Issues Politics & Society

Resesi Seks di Jepang dan Korea Selatan, Benarkah Salah Perempuan?

Jepang dan Korea Selatan mengalami penurunan angka kelahiran yang tajam. Banyak orang menyalahkan perempuan karena tak mau punya anak.

Avatar
  • April 17, 2023
  • 11 min read
  • 3206 Views
Resesi Seks di Jepang dan Korea Selatan, Benarkah Salah Perempuan?

Belakangan, masyarakat Indonesia ramai-ramai membicarakan resesi seks. Salah satunya, akun @Strategi_Bisnis, (2/4) mengutip pemberitaan CNBC Indonesia soal maraknya penutupan sekolah di Jepang akibat depopulasi atau penyusutan jumlah penduduk. Ini semua adalah imbas dari resesi seks.

Mengutip jurnal The Atlantic, istilah resesi seks merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual negara yang berdampak pada rendahnya angka kelahiran. Resesi seks jadi fenomena sosial di berbagai belahan dunia, terutama negara maju seperti Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan.

 

 

Di Jepang dikutip dari CNN World, hanya ada 799.728 kelahiran pada 2022. Ini jumlah terendah dalam catatan dan berkurang hampir setengahnya dalam 40 tahun terakhir, kata Kementerian Kesehatan setempat.

Sementara di Korea Selatan, penurunan angka kelahiran terjadi sejak 2015. Sebaliknya, angka kematian jauh lebih banyak ketimbang kelahiran. Pada 2022, negara ini mencatat sekitar 249.000 kelahiran dan 372.800 kematian.

Menariknya, di tengah pembahasan soal resesi seks, akun macam @Strategi_Bisnis justru berbalik “menyentil” pilihan perempuan yang memutuskan untuk childfree. Sentilan ini kemudian banyak direspons oleh warganet dengan pendapat serupa.

Mereka menyalahkan penurunan angka kelahiran akibat pilihan “egois” perempuan untuk tak punya anak apalagi menikah. Dalam hemat mereka, perempuan yang bisa melahirkan seharusnya mengemban tugasnya dengan baik sebagai ibu agar depopulasi tidak terjadi.

Namun, apakah benar resesi seks di Jepang dan Korea Selatan murni salah perempuan? Apa alasan sebenarnya yang membuat masyarakat Jepang, terutama perempuan enggan berhubungan seksual dan memiliki anak?

Baca Juga: Restitusi Korban Kekerasan Seksual dan ‘Victim Trust Fund’ Masih Perlu Dipantau

Kondisi Sosial Ekonomi yang Membebankan Generasi Muda

Menurut jurnal Korean J Women Health Nurs (2018-2021), 81,7 persen orang Korsel termasuk 67 persen orang berumur 20-an, menganggap jadi orang tua adalah bagian tak penting dalam hidup. Dalam tulisan Kyung Ae Cho, Sekretaris Asosiasi Kependudukan, Kesehatan, dan Kesejahteraan Korea itu juga disebutkan, pergeseran pandangan ini disusul dengan kenaikan jumlah penduduk lajang di Korea Selatan.

Pada 2018, mayoritas warga Korea Selatan berusia 20-44 tahun masih lajang. Hanya 26 persen lelaki dan 32 persen perempuan di antaranya yang berpacaran, kata Institut Kesehatan dan Sosial Korea (KIHSA). Lebih lanjut, di antara mereka yang tidak berpacaran, 51 persen lelaki dan 64 persen perempuan, memilih untuk tetap melajang.

Buat anak muda di Korea Selatan, fenomena ini sudah jadi hal lumrah. Mereka adalah samposedae alias generasi yang menyerah pada tiga hal: Pacaran, menikah, dan punya anak. Hal ini dilatarbelakangi oleh tekanan sosial dan masalah ekonomi, seperti meningkatnya biaya hidup, pembayaran uang sekolah, kelangkaan tempat tinggal yang terjangkau, dan persaingan kerja yang ketat.

CNN World melaporkan tingkat pengangguran di negara ini terus meningkat dalam 17 tahun terakhir. Pada 2018, tingkat pengangguran kaum muda jauh lebih tinggi, yaitu 10,8 persen untuk mereka yang berusia 15 hingga 29 tahun.

Karena sifat pasar kerja yang sangat kompetitif, banyak anak muda akhirnya menghabiskan waktu dan uang untuk mendaftar di sekolah-sekolah kejar paket. Semua dilakukan demi mendapatkan sertifikat tambahan atau keterampilan profesional, sehingga lolos wawancara dengan calon bos.

Sayangnya, usaha ini tak cukup membuahkan hasil. Dalam survei 2019 oleh perusahaan rekrutmen JobKorea, hanya satu dari 10 lulusan siswa tahun itu yang telah menemukan pekerjaan penuh waktu. Ini lantas membuat anak muda di Korea tak hanya kesulitan membiayai hidup dan menabung untuk diri sendiri, tetapi juga menjauhkan kesempatan untuk punya hubungan romansa.

Apalagi menurut temuan riset pasar Embrain pada 2019, sebanyak 81 persen responden mengaku, biaya kencan adalah sumber stres terbesar. Setengahnya mengatakan, meskipun bertemu dengan gebetan, mereka tidak akan mulai berkencan jika situasi ekonomi tidak kunjung membaik.

Situasi yang dihadapi generasi muda Korea tak jauh berbeda dengan Jepang. Ini terlihat dari munculnya istilah Satori Sedai atau Generasi Satori pada 2010. Mereka adalah generasi muda yang mencapai kondisi tercerahkan dalam agama Buddha, bebas dari keinginan materi, melepaskan ambisi, karena tren makro-ekonomi di negaranya sendiri.

Rouli Esther Pasaribu, Dosen Program Studi Jepang FIB Universitas Indonesia menjelaskan, anak muda Jepang kini semakin sulit mendapatkan pekerjaan yang stabil. Ini tak lepas dari sejarah perekonomian Jepang yang pernah mengalami stagnasi yang disebabkan oleh runtuhnya gelembung harga aset pada akhir tahun 1991. Atau umum disebut sebagai Dekade yang Hilang (Ushinawareta Jūnen).

Pada 1960-an hingga 1980-an, Jepang mencapai salah satu tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Pada era ini, masyarakat Jepang terutama laki-laki punya jaminan ekonomi berupa pekerjaan seumur hidup. Maksudnya, mereka bisa bekerja di satu perusahaan sampai mereka pensiun tanpa mengalami mutasi kerja.

“Dulu orang Jepang kalau masuk perusahaan, ya mereka akan kerja keras saja sampai pensiun. Tidak usah khawatir akan dipecat. Tetapi ketika lost decade ini terjadi lalu ada resesi maka restrukturisasi menjadi mungkin di perusahaan-perusahaan Jepang,” jelas Rouli.

“Ini tentu membuat jaminan ekonomi yang selama ini dituju oleh laki-laki juga perempuan dalam pernikahan yang diminta jadi ibu rumah tangga jadi buyar. Bekerja di perusahaan saat ini lebih banyak tantangan-tantangannya. Mereka tidak berani berkeluarga karena tidak yakin pilihan ini bisa memberikan kepastian ekonomi buat mereka,” imbuhnya.

Tak adanya lagi jaminan pekerjaan seumur hidup, ujar Rouli, juga diperparah dengan kenaikan harga dan biaya hidup yang lebih tinggi di Jepang. Data Bank Teikoku yang dikutip langsung dari BBC melaporkan harga lebih dari 10.000 item makanan di Jepang naik rata-rata 13 persen pada 2022. Dampak kenaikan ini adalah perusahaan-perusahaan memilih tidak menaikkan gaji karyawannya.

Inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi Jepang terus stagnan. Menurut penulis artikel Mariko Oi, produk domestik bruto per kapita Jepang atau output ekonomi negara per orang tetap terjebak pada tingkat yang sama sejak tahun 1990-an.

Baca Juga: Atas Nama Baik Pesantren Jombang, Kekerasan Seksual Dipinggirkan

Dimensi Gender dalam Resesi Seks di Jepang dan Korea Selatan

Selain terkait dengan kondisi sosial ekonomi negara, resesi seks khususnya di Jepang menurut Rouli juga terjadi karena perubahan pemenuhan kebutuhan seksual non-konvensional. Maksudnya, pemenuhan kebutuhan seksual tak cuma dilakukan lewat hubungan seksual langsung yang bisa mengakibatkan kehamilan.

Pernyataan Rouli didukung oleh fakta lapangan yang dikemukakan Masahiro Yamada, profesor dari Universitas Chuo. Yamada kepada South China Morning Post mengungkapkan, banyak generasi muda Jepang kini justru memenuhi kebutuhan seksual dengan mengunjungi host dan hostess clubs serta kafe pelayan dan ini sering kali berujung pada hubungan.

Sebagian lainnya menurut Yamada lebih memilih keintiman virtual, misalnya dengan karakter-karakter anime, atau menyukai “ikon-ikon” budaya pop, yang populer karena penampilan mereka. Bahkan menurut sejumlah media, ditemukan ada peningkatan permintaannya di kalangan perempuan Jepang untuk mainan seks dan film porno yang berpusat pada perempuan.

