Issues

Bagi Kelompok Anti-Feminisme, Ketertindasan Perempuan adalah Ilusi

Kelompok anti-feminisme berbasis agama mengatakan feminisme didasari kebencian dan keinginan menundukkan agama.

Avatar
  • January 22, 2021
  • 9 min read
  • 1889 Views
Bagi Kelompok Anti-Feminisme, Ketertindasan Perempuan adalah Ilusi

Kelompok feminis dan anti-feminis kelihatannya semakin terpolarisasi, paling tidak jika dilihat di media sosial. Demi keluar dari bubble, karena saya lebih terpapar pada pandangan kelompok feminis, saya menghadiri sebuah webinar dari kelompok anti-feminisme berjudul “Feminisme dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam”, awal Desember lalu .

Webinar yang diinisiasi lembaga dakwah Universitas Negeri Makassar itu dimulai sekitar pukul 8 malam WITA. Meski saat itu malam Minggu, jumlah pesertanya membludak—lebih dari 900 orang di ruang pertemuan Zoom dan hampir 300 orang di kanal YouTube. Melihat dari komentar orang yang hadir di kedua medium pertemuan, peserta berasal dari beberapa penjuru Indonesia, seperti Jambi, Lampung, Bogor, Tangerang, Cimahi, dan tentunya Makassar.

 

 

Akhmad Fajar, Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus Forum Studi Islam Raudhatul Ilmi Universitas Negeri Makassar, mengatakan acara tersebut diadakan karena kaum muslim terus menghadapi tantangan dari budaya Barat berupa nilai sekularisme dalam ilmu pengetahuan, seperti feminisme dan kesetaraan gender.

“Padahal paham ini (feminisme) adalah sebuah delusi yang membuat seseorang tidak rasional dan realistis. Ini pada akhirnya mengubah sendi terkecil masyarakat, yaitu keluarga, konsep kodrat. Perempuan Islam yang memperjuangkan feminisme, secara sadar atau tidak sadar, memperjuangkan kebebasan tanpa batas,” ujarnya saat membuka acara.

Pembicara pertama, Henri Shalahuddin, dosen pascasarjana Universitas Darussalam Gontor, Jawa Timur, mengatakan feminisme lahir dari provokasi Barat dengan membawa poster tuntutan aborsi legal untuk perempuan. Para feminis militan kemudian memandang hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hierarki kekuasaan, atas-bawah, menang-kalah, dan dikuasai-menguasai, ujarnya.

“Dalam feminisme hubungan laki-laki dan perempuan dibangun atas dasar persaingan, antagonisme, dan kebencian,” ujar Henri.

Feminisme Islam Meragukan

Henri mengatakan ia meragukan feminisme dan Islam dapat dipersatukan. Menurutnya, berdasarkan penelitian yang ia lakukan, ia menemukan feminis Islam menundukkan wahyu di bawah feminisme dan ideologi gender.

“Yang mengaku sebagai feminis Islam itu sebenarnya terpengaruh oleh feminisme Barat. (Mereka) melakukan dekonstruksi terhadap kajian Islam yang berbasis wahyu menjadi basis jenis kelamin,” ujarnya.

Baca juga: Feminisme Muslim Indonesia: Gerakan Perempuan Lawan Konservatisme Agama

Ia mengatakan, para feminis melihat bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an dan menjadi bahasa umat Islam mengandung bias gender, dan ini berpengaruh pada tekstualisasi firman Allah. Henri mengatakan ia melihat para feminis menganggap Al-Qur’an mengandung bias gender yang membuat para feminis meragukan firman-Nya.

“Yang lebih parah, (oleh feminis) Al-Qur’an dipilah menjadi dua, ayat yang ramah perempuan dan membenci perempuan. Begitu juga dengan hadis. Yang membenci perempuan disebut misogini. Ada ayat dan hadis misoginis,”  kata Henri.

Prof. Alimatul Qibtiyah, Guru Besar Kajian Gender Universitas Islam Neger Sunan Kalijaga di Yogyakarta, mengatakan bahwa argumen yang sering diajukan kelompok anti-feminisme tentang melakukan dominasi dan menyalahkan kodrat masih bisa dipertanyakan karena feminisme muslim berfokus pada negosiasi. Sementara kodrat dipahami sebagai hal biologis, seperti menstruasi, hamil, dan melahirkan, ujarnya.

“Membuat kopi dan menyapu itu bukan kodrat. Jadi, jangan-jangan (anti-feminisme) memahami definisi kodrat yang berbeda. Pengamatan saya, feminis muslim tidak protes dengan tugas reproduksi tersebut, yang juga merupakan sebuah pilihan kapan menggunakan fungsinya,” ujar Alimatul, yang juga Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Magdalene.

