Review ‘Everything Everywhere All at Once’: Ledakan Multisemesta ala Duo Daniels
Relasi ibu dan anak perempuannya dijabarkan lewat petualangan multisemesta. Membingungkan, tapi amat segar.
Saya ingat, 2016 lalu pernah ditanya editor: Dari semua film yang sedang tayang saat itu, mana yang paling saya suka?
Ia terkejut dan mengernyitkan dahi waktu saya jawab, “Swiss Army Man.” Film itu bercerita tentang pria yang terjebak di pulau kosong. Ia bertemu mayat yang sepanjang film menemaninya di tengah kesendirian, bahkan di satu titik menyelamatkan hidup si pria.
“Sinefil memang beda ya seleranya,” kata si editor, menambahkan. Jika dibaca tanpa konteks, kalimat itu bisa saja diartikan sebagai pujian. Namun, yang sebetulnya terjadi justru sebaliknya. Ia tak suka film itu. Menurutnya Swiss Army Man terlalu ribet, tidak masuk akal, dan berbelit-belit. Jadi, saya simpulkan kalimat tadi adalah sindiran, bukan pujian.
Buat saya sendiri, plot Swiss Army Man amat jelas, masuk akal belaka, meski memang harus diakui berbelit-belit. Namun, yang sebetulnya lebih penting diakui adalah fakta bahwa menonton merupakan pengalaman pribadi. Impresi yang muncul setelahnya sering kali amat bergantung pada konteks dan pengalaman hidup orang yang menonton. Tak ada pengalaman yang lebih tidak sahih dari pengalaman lainnya—terlepas dari pesan yang memang ditanam para pembuatnya, penonton punya pengalamannya sendiri.
Sehingga, sindiran itu tidak berarti apa-apa buat saya. Doesn’t matter. Mafhum.
Hal yang saya ingat, perasaan girang dan termotivasi muncul setelah menonton film itu. Saya suka ceritanya, sampai-sampai pikiran liar seperti, “Di suatu periode beruntung dalam hidup ini, saya ingin punya kesempatan bikin film seperti Swiss Army Man,” muncul.
Perasaan serupa juga hadir selepas menonton Everything Everywhere All at Once. Belakangan, saya baru tahu kalau yang bikin dua film ini adalah dua orang yang sama: Daniel Kwan dan Daniel Scheinert, alias duo Daniels. Perasaan girang itu lantas jadi masuk akal. Saya suka dua karya mereka.
Setelah pertama kali menontonnya, saya sempat berpikir: Apakah Everything Everyhwere All at Once akan flop juga seperti Swiss Army Man?
Baca juga: Representasi LGBTQIA di Film ‘Superhero’
Usaha Menjawab yang Takkan Menjawab-jawab Amat
Everything Everywhere All at Once adalah tipikal film yang plotnya sulit diceritakan. Selain karena narasinya yang non-linear dan sering mengabaikan hukum fisika Newtonian—logika yang banyak dipakai film-film pada umumnya, film ini juga lebih baik ditonton sendiri.
Kalaupun ada yang bisa diceritakan, ia menyorot hidup Evelyn (Michelle Yeoh)—ibu, pengusaha binatu, imigran Asia-Amerika, istri yang ingin dicerai suaminya, anak perempuan semata wayang, sekaligus varian paling medioker di antara Evelyn lain di semua semesta—yang sedang berusaha menerima fakta bahwa ia adalah penyelamat multisemesta dari kiamat “Bagel”.
Apa itu kiamat “Bagel”? Ia adalah metafora lubang hitam (black hole)—hasil hitung-hitungan Einstein yang muncul ketika struktur ruang dan waktu dibengkokkan secara kuat oleh gravitasi—yang muncul karena Jobu Tupaki, antagonis di film ini, ingin dunia binasa. Di satu titik, “Bagel” juga bisa diartikan sebagai metafora sabotase diri seorang gen Z yang muncul dari rasa frustrasi ingin validasi orang tuanya.
Mengerti jalan ceritanya? Sedikit tercerahkan?
Rasanya, upaya menceritakan plot Everything Everywhere All at Once hanya akan berujung jadi kebingungan lainnya. Sekali lagi, film ini memang tipikal yang lebih baik kalau ditonton sendiri.
Ia adalah chaos (kekacauan), baik secara visual dan narasi. Semua teori saintifik hadir, bertabrakan, tapi juga sekaligus melengkapi. Loncat-loncat, tapi juga linear di saat bersamaan. Seperti tidak saling menjelaskan, padahal saling melengkapi jadi narasi paling segar yang saya tonton selama 2022 ini.
Well, sebetulnya tidak segar-segar amat, karena ide-ide lawas dan sudah sering difilmkan macam nihilisme versus eksistensialisme, justru kepalang kentara dalam plotnya.
Referensi-referensi yang dikutip dari sesama dunia fiksi, maupun yang diambil dari dunia akademisi juga ikut diaduk ke dalam kekacauan multisemesta Evelyn.
Misalnya, dalam subplot Raccacoonie, yang terang-terangan diangkut dari salah satu hits Disney, Rattatouille, ada Manifesto Cyborg (A Cyborg Manifesto) milik Donna Harraway—sebuah manifesto yang menantang gagasan feminisme tradisional untuk keluar dari batasan tradisional gender (heteronormatif), dan membayangkan dunia yang lebih luas dari sistem biner problematik (prbolematic dualism) seperti diri/liyan, kultur/alam, beradab/primitif, baik/buruk, kebenaran/ilusi, keseluruhan/sebagian, Tuhan/manusia, dan lainnya. Rakun (si binatang) dan Chad (si manusia, Harry Shum Jr) adalah imaji kolaborasi manusia dan non-manusia yang dibahas Harraway.
Dari segi teknis, film ini juga tontonan segar sekaligus tidak juga. Editing-nya yang unik dan tak pakai logika tentu sudah pernah difilmkan. Misalnya, cara menyunting adegan Evelyn meloncati sejumlah semesta untuk pertama kalinya. Di layar, lapisan semesta yang dilewati Evelyn hadir sebagai latar yang berganti cepat, saat si aktor seolah-olah duduk di kursi yang sama. Efek serupa juga pernah dipakai film keluaran 1924, Sherlock Jr.
Seorang proyeksionis (Buster Keaton) sedang melamun melakukan perjalanan ke berbagai tempat. Visual yang dipilih untuk memperlihatkan perpindahan itu adalah dengan mengganti latar di belakang Keaton yang berdiri di satu titik di tengah layar.
Di beberapa video youtube, Duo Daniels bahkan tak sungkan membedah beberapa adegan di film mereka dan membagi tips editing yang sering kali diakui diolah dari trik-trik lama yang sudah dipakai industri film sejak lama. Tentu saja digabung dengan kecanggihan teknologi efek khusus hari ini. Mereka bahkan bangga sekali karena cuma butuh 6 editor, jumlah yang luar biasa sedikit untuk film-film produksi Hollywood hari ini.
Baca juga: Penjahat, ‘Anti-Hero’, sampai ‘Femme Falate’, Wanda hanya Seorang Ibu
Interpretasi Seluas Jagat Raya?
Meski tampilan visual dan jahitan narasinya tidak seperti kebanyakan film, alias wajar sekali bikin banyak orang bingung, Everything Everywhere All at Once tetap punya plot yang sebetulnya mudah dipahami atau diinterpretasi.
Misalnya, plot Evelyn menyelamatkan semesta melawan Jobu Tupaki bisa dilihat seperti pertempuran Doctor Strange menyelamatkan multisemesta Marvel Cinematic Universe.
Di saat yang sama, ada isu hubungan ibu dan anak perempuannya yang juga membungkus plotnya, sekaligus jadi salah satu faktor yang bikin film ini sedikit lebih menginjak bumi. Sesuatu yang bisa bikin orang-orang merasa relate: Evelyn harus menghadapi kemarahan putri semata wayangnya, Joy, yang tengah berusaha dapat perhatian sang ibu.
Interpretasi lain: film ini adalah cuplikan pengalaman seorang perempuan Asia-Amerika queer yang sedang coming out ke ibunya yang konservatif. Atau perjalanan keluarga imigran Asia-Amerika mengatasi trauma generasi mereka sebagai masyarakat kelas dua. Atau, berusaha mengungkap isu lebih besar yang terang-terangan jadi plot device film ini: kemungkinan eksistensi multisemesta.
Tontonan ini mungkin akan bikin kamu berpikir-malas berpikir, menangis-tertawa, keheranan-merasa beruntung-dan merasa tidak beruntung di saat yang sama. Seperti kata Daniel Kwan, salah satu creator-nya, “Kami mencintai mashups genre dan mencintai film-film sains-fiksi. Kami menyukai film seperti Matrix, kami tumbuh dengan film-film Kung Fu, dan film ini jadi salah satu jalan kami bisa bikin semua itu di saat bersamaan.”
Semangat itu sampai pada para penonton. Everything Everywhere All at Once lebih diterima daripada Swiss Army Man.
Bisa jadi, penonton hari ini lebih banyak yang familier dengan konsep film-film absurd dibanding penonton pada 2016. Bisa jadi, orang-orang yang merayakan film teranyar duo Daniels ini cuma terlena cap A24, atau penggemar garis keras Michelle Yeoh belaka. Atau jawaban paling dangkalnya, bisa jadi Everything Everywhere All at Once bagus karena semua orang bilang bagus di media sosial.
Variabel untuk jawaban itu luas sekali, dan sebetulnya tak perlu-perlu amat dijawab sekarang, kecuali kita buruh yang bekerja untuk mendorong penjualan bioskop-bioskop raksasa Indonesia.
Mencari tahu pertanyaan yang jawabannya cuma perlu menggeneralisasi juga tidak baik. Dalam kepala biner orang-orang yang lahir di kultur patriarki dan alam kapitalisme, mengonsepkan mana yang majemuk dan mayoritas sering kali sama dengan meniadakan yang sedikit atau minoritas. Sayangnya, cara itu juga masih dipakai industri untuk memilih jenis film bagaimana yang akan diproduksi terus-menerus atau lebih banyak daripada genre lain.
Di mata industri film, jumlah penonton jadi kunci penting. Apa yang ingin mereka tonton, siapa yang muncul di layar, sampai di mana bioskop akan dibangun sangat bergantung angka itu. Mungkin, di sebuah semesta tempat semua orang sepakat meruntuhkan kapitalisme, film-film absurd yang ceritanya segar begini bisa terus dirayakan.