Hal yang senada juga disampaikan oleh Ai Aoyama, konselor seks dan relasi dari Jepang dalam The Guardian. Aoyama bilang, laki-laki dan perempuan di kota-kota besar Jepang, “semakin menjauh satu sama lain”. Mereka banyak beralih menjalani “cinta Pot Noodle” atau kepuasan yang mudah dan instan. Misalnya dalam bentuk seks bebas, kencan jangka pendek, dan teknologi yang biasa digunakan: Pornografi online, “pacar” virtual, anime. Mereka juga memilih untuk tidak melakukannya sama sekali dan mengganti cinta dan seks dengan hiburan urban lainnya. 

Selain karena pemenuhan kebutuhan seksual non-konvensional, resesi seks ternyata tak lepas dari nilai-nilai patriarki yang mengakar kuat di Jepang dan Korea. Ini membuat ketidakadilan dan diskriminasi gender jadi tantangan sehari-hari yang harus dihadapi para perempuan. Rouli menerangkan, di Jepang tertanam kuat norma perempuan ideal, ryousai kenbo, atau istri yang bijak dan ibu yang bijaksana.

“Ideologi dari norma ini ditanamkan secara massif. Pemerintah saat Perang Dunia II ikut turun tangan. Mereka mendirikan sekolah khusus perempuan di mana perempuan di situ diajarkan bagaimana menjadi ibu dan istri yang baik. Ini yang akhirnya terinternalisasi. Bahwa gambaran ideal dari perempuan berkeluarga. Melahirkan dan membesarkan anak,” jelas Rouli.  

Rouli menyayangkan norma yang ketinggalan zaman ini masih diamini oleh banyak masyarakat Jepang. Tak heran akhirnya diskriminasi terhadap perempuan marak terjadi. Matahara (gabungan dari maternity harassment) menurut Rouli adalah salah satu contohnya. Matahara sendiri mengacu pada perlakuan tidak adil terhadap pekerja perempuan yang tengah hamil, melahirkan, dan pascamelahirkan.

Menurut hasil survei yang dirilis oleh Konfederasi Serikat Buruh Jepang pada 2015, satu dari setiap lima (20,9 persen) perempuan pekerja di Jepang pernah mengalami matahara. Matahara terwujud dalam beberapa jenis tindakan termasuk di dalamnya perundungan, pelecehan kuasa (power harassment), dan perumahan paksa. Dalam perundungan, kalimat seperti “Kamu menyebabkan banyak masalah,” “Kamu sangat beruntung bisa ambil cuti,” dan “Kamu egois,” adalah yang paling jamak digunakan.

Matahara juga dilakukan oleh atasan perempuan pekerja melalui power harassment. Dengan otoritas di kantor, para atasan merasa berhak mengontrol tubuh perempuan, termasuk meminta mereka menggugurkan kandungan atau tidak memberikan kelonggaran pekerjaan. Dalihnya, setiap orang harus bekerja semaksimal mungkin untuk perusahaan, tak peduli bagaimanapun kondisinya.

Matahara ini berdampak pada partisipasi perempuan di angkatan kerja. Dilansir dari Jstor Daily, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja di Jepang 63 persen jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara kaya lainnya. Ketika perempuan memiliki anak pertama, 70 persen dari mereka berhenti bekerja selama satu dekade atau lebih. Hal ini tak lain karena perempuan di Jepang masih terus diekspektasikan untuk mengemban tugas mengasuh anak dan mengurus pekerjaan domestik seorang ini.

Ekspektasi gender ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Kantor Kabinet baru-baru ini. Survei yang dikutip oleh Japan Times itu menemukan bahwa lebih dari 80 persen orang Jepang percaya bahwa perempuan terbebani dengan menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga seorang diri.

Dengan beban inilah maka tak heran dalam laporan Kementerian Kesehatan Jepang, banyak dari ibu pekerja di Jepang berada dalam posisi yang relatif tidak stabil. Tahun 2021, 37 persen ibu pekerja memiliki pekerjaan tidak tetap yang sering kali bersifat paruh waktu dan tidak memiliki tunjangan. Ini dikarenakan di berbagai perusahaan, produktivitas selalu diasosiasikan dengan laki-laki yang tak punya peran dan beban biologis dan beban peran gender mereka terlalu berat untuk membuat mereka bertahan di angkatan kerja.

Tak berbeda jauh dengan di Jepang, menurut Prof. Park Gyeong Suk dari Seoul National University dalam Sebasi Talk penurunan angka kelahiran akibat resesi seks tak bisa lepas dari diskriminasi terhadap perempuan di Korea Selatan. Banyak perempuan di Korea Selatan memilih untuk tidak menikah atau menikah tidak ingin punya anak.

Dengan mewawancarai beberapa perempuan 30-an di Myeongmun-dae, ia menemukan para perempuan pekerja yang sudah menikah terpaksa resign bekerja karena harus fokus membesarkan dan mendidik anak mereka. Karier yang sudah dibangun susah-susah oleh perempuan harus dilepas dan mereka menjadi ibu rumah tangga penuh waktu.

Pembebanan sepihak ini jika dikutip dari penelitian Gender Issues and Confucian Scriptures (2008) tak lepas dari mengakarnya nilai-nilai konfusianisme yang berbasis pernikahan dan keluarga, dengan penekanan peran gender tradisional. Keluarga dalam hal ini jadi tanggung jawab dan tugas wajib perempuan.

Nilai-nilai ini tak sejalan dengan perubahan di mana perempuan Korea Selatan umumnya berpendidikan tinggi dan bekerja di perusahaan ternama. Pada akhirnya, perempuan terus dipaksa memilih pilihan ekstrem. Menikah dan berkeluarga tapi melepas karies, atau melajang dan tidak memiliki anak tapi bisa terus menggeluti karier.

Lingkungan sosial yang masih patriarkis ini kemudian juga diperparah dengan biaya hidup yang semakin naik dan persaingan angkatan kerja yang semakin ketat. Maka tak heran menurut Park banyak perempuan Korea Selatan memilih untuk melajang dan tak memiliki anak.

Menariknya pilihan perempuan Korea Selatan untuk melajang, tidak berhubungan seks, dan memiliki anak juga ditengarai karena kekerasan berbasis gender sistemik yang harus mereka alami. The Cut dalam artikel mereka berjudul A World Without Men: Inside South Korea’s 4B Movement dijelaskan bagaimana banyak perempuan Korea Selatan semakin muak dengan laki-laki.

Ini tak lain karena perempuan Korea Selatan sehari-hari harus berhadapan dengan banyak kekerasan, termasuk femisida, Kekerasan Berbasis Gender (KBGO), kekerasan dalam berpacaran, molka atau kejahatan seks melalui kamera pengintai (spy cam), yang mayoritas besar dilakukan oleh laki-laki terus melonjak naik. Namun, tak mendapatkan penanganan serius dari pihak berwajib atau pemerintah.

Bahkan laki-laki sendiri banyak tak merasa bersalah atau menerima kepuasan melakukan kekerasan ini. Hal yang terlihat dari pesatnya gerakan anti feminis di Korea Selatan (salah satu komunitas daring anti feminis Ilbe yang berisi anggota laki-laki, dilansir dari The Atlantic menerima sekitar 20 juta kunjungan setiap bulannya) dan penyerangan langsung pada perempuan yang mereka anggap sebagai feminis.

Baca juga: Predator Seksual itu Berlindung di Balik Jubah Gereja

Menghadapi situasi ini, sebuah gerakan 4B pun muncul di kalangan para perempuan Korea Selatan. 4B sendiri adalah singkatan dari empat kata dalam Bahasa Korea yang semuanya dimulai dengan bi-, atau “tidak”. Tidak yang pertama, bihon, adalah penolakan terhadap pernikahan heteroseksual. Bichulsan adalah penolakan terhadap persalinan, biyeonae adalah menolak berpacaran, dan bisekseu adalah penolakan terhadap hubungan seksual heteroseksual.

Gerakan ini adalah sikap ideologis dan gaya hidup, tulis The Cut. Bagi banyak perempuan Korea Selatan, gerakan ini diperluas untuk hampir semua laki-laki dalam hidup mereka, termasuk menjauhkan diri dari teman-teman laki-laki. Cara ini menurut Jeong, sarjana yang menulis tesis doktoralnya tentang feminisme troll, membuat perempuan yang berkomitmen pada 4B umumnya hidup dengan cara bekerja keras.

“Mereka tahu tidak akan memiliki laki-laki atau suami yang mencari nafkah,” kata Jeong.

Kesadaran ini pun membuat kelompok-kelompok dalam gerakan 4B ini mengadakan acara dengan pakar keuangan pribadi untuk membantu perempuan belajar menabung dan berinvestasi.

Subkelompok dari komunitas daring “WITH” (singkatan dari “Women in the Hell”, yang merupakan julukan untuk Korea) contohnya, secara khusus memberikan ruang bagi anggota untuk saling berbagi daftar lowongan kerja, saran tentang bank mana yang menawarkan suku bunga terbaik, dan tips keuangan lainnya.

Han, guru Matematika yang menjalankan perusahaan bimbingan belajarnya sendiri di Daegu, percaya, seiring dengan meningkatnya kekuatan ekonomi kolektif perempuan, maka naik pula kekuatan politik mereka.

“Ketika perempuan lebih berpengaruh secara ekonomi, maka ada kemungkinan partai politik akan mendengarkan perempuan sebagai pemilih penting,” tambah Han.

“Namun sampai saat itu terjadi, saya merasa perempuan masih akan dimanfaatkan. Tubuh mereka akan dimanfaatkan untuk bereproduksi.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *