Lifestyle

Sayuri Fujita dan Kedudukan Ibu Tunggal dalam Masyarakat

Selebritas Jepang yang berbasis di Korea, Sayuri Fujita, memperlihatkan realitas lain soal ibu tunggal dan perbandingannya dengan Indonesia.

Avatar
  • June 24, 2021
  • 6 min read
  • 672 Views
Sayuri Fujita dan Kedudukan Ibu Tunggal dalam Masyarakat

Nama Sayuri Fujita mendapat perhatian di awal tahun ketika dia bergabung dalam The Return of Superman, sebuah acara televisi realitas di Korea Selatan tentang bagaimana seorang ayah mengurus anak-anaknya tanpa bantuan sang istri, yang diberi waktu untuk menikmati diri sendiri di luar rumah. 

Langkah stasiun televisi KBS untuk menyertakan Sayuri, seorang selebritas Jepang yang berbasis di Korea, dalam acara tersebut awalnya mendapatkan penolakan dari sebagian masyarakat. Alasannya adalah karena Sayuri seorang perempuan lajang yang berinisiatif melakukan program bayi tabung, sesuatu yang masih tabu dan ilegal dilakukan di Korea Selatan. 

 

 

Pada tahun 2020 kemarin, Sayuri membuat pengakuan di laman YouTube-nya bahwa ia sedang melakukan proses bayi tabung, dan akan melahirkan sekitar November 2020. Sontak kabar ini mendapatkan banyak reaksi, sebagian besar negatif.

Dalam acara realitas Problem Child in House, perempuan berusia 42 tahun itu bercerita bagaimana ia awalnya tidak berniat melakukannya karena tengah menjalin hubungan yang cukup lama dengan seorang pria yang berusia lebih muda. Beberapa kali Sayuri membicarakan tentang pernikahan tapi pasangannya menolak, alasannya karena ia belum berpikir untuk menikah. 

Baca juga: Novel ‘Breasts and Eggs’ Gugat Standar Kecantikan, Stigma Inseminasi Buatan

Karena tak ada kepastian untuk pernikahan, Sayuri memutuskan untuk melakukan program bayi tabung. Tapi karena ada larangan di Korea Selatan bagi perempuan lajang untuk melakukan program tersebut, maka Sayuri melakukannya di Jepang. Ia mendapatkan donor dari bank sperma di sebuah negara di Eropa. Pada percobaan pertama, Sayuri langsung hamil dan lahirlah Zen, bayi laki-lakinya pada November 2020. 

Meski banyaknya penolakan, KBS memutuskan tetap menerima Sayuri dan Zen, anaknya sebagai anggota baru tayangan The Return of Superman karena mereka ingin menampilkan keragaman dalam keluarga. 

Pengasuhan Anak oleh Perempuan Lajang

Kisah Sayuri dan penolakan sebagian publik Korea Selatan terhadap lajang yang menjadi ibu tunggal menjadi menarik jika ditarik ke dalam konteks masyarakat Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan bahwa selain sudah berumur minimal 30 tahun dan mampu secara ekonomi dan sosial, calon orang tua angkat harus telah menikah minimal selama lima tahun. 

Namun, ada pengecualian untuk ketentuan tersebut yang diatur pada Pasal 16 PP No. 54/2007 itu, bahwa orang lajang tanpa pernikahan ataupun janda/duda bisa menjadi orang tua angkat setelah mendapatkan izin dari kepala instansi sosial tingkat provinsi terkait ataupun menteri sosial.

Salah satu syarat yang mungkin ditawarkan untuk menjadi penilaian mampu tidaknya seorang lajang mengasuh seorang anak adalah, calon orang tua angkat tersebut haruslah menjadi orang tua asuh terlebih dahulu dari anak yang akan diangkat, kurang lebih sekian waktu yang ditentukan oleh majelis hakim.

Baca juga: Engkau Janda dan Engkau Terhormat

Dari sekian kasus yang terjadi, berapa probabilitas kemungkinan seorang lajang tanpa menikah bisa mendapat persetujuan hukum untuk mengangkat seorang anak? 

Seorang teman yang juga merupakan praktisi hukum mengatakan, “Kemungkinan hal itu terjadi di Indonesia hanya sekitar 55 persen, jika kamu hanya warga negara biasa dengan pekerjaan biasa tanpa punya status kemasyarakatan dan punya uang banyak. Indonesia masih mendewakan institusi pernikahan. Jadi lebih mudah adopsi anak ketika dalam ikatan pernikahan dibanding ketika lajang.”

Stigma Perempuan Lajang dan Ibu Tunggal

Membahas tentang pengasuhan anak tidaklah lepas dari peran seorang ibu. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tahun 2016 menunjukkan, setidaknya ada 7 juta perempuan di Indonesia yang menjadi kepala keluarga. Penyebabnya bisa karena perceraian, ditinggal suami merantau, atau meninggal. Mayoritas dari perempuan kepala keluarga ini hidup di bawah garis kemiskinan. 

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tahun 1973 dan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010, anak di bawah umur akan diserahkan perwaliannya secara perdata kepada ibunya dengan melampirkan surat atau alat bukti hubungan darah dari sang ayah. Jadi, merujuk pada ketentuan dan putusan tersebut, ibu yang melahirkan lah yang memiliki kedudukan hukum untuk menjaga, merawat, mengasuh, memelihara, mendidik hingga melindungi anak sampai dewasa.

Namun, peran sebagai seorang ibu tunggal sangat tidak mudah. Saya mengamati hal ini hanya dari sudut pandang orang ketiga, yakni dari teman-teman saya yang dibesarkan oleh ibu tunggal dan juga yang menjadi ibu tunggal.

Salah satu teman saya bercerita, ibunya sering digosipkan oleh tetangga sebagai “simpanan om-om” karena tidak memiliki pekerjaan formal, namun keluarga mereka tidak pernah kekurangan. Padahal sang ibu bekerja serabutan, dari mulai mencuci piring di kedai temannya sampai menjadi instruktur senam. 

Perempuan masih dianggap bukan sebagai calon/kepala keluarga, sehingga mendapatkan bayaran lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sebagai contoh, jika seorang laki-laki menikah bekerja, maka ia akan mendapatkan berbagai tunjangan untuk dirinya, keluarganya, juga secara khusus untuk anaknya. Sedangkan untuk perempuan menikah yang bekerja, beberapa perusahaan tidak memberikan tunjangan tersebut karena perempuan dianggap bukan kepala rumah tangga meski porsi kerja sama dengan laki-laki. 

Dari teman-teman saya yang adalah ibu tunggal, saya mengetahui bahwa stigma sebagai perebut laki orang (pelakor), janda genit, perempuan murahan, atau barang bekas kerap dilekatkan pada ibu tunggal. Teman kuliah saya, “Lala”, contohnya. Tiga hari setelah kematian sang suami, ia sudah dituding berselingkuh dan tukang mengganggu keluarga lain. Tawaran Open BO pun kerap kali ia dapatkan dari berbagai laki-laki yang awalnya berlaku baik padanya, lalu lama-lama mengajaknya tidur. Belum lagi cibiran dari tetangga di sekitar tempat tinggalnya, di sebuah kecamatan di provinsi Jambi. 

Baca juga: Reggy Lawalata dan Stigma Sebagai Janda

Mungkin masyarakat di kota-kota besar tidak lagi banyak yang menganggap lajang karena bercerai ataupun ditinggal meninggal sebuah aib, atau kekurangan. Tapi di tempat tinggal Lala, menjadi seorang janda apa pun alasannya, cukuplah berat. Satu kecamatan tempat ia tinggal memberikan stigma negatif kepadanya sebagai seorang janda, tatapan sinis, omongan tidak karuan, setiap hari ia terima. 

Padahal Lala yang baru berusia 28 tahun itu harus bekerja keras sebagai seorang perawat yang mengasuh putrinya yang berusia dua tahun, serta ibunya yang menderita stroke.

Menjadi ibu tunggal tidaklah mudah. Masyarakat masih menganggap perempuan adalah kaum kelas dua yang tidak mampu melakukan apa pun yang hanya berperan sebagai pendukung. Ketika ia bekerja banting tulang untuk menghidup anak-anaknya, beberapa pekerjaan rumah ataupun kewajiban mengurus anak terkadang tidak bisa mereka tangani. 

Di sini lah terkadang hubungan mereka dengan anak-anaknya sedikit kurang harmonis karena mereka akan menitipkan anak-anaknya kepada keluarganya. Tapi tak lantas menjadikan mereka perempuan atau ibu yang tidak baik. Stereotip gender yang masih kuat di masyarakat lah yang memengaruhi peran serta cara berpikir masyarakat. 

Teman saya yang lain, “Anit”, mengatakan bahwa terlepas dari stigma terhadap janda, ia kini hidup bahagia dengan anaknya setelah terlepas dari pasangan yang abusive terhadap istri dan anak. Anit bahagia bukan hanya sebagai ibu, tapi juga sebagai perempuan lajang tanpa pasangan. Ia, dan juga Lala, kini bisa melakukan hal apa pun yang mereka mau lakukan tanpa perlu validasi dari pasangan mereka. Anak-anak mereka adalah sahabat terdekat mereka. 

Seperti yang Anit katakan pada saya sebelum mengakhiri pembicaraan telepon kami:

“Gue bahagia sekarang dengan hidup gue. Dulu saat menikah, gue enggak pernah ke salon, sekarang bisa kapan pun gue mau. Dulu, kalau mau belanja, gue bisa mikir puluhan kali, sekarang bisa setiap hari. Gue enggak pernah berpikir tentang stigma negatif sebagai janda, ibu tunggal atau apal ah. Gue hanya ingin hidup aman, nyaman dengan anak gue dan keluarga gue pun sangat mendukung. Enggak masalah hidup melajang, toh gue bahagia.”


Avatar
About Author

Kanya Suryadewi