Para pecinta seni, khususnya seni lukis, tentu sudah mengenal sosok Frida Kahlo, salah seorang seniman perempuan dari Meksiko yang memiliki alis cukup unik. Ia sempat menjadi subjek sebuah pameran besar di museum V&A Kota London pada 2018 lalu. Pameran tersebut menggunakan 200 artefak dan pakaian untuk menceritakan hidup Kahlo.
Salah satu barang yang dipamerkan adalah pensil alis yang ia gunakan untuk menegaskan alis sambungnya (monobrow) yang bersama dengan kostum warna-warni dan hiasan bunga di rambut, menjadi ciri khas Kahlo yang ia gunakan untuk menegaskan warisan budaya nenek moyangnya.
Kehidupan dan karya Kahlo sangat penting bagi saya yang mempelajari kajian Meksiko. Selain Kahlo, perempuan Meksiko terkenal yang lain adalah María Félix. Félix lebih glamor secara konvensional dan merupakan bintang film terbesar “masa keemasan” sinema Meksiko. Lengkungan alisnya yang tegas dan kehadiran alisnya di setiap pertunjukkannya membuat saya mempertimbangkan peran alis di layar kaca.
Baca juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?
Sebagai akademisi yang berbasis di Liverpool, saya juga tertarik dengan scousebrow–suatu istilah yang muncul di media sosial dari reality show berjudul Desperate Scousewives (2011-12). Istilah scousebrow sesingkat umur serial televisi tersebut.
Scousebrow adalah istilah untuk menggambarkan alis yang sangat melengkung, terstruktur, yang digambar di atas garis alis dengan warna yang gelap daripada warna rambut asli pemilik alis dan pada dasarnya dianggap palsu. Meskipun gaya alis ini tidak hanya dimiliki oleh para pemakai scousebrow, penamaan tersebut telah mengundang banyak ejekan dan hinaan.
Ironisnya, saat alis scousebrow diolok-olok oleh media, alis model Cara Delevigne yang tebal dan rapi dirayakan sebagai contoh alis alamiah oleh majalah-majalah mode papan atas. Seperti alis sambung Kahlo, alis Delevigne yang telah ditata secara hati-hati disajikan sebagai percontohan alis alami, sedangkan alis scousebrow (seperti halnya alis Félix) dengan keliru dianggap “palsu.” Karena itu, saat yang dibicarakan adalah alis, maka tampaknya kecantikan ditentukan oleh kelas sosial.
Pada April 2018, kami meluncurkan proyek “Brews and Brows,” suatu kerja sama antara Universitas Liverpool, Universitas Liverpool John Moores, Universitas Edge Hill dan Universitas Manchester Metropolitan yang bertujuan mengembangkan suatu cara baru untuk melihat dan membicarakan alis. Saat orang-orang datang ke Brow Booth (Pojok Alis) untuk memindai alis mereka secara 3D, mereka akan mendengar berbagai pendapat orang lain tentang alis mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa alis adalah hal yang penting. Tahun lalu Financial Times memperkirakan bahwa “industri” alis di Inggris bernilai lebih dari £20 juta atau sekitar Rp380 milyar. Setelah pelawak dari Skotlandia Gary Meikle merekam vlog September lalu mengenai obsesi anak perempuannya terhadap alis, ia bertanya, “Sejak kapan alis menjadi bagian terpenting dari tubuh perempuan?”. Video tersebut menjadi viral dan sudah dilihat lebih dari 15 juta kali (“tiga kali lebih besar daripada populasi Skotlandia” seperti komentar salah satu penggemarnya di Twitter).
Vlog Meikle adalah satu bagian dari percakapan lebih luas mengenai alis yang melebihi pembahasan di majalah-majalah kecantikan di majalah. Wacana yang muncul terkait alis juga mempertanyakan bagaimana kecantikan perempuan dilihat dan diatur.
Oleh karena itu, reaksi terhadap Rihanna di edisi mode September majalah Vogue Inggris menjadi menarik untuk diperhatikan. Alis Rihanna yang tipis memicu suatu perdebatan sengit di media. Sebagai pendukung kecantikan alami orang kulit hitam, alisnya yang tipis tidak sesuai dengan alis “alami” yang lebih berisi dan justru mengingatkan masyarakat akan ketipisan alis aktor-aktor kulit putih pada tahun 1990-an seperti Courtney Cox yang memainkan Monica di serial TV Friends.
Brows and Brews
“Pojok Alis” atau “Brow Booth” menyerupai pameran fotografi di mana para peserta dapat duduk dan bercerita mengenai alis mereka sendiri-sendiri atau berdua dengan teman. Para ibu mewawancarai anak-anak perempuannya mengenai kebiasaan mereka atau saling membagi pengetahuan mengenai alis. Teman saling menceritakan kisah-kisah lucu dari masa lalu mengenai alis mereka.
Kami juga mendengar kisah-kisah menyentuh mengenai kehilangan dan solusi praktis untuk menghadapi penuaan (seperti pertumbuhan rambut yang signifikan untuk laki-laki dan penipisan rambut bagi perempuan). Salah satu kisah tersebut diceritakan oleh seorang perempuan yang tidak mau dibuat repot untuk memelihara alisnya sehingga ia menggambar alisnya dengan tato temporer menggunakan metode “micro-blade”.
Dari para laki-laki dan perempuan yang telah mengunjungi “Pojok Alis”, kami telah mendengar kisah-kisah mengenai evolusi tren alis, cerita tentang mencukur alis dan membiarkannya tumbuh kembali, tentang kehilangan rambut dan intervensi bedah. Seperti kata salah satu kontributor kami, “Dulu saya biasanya memeriksa maskara sebelum meninggalkan rumah, tapi sekarang semuanya tentang alis.”
Persepsi tentang Alis Cantik yang Berubah-ubah
Meskipun kami telah mengumpulkan dan menganalisis jumlah data yang cukup signifikan, proyek kami terus berlanjut dan banyak menguak kisah-kisah baru. Alis kita adalah suatu detail mikro yang mengungkapkan pendapat kita atas diri sendiri dan kesadaran akan bagaimana perawatan kita dilihat oleh orang lain. Penemuan kami memperkuat penelitian mengenai budaya manusia purba tentang bagaimana alis adalah hal yang penting bagi manusia sebagai makhluk sosial–kita menggunakan alis untuk mengekspresikan emosi, pengakuan, keyakinan dan bahkan ketidakpercayaan. Namun yang jelas, dalam fungsi evolusioner alis, bentuk-bentuk alis yang kita sukai selalu berubah-ubah.
Baca juga: Cantik itu Terima Kekurangan Tubuh dan Tonjolkan Bagian Tubuh Terbaik
“Instabrow” adalah tren alis yang telah populer selama beberapa tahun. Alis “Instabrow” terawat dengan baik, memiliki lengkungan dan struktur jelas yang terbentuk dengan produk-produk tertentu (hal tersebut menjelaskan industri senilai £20 juta yang berakar dari alis). Dan alis masyarakat lama-lama menebal–meskipun kecenderungan tersebut mungkin dapat saja berubah dengan pengaruh dari tokoh-tokoh influencer seperti Rihanna.
Namun yang jelas dari penelitian kami, alis adalah suatu detail kecil yang sangat berpengaruh dan dapat menantang asumsi-asumsi mendasar kita mengenai kecantikan. Kita telah bergerak dari alis sambung milik Kahlo sampai dengan Instabrow. Bahkan kita bisa saja kembali ke bentuk alis yang terstruktur rapi seperti milik Rihanna karena pada intinya tren selalu berubah–meskipun apa yang kita sampaikan melalui alis tidak pernah berubah.
Apabila kita ingin menjawab pertanyaan Meikle, alis telah selalu menjadi bagian yang penting dari tubuh perempuan meskipun kita tidak selalu memperhatikannya. Kalau kamu belum pernah memikirkan tentang alis, maka kamu termasuk kelompok orang yang langka–dan apabila kamu tidak pernah membicarakan alis kamu, kami sangat tertarik untuk mendengar kisah kamu.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.