Issues Safe Space

Setiap Hari adalah Perang Saya Melawan Trauma, Kisah Jurnalis yang Menulis Palestina

Profesi jurnalis mengharuskan saya melihat foto dan video penuh darah dan pembunuhan manusia setiap hari. Mungkinkah ‘secondary trauma’ saya bisa hilang?

Avatar
  • April 29, 2024
  • 7 min read
  • 1627 Views
Setiap Hari adalah Perang Saya Melawan Trauma, Kisah Jurnalis yang Menulis Palestina

*Peringatan Pemicu: Gambaran kekerasan yang eksplisit. 

Jurnalis SBS News Rashida Yosufzai tak bisa menahan tangis, saat menceritakan pengalaman menulis genosida Israel di Palestina. Ia memang tak meliput langsung, tapi diharuskan memantau media sosial untuk tahu kabar terkini di sana. Setiap kali melihat foto atau video kekerasan Palestina, wajah tiga anaknya langsung terbayang. 

 

 

“Ada video anak Palestina yang bicara pada tentara dan memohon untuk dibiarkan hidup. Ada juga video seorang kakak menggendong mayat kaku adiknya yang masih bayi. Entah bagaimana, wajah bocah itu berubah seperti anak sendiri. Sontak, saya mual, menangis di kamar mandi, dan penuh keringat dingin,” kata dia, (22/3). 

Sebenarnya, Rashida sudah relatif akrab dengan konflik dan kekerasan. Ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di Afghanistan. Sama seperti kondisi sekarang, Taliban kala itu juga kerap menyiksa, membunuh, memerkosa, dan melarang perempuan sekolah. Rashida dan orang tuanya berhasil mengungsi ke Sydney, Australia pada 1990-an. Namun, paman dan sepupu-sepupunya masih terjebak di sana tanpa masa depan.  

Traumanya terkorek kembali sejak Israel mulai membombardir warga Palestina, Oktober 2023. Namun, pekerjaan sebagai jurnalis yang digeluti sejak 2007, membuat Rashida harus sering menahan diri, termasuk mengabaikan secondary trauma (trauma kedua) yang dialaminya. “Saya kadang memasukkan kepala ke dalam air atau membenamkan suara ke bantal saat sibuk menangis dan teriak. Setelah itu memakai makeup, dan melanjutkan pekerjaan di stasiun TV seolah tak terjadi apa-apa,” ungkapnya. 

Baca juga: Peretasan ‘Narasi’: Bukti Jurnalis Belum Punya Ruang Aman 

Secondary Trauma Jurnalis yang Meliput Konflik 

Rashida bukan satu-satunya jurnalis yang merasakan trauma saat meliput kekerasan. Dalam pelatihan bertajuk “Journalism, Trauma and Graphic Imagery” yang digelar DART Center, think tank Columbia Journalism School AS, di Bangkok, 21-23 Maret 2024, lusinan jurnalis mengisahkan pengalaman serupa. Ada yang sampai harus bolak-balik psikolog karena menderita kecemasan. Ada yang depresi dan mengambil cuti karena serangan Israel selalu mengingatkan pada pengalaman menjadi korban kekerasan di masa silam, di mana peluru menembus daun telinganya. 

Apa yang mereka alami disebut dengan secondary trauma, trauma kedua, atau trauma sekunder. Dalam artikel “How War Videos on Social Media Can Trigger Secondary Trauma” (2022) di DW dijelaskan, trauma sekunder adalah tekanan atau efek emosional negatif yang diakibatkan oleh paparan orang lain. Itu bisa terjadi ketika seseorang mendengar pengalaman trauma langsung yang dialami orang lain, atau terpapar gambar yang “mengganggu” secara intens.  

Paparan terus-menerus ini berdampak serius pada kesehatan mental. Menurut Stamm BH. dalam “The Concise ProQOL Manual” (2021), gejala trauma sekunder mirip seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), seperti perasaan takut atau mudah tersinggung, hipertensi, pikiran tidak berdaya, sulit tidur, dan gambaran kejadian yang mengganggu. 

Trauma sekunder bisa menimpa siapa saja. Dari jurnalis, pendamping korban kekerasan, pegiat hukum, spesialis media sosial, editor foto dan video, pencari fakta, praktisi forensik, polisi, tentara, bahkan orang-orang biasa seperti kita. 

Terlebih dalam konteks serangan Israel ke Palestina kini, akses atas informasi cukup terbatas bahkan buat jurnalis sekali pun. Alhasil, sebagian besar informasi yang keluar dibuat oleh pengguna atau saksi mata. Rekaman mentah dengan gambar darah, air mata, bom, peluru, dan jeritan manusia beredar di internet. Tak ada kurasi, tak ada standar jurnalistik yang berlaku. Kadang-kadang, kita mungkin merasa mampu mengalihkan pandangan. Namun, di saat yang lain, sekeras apa pun melawan atau menggerakkan jempol, kita seolah tersedot ke dalam, dan “dipaksa” melihat gambar itu. 

Baca Juga: Kematian Shireen Abu Akleh, Dosa Militer Israel, dan Nasib Jurnalis Perang

Enggak heran jika DW dalam artikel yang sama, menyebut perang di abad 21 selalu merangkap sebagai perang digital. Maksudnya, medan perangnya juga menyasar orang-orang yang aktif di internet. Diri sendiri pada akhirnya menjadi pihak yang ikut dilawan. 

Buat orang biasa, jika tak ingin pening, tinggal matikan saja gawai dan beralih pada aktivitas lain yang enggak bikin sesak. Namun bagaimana dengan mereka yang bekerja di mana paparan informasi, khususnya foto dan video media sosial tak bisa dihindarkan? Misalnya, jurnalis seperti Rashida? Pekerjaannya di desk nasional dan internasional TV, membuat ia mau tak mau harus mencari gambar Palestina setiap hari demi membuat berita. 

Atau James Yongjun Yoon, editor video di YTN, saluran berita sohor di Korea Selatan yang juga sama-sama jadi peserta pelatihan seperti saya dan Rashida. James bercerita, sepanjang genosida Israel ke Palestina berlangsung dari tahun lalu sampai Maret 2024, ia menerima ratusan ribu potongan video yang mengganggu. 

“Enggak banyak orang memikirkan ini, tapi editor video di media massa adalah orang pertama yang menjalani siksaan luar biasa saat menyunting video. Kami harus menonton video mentah, mengulangnya, sebelum memastikan visual yang kamu tonton cukup ‘ramah’,” ujarnya dalam sesi pelatihan. 

Kembali ke pertanyaan awal, mungkinkah para jurnalis ini bisa menghindari atau membatasi potensi trauma sekunder? Bagaimana cara mereka tetap dapat akses informasi di satu sisi, tapi di sisi lain kesehatan mentalnya tak jadi taruhan? 

Baca Juga: ‘Hacker’ Bjorka di Antara Puja dan Cela 

Tips untuk Jurnalis: ‘Jaket Keselamatan’ 

Dalam sesi pelatihan tersebut, DART Center memberikan sejumlah tips buat jurnalis atau siapa saja yang dalam pekerjaan mengharuskannya ia terpapar informasi berkekerasan. Dalam modul “Handling Traumatic Imagery: Developing a Standard Operating Procedure” (2017) yang disusun Gavin Rees dari DART Center, dijelaskan langkah-langkah kuncinya. Langkah-langkah itu, oleh Dr. Kimina Lyall, psikolog sekaligus Deputy CEO DART Center Asia Pasifik disebut sebagai “jaket keselamatan”. 

Lapisan jaket yang pertama adalah mengambil jeda. Kita mungkin terbiasa bertindak autopilot ketika berselancar di media sosial. Maksudnya, gambar apa pun yang muncul di linimasa platform atau ditawarkan algoritme, akan langsung diklik. Namun, jika kamu tahu materinya berupa visual, sebaiknya jangan langsung mengeklik atau membuka tanpa memikirkan prosedur dan konsekuensinya. 

Kedua, tak perlu terlalu intens menontonnya dalam satu waktu. Kamu perlu mempertimbangkan untuk berdiri sebentar, mengubah posisi menonton, menyelanya dengan menatap ke luar jendela, pot tanaman di ruang kerja atau sekadar bernapas yang dalam dari hidung dan dikeluarkan dari mulut. Tanyakan pada dirimu, apakah memang harus menonton itu sekarang? Jika iya, kenakan semacam pakaian pelindung imajinermu seperti jas hujan atau jaket anti-peluru. Terus sugesti diri bahwa kamu aman saat ini. 

Ketiga, atur setting di gawaimu sedemikian rupa sebelum menonton foto atau video. James menontohkan pada saya, saat menerima foto atau video pertama kali, ia akan langsung mengubah pengaturan saturasi warna di gawainya jadi hitam putih. Sehingga, ia bisa mengurangi tekanan psikologis ketika melihat darah, dan visual mengganggu lainnya. Ia juga terbiasa mematikan suara, sehingga tak perlu mendengar suara pilu secara mendadak.  

Keempat, menjadi aktif dan kritis. Alih-alih menonton visual berulang-ulang atas nama kepentingan memproduksi berita, lebih baik kamu menekan tombol pause dan membuat catatan. Tujuannya agar kamu bisa mengingat bagian mana yang ingin kamu pakai, detail apa yang kamu butuhkan. Tutupi bagian-bagian yang dirasa paling mengganggu dan tak ingin kamu lihat. 

Baca Juga: UU Perlindungan Data Pribadi Sah 

Kelima, jika kamu bekerja menggunakan gawai yang sama, beri peringatan pada kawan kerja agar hati-hati membuka file tersebut. Misalnya menamai file dengan kode tertentu yang kalian pahami bersama: “Gambar Traumatik”, “Video Kekerasan Israel”, dan sejenisnya. Pun, ketika kamu mengunggah berita ke platform media sosial atau laman berita, gunakan peringatan pemicu atau sensor bagian-bagian yang berpotensi memunculkan trauma sekunder. 

Keenam, beristirahatlah setiap kali konsentrasimu hilang. Menurut DART Center, kondisi mental kita paling rentan ketika tubuh terasa lelah. Kita juga akan cenderung lebih gampang menerjemahkan gambar dengan cara paling negatif ketika ada di situasi ini. Karena itu, penting menjaga agar tubuhmu tetap sehat dengan makan cukup, tak terlalu banyak konsumsi kopi, dan istirahat. 

Jika kamu terlanjur hanyut dalam foto atau video yang mengganggu, usahakan menemukan jalan kembali ke diri. Misalnya dengan cara meremas tangan, memijat kepala, atau mencubit tangan pelan. Setidaknya agar tersadar, kamu tak berada di situasi konflik, melainkan di ruanganmu sendiri. 

Ketujuh, cari ritual menutup pekerjaan yang menyenangkan. Tak perlu dengan berlibur setiap hari. Kamu bisa menonton video yang kamu suka, seperti video anak kucing,  bermain gim yang tak ada unsur kekerasan, belanja di internet, atau berjalan-jalan di depan rumah. Ini adalah langkah yang mirip dengan melepas jas hujan atau jaket anti-peluru setelah selesai bekerja. Jika tak membutuhkan lagi, kamu tentu harus melepaskannya bukan? 



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *