresi yang ia gunakan berasal dari lingkar queer yang tidak terlihat di layar. Bahasa binan dikutip, ditiru, bahkan dimonetisasi, tapi eksistensi para penciptanya tetap tidak dianggap setara.

Apakah ini satu-satunya ekspresi budaya queer yang diapropriasi komunitas mayoritas? Jelas tidak. Apakah akan berhenti di sini? Tampaknya belum. Akhir pekan lalu (28/6), penari AA kembali membawakan gerakan Vogue Femme di panggung tari komersial, meskipun sudah mendapat edukasi dan teguran dari komunitas Ballroom regional Indonesia.

Sepertinya perlu satu seri tulisan khusus untuk mengurai bentuk-bentuk apropriasi budaya queer yang terus terjadi. Namun yang jelas, contoh-contoh di atas seharusnya cukup menjadi pengingat bahwa budaya queer bukan sekadar tren untuk dikonsumsi. Ia lahir dari ruang-ruang resistensi dan tubuh-tubuh yang rentan, penuh perjuangan untuk eksistensi.

Ironisnya, saat bahasa, gaya, dan ekspresinya menjadi estetika populer, komunitas queer sendiri tetap mengalami stigma dan diskriminasi. Apropriasi ini bukan sekadar soal meniru, tapi tentang ketimpangan kuasa—saat kelompok mayoritas bebas mengambil tanpa memahami, apalagi membela. Maka yang dibutuhkan bukan hanya pengakuan, tapi solidaritas dan tanggung jawab. Jangan ambil ekspresinya jika kamu tidak berdiri bersamanya.



#waveforequality
About Author

Jelita A. Rembulan