July 14, 2025
Lifestyle

‘Kidulting’: Merawat Anak Kecil dalam Diri di Tengah Sulitnya jadi Dewasa 

Di tengah tekanan hidup dan ketidakpastian, ‘kidulting’ bisa menjadi cara untuk merawat diri lewat nostalgia masa kecil.

  • July 3, 2025
  • 4 min read
  • 369 Views
‘Kidulting’: Merawat Anak Kecil dalam Diri di Tengah Sulitnya jadi Dewasa 

Pernah enggak, kamu lihat orang dewasa masuk toko mainan dengan antusias bukan buat anaknya, tapi buat dirinya sendiri? Di Pop Mart misalnya, antrean panjang untuk membeli plush doll seperti Labubu justru didominasi oleh orang dewasa. Di Miniso atau OH!SOME juga serupa. Pengunjung dewasa tak hanya membeli perlengkapan rumah atau peralatan rias wajah, tapi juga membawa pulang boneka lucu atau satu set lego.

Fenomena ini meluas ke berbagai ruang. Tempat bermain berisi trampolin, kolam bola, dan perosotan kini dilabeli “adult-friendly” dan ramai dikunjungi dewasa untuk bermain atau sekadar nostalgia. Bahkan KidZania, yang dulu dikenal sebagai kota anak-anak, kini sering didatangi orang dewasa yang ingin menjajal profesi masa kecil seperti petugas pemadam kebakaran atau koki.

Baca Juga: Sedikit-sedikit ‘Mindfulness’, Apa Kata Ahli Tentang itu?

Fenomena ini dikenal sebagai kidulting, gabungan kata kid (anak-anak) dan adult (orang dewasa). Istilah ini pertama kali muncul dalam artikel The Times yang berjudul “Coming Soon: TVs New Boy Network” (11 Agustus 1985). Saat itu, maknanya merujuk pada anak-anak yang berperilaku seperti dewasa, dan orang dewasa yang bertingkah kekanak-kanakan.

Meskipun bukan istilah resmi dalam psikologi, Nirmala Ika, psikolog klinis, menjelaskan bahwa konsep ini bisa dijelaskan lewat teori Transactional Analysis dari Eric Berne. Dalam teori ini, tiap orang punya tiga bagian ego (kepribadian) dalam dirinya, yakni orang tua, dewasa, dan anak-anak. Kidulting adalah ekspresi dari bagian anak-anak, sisi diri yang ingin bermain dan bersenang-senang.

“Prinsip kidulting itu mengarah pada perilaku dewasa yang mengaktifkan sisi anak-anak, bagian di mana kita having fun. Ini normal-normal saja karena ketiga bagian itu harus seimbang,” jelas Nirmala pada Magdalene.

Ia menambahkan bahwa dorongan ini berkaitan erat dengan inner child, atau bagian diri yang terbentuk dari pengalaman masa kecil. Banyak dari kita menyimpan kenangan akan mainan atau aktivitas tertentu, dan saat dewasa, ada keinginan untuk menghidupkan kembali kenangan itu.

Dengan kebebasan finansial yang lebih besar (adult money), tidak mengherankan jika banyak pembeli di toko mainan adalah orang dewasa. Data dari Asosiasi Industri Mainan Amerika Serikat (2021) menunjukkan bahwa 58 persen orang dewasa membeli mainan untuk diri sendiri. Laporan terbaru dari perusahaan riset pasar Circana (2024) bahkan menyebut bahwa konsumen usia 18 tahun ke atas menghabiskan US$1,5 miliar hanya untuk mainan selama Januari–April, mengalahkan kelompok anak usia 3–5 tahun sebagai pasar utama industri mainan.

Baca Juga: Ada Bias Kelas dalam Maraknya ‘Wellness Industry’

Kidulting: Antara nostalgia dan pelarian

Meski semua orang memiliki sisi kanak-kanak dalam dirinya, fenomena kidulting perlu dilihat dari lensa sosial yang lebih luas. Ini bukan sekadar keinginan bermain, tapi juga respons terhadap tekanan hidup dan ketidakpastian masa kini.

Menurut Nirmala, selama pandemi COVID-19, banyak orang dewasa menghadapi stres, kehilangan rutinitas, dan rasa tidak berdaya. Dalam situasi itu, kenangan masa kecil memberikan rasa aman yang familiar.

“Memori masa kecil memberi rasa nyaman. Kita beli mainan atau kembali bermain karena dulu itu jadi aktivitas menyenangkan dan membuat kita merasa aman,” ujar Nirmala.

Kondisi ini berlanjut di tengah ketidakpastian ekonomi yang masih membayangi. Dengan penghasilan sendiri, banyak orang dewasa akhirnya membeli benda-benda yang dulu hanya bisa mereka impikan. Ini menjadi semacam bentuk pemenuhan emosi sekaligus mekanisme menenangkan diri.

Psikolog dan pakar nostalgia, Clay Routledge, dalam wawancaranya dengan New Humanist, menyebut nostalgia sebagai mekanisme koping yang kuat. Ia menyebut bahwa ketika seseorang mengalami stres atau gangguan psikologis, nostalgia dapat memicu peningkatan suasana hati, rasa harga diri, dan makna hidup.

Baca Juga: Apa itu ‘Mindful Consumption’: Agar Tentram Lahir Batin Saat Belanja

Meski kidulting bisa menjadi bentuk perawatan diri yang sehat, Nirmala mengingatkan bahwa jika dilakukan tanpa kesadaran, ia bisa menjadi pelarian yang merugikan.

“Masalah muncul kalau kita mulai mengabaikan tanggung jawab. Misalnya sampai bela-belain cuti kerja cuma buat antre beli Labubu dari malam. Ada yang salah jika kita melihat itu (kidulting) lebih berharga dari yang lain,” katanya.

Dalam kondisi seperti itu, kidulting berubah dari self-care menjadi escapism yang tidak sehat. Ketika dilakukan semata-mata untuk lari dari kenyataan dan justru mengganggu kewajiban, maka efek jangka panjangnya bisa negatif, termasuk pada finansial dan relasi sosial.

Agar tidak terjebak dalam konsumsi impulsif, Nirmala menyarankan pendekatan mindful shopping atau berbelanja dengan kesadaran. Caranya: buat daftar kebutuhan, tetapkan anggaran, dan tanyakan pada diri sendiri apakah pembelian itu memberi nilai bagi kehidupan, bukan hanya memuaskan keinginan sesaat.



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.