Saya, Kamu, dan Arawinda Kirana
Apa tujuanmu mencaci Arawinda Kirana? Jika sebenarnya cuma untuk menyebar kebencian, apakah energi dan waktumu sebanyak itu?
Apakah kamu adalah orang yang sempurna, atau mungkin kenal dengan orang yang sama sekali tanpa cela? Kalau jawabanmu: “Saya dan semua orang di sekeliling saya sempurna,” silakan berhenti membaca tulisan ini.
Saya mau cerita tentang perempuan muda bernama Arawinda Kirana. Ia adalah aktris, pelajar, teman, anak, dan bagian dari masyarakat. Seperti kita, ia punya banyak peran yang harus dikelola. Seperti kita juga, beban yang dihasilkan dari peran-peran itu juga perlu dipikul terus-terusan.
Apakah kamu sudah siap-siap menyebut kata berawalan “p” yang mengesankan laki-laki itu adalah benda mati, tidak berdaya, dan mudah direbut? Tunggu dulu. Mari kita tarik napas, dan buang pelan-pelan.
Saya tidak mau membahas soal apa yang terus-menerus diberitakan, mana yang benar dan salah. Saya tahu mungkin kita punya nilai-nilai yang berbeda. Mungkin menurut kamu, salah satu nilai yang paling penting adalah kesucian. Hubungan yang suci, pandangan suci, perilaku suci. Tidak apa-apa, itu hak kamu. Itu juga hak kamu untuk terus memilih menyalahkan perempuan ketika ada cerita seperti ini. Kita berhak atas semua yang kita percayai, namun perlu bertanggung jawab dengan bagaimana kita mengekspresikannya.
Baca juga: Label Pelakor Arawinda: Tak Adil Gender, tapi Kok Langgeng di Medsos?
Apakah kita berhak menganggap Arawinda salah ketika mendengar beritanya? Ya.
Apakah kita berhak berdoa agar kita tidak harus mengalami kejadian yang sama (“Amit-amit, jangan sampe diselingkuhin”)? Tentu saja.
Namun, apakah kita berhak untuk menghabiskan hari-hari kita menyerang Arawinda, dengan harapan ia akan “jera” dan semua perempuan lain akan “takut” melakukan hal yang sama? (Berbagai penelitian membuktikan, efek jera itu tidak efektif, tapi mungkin tidak semua dari kita ingin cari solusi).
Silakan kamu jawab sendiri. Silakan kamu putuskan, apakah kamu ingin “jadi yang paling benar” atau ingin berkontribusi menjadikan dunia agar enggak brengsek-brengsek amat. Silakan juga kamu putuskan apakah tepat untuk fokus menyalahkan Arawinda, ketika kita sadar ada lebih dari satu orang dewasa dalam hubungan itu.
Kamu berhak menjunjung tinggi nilai “perempuan harus suci dan tidak boleh membuat kesalahan”. Seperti saya yang juga berhak berpikir bahwa nilai tersebut sangat merugikan perempuan.
Buat saya, salah satu nilai yang paling penting adalah keterbukaan. Terbuka dengan hal-hal yang tidak saya pahami dan tidak saya setujui. Terbuka bahwa kita semua, dengan berjuta-juta latar belakang dan kisah hidup yang berbeda, tentu tidak akan selalu seragam dalam menyikapi sesuatu. Salah satunya dalam menyikapi berita bahwa ada hubungan pernikahan yang “tidak suci” lagi, terlepas dari benar atau tidaknya.
Untuk mengurangi lapisan perbedaan kita, mari kita anggap saja bahwa itu benar. Anggap saja Arawinda benar terlibat dalam hubungan dengan orang yang sudah menikah. Benar ada kerugian yang dihasilkan dari situasi itu, termasuk kerugian yang dialami Arawinda.
Jika kita menganggap “kesucian” adalah yang terpenting, wajar jika berita tersebut memancing emosi, trauma yang belum selesai, dan mungkin trauma orang-orang di sekitar kita yang dirasa perlu kita rawat. Kata dengan huruf “p” yang saya sebut di atas tadi jadi muncul di benak kita. Kata itu mewakili perbuatan yang kalau terjadi pada kita, akan sangat sulit untuk dilewati. Kata itu mewakili perbuatan yang kalau sampai terjadi pada orang tersayang, tentu kita akan tergoda untuk habis-habisan memaki.
Namun…sebentar ya, saya minum air putih dulu. Bagaimana jika Arawinda itu adalah orang yang kita sayangi? Orang yang kita sayangi, yang artinya (paling tidak buat saya), akan lebih rela kita terima ketidaksempurnaannya. Orang yang jika ia membuat kesalahan besar sekalipun, kita akan mempertimbangkan untuk tetap ada di sampingnya, atau mungkin, sekadar duduk diam untuk mengingatkannya bahwa ia tak sendiri.
Baca juga: Perempuan Simpanan: Korban Atau Tak Bermoral?
Saya tahu, Arawinda itu bukan orang yang kamu sayangi. Saya tahu, terkadang lebih mudah untuk mencaci dibanding menarik napas dan menjaga jarak dengan berita yang membuat kita ikut merasa tersakiti. Membuat kita ikut merasa dihianati, dirugikan, dan dirampas kebahagiaannya. Membuat kita ingin ia merasakan segala penderitaan yang mungkin dirasakan orang yang terlibat, dengan memastikan semua yang ia lakukan itu jadi rugi. Dengan tidak lagi memberikan ia ruang dan napas untuk terus menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Kita semua punya hak untuk berpikir, bereaksi, dan berekspresi. Namun, mungkin, dunia akan terasa sedikit lebih lembut jika kita semua bisa menarik napas, membuangnya perlahan, dan ingat bahwa semua orang, tanpa kecuali, pernah membuat kesalahan. Dan akan terus membuat kesalahan.
Semua perbuatan ada konsekuensinya. Sayangnya, tantangan kita dalam mengelola segala perbedaan nilai dan kapasitas emosi membuat kita para netizen rentan menjadi hakim yang terus-terusan menghukum tanpa menawarkan jalan keluar.
Bukan tugas kita untuk menawarkan jalan keluar, tentu saja. Namun, apakah memang tugas kita justru melempar sampah, lumpur, dan batu bata ke perjalanan Arawinda yang panjang dan tentunya sangat menantang?
Apakah hal itu yang akan kita lakukan jika orang tersayang kita ada di dalam posisi Arawinda?
Apakah dunia tanpa kesempatan kedua itu yang akan kita terima dengan sukarela jika kita ada di posisi Arawinda?
Baca juga: Gundik yang Hidup Lagi
Apa Sebenarnya Tujuan Kita?
Kalau tujuan kita adalah menunjukkan solidaritas kepada sesama perempuan, kita bisa mendoakan, memastikan orang yang kita bela punya akses ke semua dukungan yang dibutuhkan, tanpa harus menyebarkan kebencian.
Namun, kalau sebenarnya tujuan kita adalah menyebar kebencian, mungkin kita perlu tanya lagi, apakah energi dan waktu kita sebanyak itu?
Mari kita tentukan sendiri. Saya mau minum kopi dan berkaca pada diri sendiri.
Terlepas dari apapun yang terjadi di kehidupan pribadi setiap orang yang terlibat di dalamnya, saya ingin berterima kasih pada keberanian, kerja keras, dan kehati-hatian semua orang yang punya andil dalam film Like and Share. Film yang terlalu bagus dan terlalu penting untuk kita lewatkan.