Alimatul mengatakan feminis muslim pada dasarnya setuju bahwa firman Allah adalah absolut dan tidak mendiskriminasi perempuan. Feminis muslim tidak menyalahkan agama, melainkan mempertanyakan pemahaman manusia yang literal dan tekstualis serta tidak komprehensif, ujarnya. Pemahaman manusia yang relatif dan tidak adil tersebut yang bisa diubah, tambahnya.

Alimatul menggarisbawahi betapa pentingnya memahami teks keagamaan dari alasan mengapa sebuah ayat diturunkan, hubungan antar ayat, hubungan Al-Qur’an dan hadist, dan konteks kesejarahan untuk mendapatkan arti terdekat yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya.

“Feminis muslim juga menggunakan etik dalam melakukan praktik keagamaan, seperti puasa dan salat yang diyakini sebagai kewajiban yang akan berdampak pada kebaikan,” ujarnya.

Menurut Alimatul, feminis muslim sangat meyakini Islam sebagai agama dengan nilai keadilan dan kesetaraan. Namun, nilai-nilai tersebut mulai tergerus akibat perempuan dijadikan objek seksual yang bisa ditelisik secara historis.

“Maka untuk mengembalikan nilai kesetaraan yang diajarkan Rasulullah dan disampaikan dalam Al-Qur’an dilakukan penafsiran humanis, kontekstual, dan progresif,” kata Alimatul.

Baca juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?

Feminis Mengelabui Bahasa

Pembicara kedua webinar, Akrama Hatta, yang merupakan anggota Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, menyebut feminis atau penganut liberalisme telah kehilangan akal waras dan datang untuk “mengelabui bahasa”.

“Feminisme berbahaya karena mampu melakukan perusakan epistemologi hukum Islam dan secara aksiologi melahirkan hukum yang menantang Al-Qur’an dan sunah Rasul,” kata Akrama.

Nur Rofiah, dosen pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an di Jakarta serta pendiri Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI), mengatakan, sangat penting untuk mengetahui karakternya agar pesan Allah tidak terkubur oleh karakter itu.

“Salah satu karakter kuat bahasa Arab adalah bergender, yang ditandai dengan konsep kunci mudzakar dan muannats (laki-laki dan perempuan) dengan asumsi tertentu atas relasi keduanya. Bahasa Arab yang bergender tersebut hanya media untuk menyampaikan pesan keadilan Allah pada manusia secara universal melampaui perbedaan apa pun, termasuk perbedaan jenis kelamin dan gender,” jelasnya.

“Secara fisik Al-Qur’an bergender, tapi tidak dengan pesannya. Di sini tantangannya. Kita harus berhati-hati karena bisa saja pemahaman tekstual adalah konsekuensi logis menggunakan bahasa Arab. Tapi pesannya tidak seperti itu,” ujar Nur Rofiah.

Ia melanjutkan bahwa Islam selalu dirumuskan dan diterapkan melalui proses pemahaman manusia, “karenanya, ayat yang sama persis pun bisa melahirkan pemahaman yang berbeda. Bahkan kadang bertentangan.”

Sejarah Tidak Menunjukkan Ketertindasan Perempuan

Pembicara ketiga, sejarawan Tiar Anwar Bachtiar dari lembaga penelitian Islami, INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization), menyatakan bahwa secara historis, tidak ada ketertindasan perempuan di Indonesia karena selama masa penjajahan ada legiun perempuan prajurit di Jawa, Mataram, dan Aceh.

Ia mengatakan, R.A. Kartini adalah bangsawan yang dipingit dan tidak boleh melanjutkan pendidikan, tapi kemudian feminis menggunakan Kartini sebagai ikon dan menggeneralisasi isu yang dihadapi Kartini untuk membuat perempuan Indonesia tertindas dan merasa ada ketidakadilan.

“Dari situ lah kemudian seolah-olah orang Indonesia punya masalah dengan kesetaraan gender, ketidakadilan, dan penindasan terhadap perempuan. Padahal sebetulnya tulisan Kartini tidak selalu menggambarkan kenyataan yang terjadi secara historis di masyarakat Indonesia awal abad-20 atau akhir abad-19,” ujar Riar.

“Isu tentang ketertindasan perempuan itu ilusi, sesuatu yang tidak pernah terjadi. Di Indonesia ini tidak ada perempuan yang tertindas,” ia menambahkan.

Alimatul mengatakan bahwa secara historis, Kartini memang memiliki kontribusi dalam gerakan perempuan. Namun perlu juga dilihat tokoh perempuan lainnya dalam sejarah, seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Nyai Hayyinah, dan Nyai Walidah, yang juga memiliki peran dalam gerakan perempuan.

Sementara dalam konteks Islam, feminis Islam melakukan perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik sejak zaman Nabi Muhammad.

“Ada sekitar 60 sahabat perempuan Nabi yang demo mengelilingi rumah beliau, meminta agar tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Jadi, kita tidak bisa mengklaim dari kaca mata Kartini saja,” kata Alimatul.

Prof. Alimatul Qibtiyah dalam sebuah webinar yang diselenggarakan Reducates.

Dalam penelitiannya yang berjudul Indonesian Muslim Women and The Gender Equality Movement, Alimatul menyebut gerakan kesetaraan gender di Indonesia juga tidak bisa terlepas dari organisasi perempuan yang memang memiliki tujuan berkaitan dengan isu perempuan terbagi atas tiga periodisasi waktu.

Selama masa kolonial, gerakan perempuan berfokus pada pernikahan anak, pendidikan poligami, dan masa akhir kolonial tentang hak pilih perempuan. Masa awal kemerdekaan organisasi perempuan memusatkan fokus pada isu sosio-ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup dalam sektor kesehatan, pendidikan, dan bantuan pemerintah dalam pengembangan masyarakat sebagai negara baru.

Di masa sekarang, organisasi perempuan fokus pada banyak isu, beberapa di antaranya berupa kekerasan terhadap perempuan, kesetaraan gender, gaji setara, poligami, dan kuota perempuan dalam kursi politik.

Anggapan bahwa tidak ada ketertindasan perempuan di Indonesia, menurut Alimatul, adalah sesuatu yang sangat naif. Di tengah kondisi pandemi COVID-19 saja masih banyak perempuan yang mengalami beban berlebih daripada laki-laki, belum lagi maraknya kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan, lanjutnya.

“Isu tentang kehidupan perempuan perlahan menjadi baik karena perjuangan feminis. Tapi perlu diingat, kasus kekerasan dan atau KDRT masih luar biasa dan menjadi-jadi,” ujarnya.

Baca juga: Feminisme, Islam, dan Permainan Waktu

Representasi Perempuan dalam Diskusi

Webinar yang berlangsung sekitar tiga jam–sampai hampir tengah malam–tersebut memiliki pembicara yang semuanya laki-laki alias all-male panelist. Hal ini berlawanan dengan pernyataan Akrama dari Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, bahwa untuk melawan pendukung feminisme, penting melibatkan perempuan dalam membangun narasi maupun diskusi, seperti pembinaan keadilan dalam Islam yang dilakukan secara terus menerus.

“Dalam pandangan feminis, perempuan terzalimi dan terdiskreditkan. Kita juga berkampanye dengan tokoh perempuan bahwa Islam datang dengan ide feminin yang mengantar mereka sebagai perempuan hebat penghuni surga,” ujarnya.

Di kolom komentar live YouTube, seorang peserta mempertanyakan hal itu: “Kenapa tidak ada panelis perempuan? Ini bicara tentang isu perempuan jadi butuh sudut pandang perempuan juga.”

Pendapatnya lalu disambut dengan komentar peserta lain yang berbunyi: “Kalau menghadiri seminar tentang kematian berarti harus undang orang mati juga, ya?”

Menanggapi pernyataan tersebut, Alimatul mengatakan, “Analogi seperti itu tanpa sadar menyatakan perempuan tidak boleh bicara dan sudah mati. Logikanya kurang pas untuk digunakan dalam hal ini.”

Dr. Nur Rofiah

Terkait representasi perempuan dalam diskusi soal gender, Nur Rofiah mengatakan hal itu sangat penting, sebab perempuan memiliki pengalaman yang tidak dialami laki-laki. Pertama, lima pengalaman biologis perempuan, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.

Kedua, lima pengalaman sosial, yaitu rentan mengalami ketidakadilan dalam bentuk stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan.

“Perlakuan tidak adil hanya karena menjadi perempuan tentu saja zalim,” kata Nur.

Sepuluh pengalaman perempuan tersebut penting untuk dipertimbangkan dalam merumuskan keadilan serta kemaslahatan agama, kebijakan, negara, dan kearifan sosial. Di saat bersamaan juga tidak boleh menambah sakit pengalaman biologis serta mengandung satu pengalaman sosial agar benar-benar adil bagi perempuan.

“Laki-laki tidak mengalami sehingga mungkin tidak mengetahui, lalu menganggapnya tidak ada dan selanjutnya tidak mempertimbangkannya. Padahal mereka mendominasi ruang-ruang pengambilan keputusan di masyarakat, negara maupun agama,” ujarnya.

Melihat gerakan anti-feminisme memiliki pengikut yang banyak, Alimatul mengatakan perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Namun, hal itu tentu akan menghambat perjuangan gerakan feminis muslim di Indonesia.

Untuk mencegah banyaknya miskonsepsi tentang feminisme, Alimatul menyarankan bahwa jika dialog dengan kelompok anti-feminisme belum bisa dilakukan dengan tatap muka, setidaknya ada wacana dialog atau menulis tentang miskonsepsi dan jawabannya terhadap hal itu.

“Kita perlu searching tentang feminisme dari pemahaman mereka lalu dipilah dari persoalan pengertian, teologi, sosial, identitas, tujuan, keyakinan, sikap, dan perilaku. Kemudian bisa dikonfirmasi untuk disosialisasikan lebih banyak lagi,” ujarnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *