Screen Raves

Review ‘Don’t Worry Darling’: Hidup yang Didamba Para Misoginis di Kota Utopis

Menceritakan tentang kehidupan di sebuah kota utopis, 'Don’t Worry Darling' menyorot laki-laki misoginis yang mengopresi perempuan dari haknya.

Avatar
  • October 17, 2022
  • 7 min read
  • 3439 Views
Review ‘Don’t Worry Darling’: Hidup yang Didamba Para Misoginis di Kota Utopis

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler

Sebagai penggemar Harry Styles garis keras, kebahagiaan saya enggak terbendung ketika Deadline mengumumkan, Styles akan membintangi Don’t Worry Darling (2022) pada 2020 silam. Pasalnya, ia akan menjadi salah satu pemeran utama dalam film bergenre psychological thriller tersebut.

 

 

Setelah menantikan selama dua tahun—ditambah drama di balik layar yang bikin makin penasaran, saya menemukan satu kesimpulan. Karakter Styles sebagai Jack Chambers, adalah pemanis sekaligus red flag dalam film Don’t Worry Darling.

Namun, tulisan ini enggak akan mengupas karakter Jack secara langsung, melainkan menggarisbawahi kehidupan di Victory. Kota utopis di Amerika Serikat yang menjadi latar di film ini, justru menyorot kehidupan yang sempurna dari sudut pandang misoginis.

Don’t Worry Darling menceritakan tentang kehidupan Jack dan Alice Chambers (Florence Pugh) di Victory. Kehidupan mereka tampak begitu sempurna, seperti pasangan yang berada dalam honeymoon phase, 24 jam dalam seminggu.

Setelah seharian beraktivitas, misalnya, Alice senantiasa menyambut Jack yang pulang bekerja. Di waktu luangnya, mereka bersosialisasi dengan warga Victory lainnya di pesta maupun country club, sambil bergosip dan menyesap cocktail.

Dengan latar 1950-an, film ini menampilkan peran gender yang begitu kental. Sebab, pada tahun tersebut di Amerika Serikat (AS), laki-laki ditekankan sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah—terutama pasca Perang Dunia II. Lalu, perempuan diharapkan mengurus anak dan rumah tangga.

Pembagian peran gender mencerminkan potret keluarga nuklir yang sempurna. Citra itu sekaligus dimanfaatkan untuk menghilangkan penyebaran komunisme di AS, yang dinilai mengancam demokrasi. Bahkan, televisi ikut menayangkan iklan tentang perempuan yang bahagia saat melaksanakan tanggung jawabnya.

Realitas tersebut turut ditampilkan lewat karakter-karakter perempuan dalam Don’t Worry Darling. Setiap pagi, mereka berdiri di pekarangan rumah untuk mengantar para suami bekerja, dan semakin dipertajam lewat aktivitas Alice. Ia terlihat senang melakoni perannya sebagai ibu rumah tangga.

Aktivitasnya setiap hari dimulai dengan mempersiapkan sarapan dan bekal untuk Jack, menyikat bath tub, membersihkan karpet, dan mengelap jendela. Kemudian, Alice memasak makan malam sebelum Jack pulang kerja, diikuti dengan berhubungan seksual.

Sementara kegiatan Jack tidak banyak ditampilkan, selain pergi bekerja. Yang jelas, sebagai laki-laki ia dipotret sama sekali tidak bisa menyentuh pekerjaan domestik. Terbukti dari adegan Jack yang ingin memasak untuk Alice, tapi justru mengacaukan dapur. Begitu pula dengan ucapan Frank (Chris Pine) di sebuah adegan.

“Kami (laki-laki) banyak meminta kekuatan dari perempuan; bahu untuk bersandar, menyediakan makanan, membersihkan rumah, dan kebijaksanaan. Itu semua bukan hal yang mudah,” ujar Frank.

Namun, peran gender saja belum cukup menampilkan realitas kehidupan pada 1950-an yang misogini. Lebih dari itu, suara perempuan dalam Don’t Worry Darling dianggap mengancam sehingga harus dibungkam. Sebab, enggak ada yang diharapkan dari perempuan selain melakukan pekerjaan domestik, dan tunduk terhadap laki-laki.

Sumber: IMDB

 

Baca Juga: ‘The Most Hated Man on the Internet’: Tangan-tangan Misogini di Jagat Maya

Trope Mad Woman dan Citra Perempuan yang Mengancam

Dalam Don’t Worry Darling, Alice digambarkan mengalami berbagai peristiwa janggal yang hanya dilaluinya. Contohnya pesawat jatuh di dekat markas besar Victory, dan menyaksikan sahabatnya—Margaret (KiKi Layne)—yang melakukan percobaan bunuh diri.

Ia menceritakan kedua kejadian tersebut pada Jack, tapi tak satu pun dipercaya. Jack menginvalidasi pengalaman Alice, dengan mengatakan tidak ada kecelakaan pesawat dan Margaret baik-baik saja lantaran hanya tergelincir.

Respons Jack justru membuat Alice menyadari, ada sesuatu yang aneh di Victory. Termasuk pekerjaan Jack yang dirahasiakan. Namun, ketika ia berusaha mengutarakannya pada Jack, Alice malah diminta untuk tidak histeris.

Begitu juga ketika Alice mengonfrontasi Frank sebagai dalang di balik keanehan itu, membuat Alice dicap memiliki psikosis.

Invalidasi yang dilakukan Jack dan Frank menciptakan trope mad woman pada karakter Alice. Istilah tersebut digunakan dalam film ataupun serial televisi, untuk menggambarkan karakter perempuan yang histeris, irasional, dan punya gangguan jiwa.

Namun, dalam budaya populer sekarang, trope mad woman lebih menjelaskan perempuan yang pengalamannya tidak divalidasi, atau dianggap sebagai penjahat dalam suatu cerita. Hal itu dilakukan karena karakter perempuan yang dinilai berbahaya dan mengancam laki-laki.

Ciri-ciri itu muncul pada Alice. Sejak mengetahui Alice curiga dengan rencana besarnya di Victory, Frank berusaha membungkam perempuan tersebut dengan memainkan isu penyakit mental. Tentunya agar tidak ada yang memercayai Alice, sehingga rahasianya tidak terbongkar. Hal ini semakin melanggengkan stereotip perempuan yang lekat dengan gangguan jiwa.

Kondisi serupa juga terjadi pada Margaret, yang kerap mempertanyakan kehidupan mereka di Victory. Sayangnya, para warga lebih memercayai penjelasan Frank dan seorang dokter, yang menyatakan Margaret memiliki gangguan psikologis akibat kehilangan anaknya.

Lagi pula, para perempuan di Victory tampaknya enggak bersikap skeptis terhadap realitas mereka. Yang penting, dengan tidak mempertanyakan pekerjaan pasangannya, mereka telah mendukung para suami dalam mengubah tatanan dunia.

Pembungkaman Alice dan Margaret itu mencerminkan citra laki-laki sebagai penguasa di Victory. Mereka satu-satunya pihak yang berhak berbicara, dan mengatasnamakan keselamatan dan kelayakan hidup demi merahasiakan pekerjaannya—sekaligus membungkam perempuan.

Namun, larangan untuk bersuara bukanlah satu-satunya hak perempuan, yang dirampas dalam film garapan Olivia Wilde ini. Sebab, mereka telah kehilangan haknya untuk menentukan pilihan dalam hidup.

Sumber: IMDB

 

Baca Juga: Kacamata ‘Male Gaze’ dalam Film ‘Selesai’

Hilangnya Hak Perempuan

Too good to be true. Sepertinya itu ungkapan yang tepat diutarakan, ketika melihat kondisi di Victory dalam Don’t Worry Darling. Dari gaya hidup dan cara para perempuan berpakaian saja—yang mirip dengan karakter perempuan di The Stepford Wives (2004)—sudah melambangkan status sosial mereka.

Akan tetapi, di balik kenyamanan yang ditawarkan, ada sesuatu yang harus dibayar, yaitu hak perempuan. Sebagian dari mereka “pindah” ke kota tersebut tanpa sepengetahuan, maupun persetujuannya. Termasuk Alice.

Ketika Alice mengetahui Victory bersifat utopis, ia menyadari kehidupan yang sebenarnya telah direnggut oleh Jack. Ternyata, Jack adalah sosok misoginis, yang mendambakan kehidupan ideal versinya: laki-laki yang bekerja, perempuan tinggal di rumah, dan berkecukupan secara finansial.

Pasalnya, di kenyataan yang terlihat seperti abad ke-21, Jack adalah pengangguran yang menyandarkan hidup pada Alice, yang bekerja sebagai dokter bedah. Karena itu, bagi Jack, Victory menawarkan kesempurnaan. Mereka hidup bahagia dan layak, bertolak belakang dengan realitas.

“Aku yang memberikanmu semua ini, Alice,” teriak Jack, ketika Alice menganggapnya telah merebut kehidupannya.

Keegoisan Jack, dan “peraturan” di Victory, merupakan dampak dari laki-laki yang merasa berhak mengendalikan hidup perempuan. Laki-laki mengejar kesempurnaan untuk dirinya, dengan asumsi kecukupan finansial otomatis menyejahterakan pasangannya.

Ini perkara perempuan yang tidak diberikan hak untuk memilih atas hidupnya. Satu-satunya cara untuk menjadi perempuan adalah melakukan pekerjaan domestik, dan patuh terhadap laki-laki. Sebuah kondisi yang membuat perempuan kehilangan identitasnya, karena hanya bisa menjadi istri dan ibu.

Kondisi itu tentunya salah satu hasil dari budaya patriarki, di mana laki-laki masih menjadi pemeran utama. Baik dalam perannya di rumah tangga, maupun menyangkut kepentingan publik. Mereka merasa terancam ketika kedudukannya setara dengan perempuan. Alhasil, yang dilakukan adalah merendahkan perempuan dengan membatasi pilihan mereka.

Misalnya lewat karakter Frank, sang pemilik Victory Project yang merancang segala sesuatu yang terjadi di kota itu. Warga Victory enggak lebih dari boneka. Bahkan, istrinya sendiri dijadikan kaki tangan untuk mengontrol para perempuan lain, lewat kedudukan Frank yang secara tidak langsung memberikannya kekuatan.

Atau Peg (Kate Berlant), salah satu warga Victory yang sedang hamil. Berkaca dari pengalamannya sebagai perempuan yang dipandang lebih rendah, ia mengharapkan seorang anak laki-laki. Dengan kata lain, perempuan tidak memiliki hak atas kesempatan hidup yang sama.

Baca Juga: Diserang Wibu Misoginis, Ini Pelajaran yang Bisa Saya Tarik

Don’t Worry Darling Adalah Film dengan Alur Berlubang

Terlepas dari isu gender yang kental dan cukup memikat, durasi 123 menit ternyata enggak membuat alur Don’t Worry Darling sepadan dengan hebohnya drama di balik layar. Saya enggak memungkiri, storyline yang ditawarkan cukup menarik. Sayangnya, alur yang kebanyakan berfokus di kehidupan utopis, menciptakan banyak plot hole. Bahkan, sampai di akhir film.

Terlihat di sini Wilde menawarkan open ending, dengan harapan penonton menganggap Alice berhasil menyelamatkan diri. Tapi, enggak ada yang tahu pasti apa yang terjadi ketika Alice menyentuh jendela markas besar Victory.

Apakah kehidupannya di Victory dimulai dari awal? Atau kembali ke profesinya sebagai dokter bedah?

Itu hanya satu dari sejumlah kekosongan yang seharusnya bisa terjawab, jika film ini tidak begitu tergesa menyelesaikan konflik dalam 20 menit di akhir cerita. Pun permasalahannya terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan sempurna dalam waktu singkat. Mungkin, karakter Margaret sebagai orang yang pertama kali mengenali kejanggalan di Victory, bisa mendapatkan screen time lebih panjang.

Namun, terlepas dari alurnya yang berlubang, saya ingin mengapresiasi Wilde yang menyisipkan pesan pemberdayaan perempuan, meskipun dalam hitungan menit. Yakni lewat adegan Alice yang tampaknya berhasil membebaskan diri dari Victory, dan pilihan Bunny—karakter yang diperankan Wilde—untuk menetap di kota tersebut karena ingin menjadi seorang ibu.

Begitu juga dengan Florence Pugh, pemeran utama yang “membawa” seluruh tim dengan penampilan yang mengagumkan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *