Issues

Perempuan Menulis untuk Dunia yang Tak pernah Setara

Setelah tiga tahun membaca lebih banyak karya perempuan penulis, aku semakin yakin diskriminasi terhadap mereka bukan pepesan kosong.

Avatar
  • January 13, 2023
  • 8 min read
  • 2034 Views
Perempuan Menulis untuk Dunia yang Tak pernah Setara

Berkat mama, dari kecil aku suka membaca buku. Enggak peduli siapa penulisnya, sepanjang punya sinopsis menarik, buku-buku itu aku beli dan menambah koleksi. Semua berubah ketika aku kuliah S2 Kajian Gender: Aku menjadi lebih selektif memilih penulis buku.

Aku sadar, buku-buku (mayoritas novel) yang kumiliki mayoritas ditulis oleh laki-laki. Sebaliknya, buku-buku yang ditulis oleh perempuan bisa dihitung jari. Ini pun masih didominasi oleh perempuan kulit putih, seperti Cornelia Funke (Inkheart), Enid Blyton (Lima Sekawan), Agatha Christie, Stephenie Meyer (Twilight Saga), dan Angie Sage (Petualangan Septimus Heap).

 

 

Bahkan kuliah S1 Sastra pun tak menjamin diriku jadi lebih banyak terpapar dengan perempuan penulis. Pasalnya, selama belajar di tiga kelas berbeda, kelas Kesusastraan Lama, Kesusastraan Modern, dan Prosa, 80 persen penulis yang dibahas para sensei adalah penulis laki laki. Aku masih ingat dalam kelas Kesusastraan Lama, hanya satu perempuan penulis Jepang yang dibahas secara mendalam, yakni Murasaki Shikibu, penulis Genji Monogatari.

Kurangnya pengetahuan terhadap perempuan penulis dan minimnya rujukan karya mereka di ketiga kelasku ternyata adalah masalah struktural. Bahwa ada diskriminasi gender di dunia sastra. Perempuan masih banyak yang kesulitan menerbitkan karyanya jika memakai nama asli mereka. Ini terjadi pada Catherine Nichols. Dalam esainya, Homme de Plume: What I Learned Sending My Novel Out Under a Male Name disebutkan, manuskrip novelnya mendapatkan permintaan dari penerbit delapan setengah kali lipat lebih banyak, saat ia menggunakan nama pena laki-laki dibandingkan saat ia memakai nama asli.

Perempuan penulis juga masih minim mendapatkan pengakuan dalam penghargaan sastra. Ini terjadi pada September 2020 saat Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengumumkan nominasi penghargaan yang semuanya diisi laki-laki penulis. Saat para perempuan penulis seperti Feby Indriani dan Anindita S. Thayf melayangkan protes pada penghargaan ini, pihak penyelenggara berdalih, belum ada karya dari perempuan penulis yang lolos atau memenuhi kriteria juri di tahun itu.

Diskriminasi gender juga diperparah dengan kesenjangan terjemahan karya perempuan penulis. Pada (1/1), melalui akun Instagram resmi, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) mengumumkan daftar buku terjemahan yang akan terbit selama 2023. Dari total 14 penulis, hanya empat perempuan penulis yang novelnya akan diterbitkan KPG, yaitu Keiko Kawakami, Chloe Going, Esther Kim, dan Hafsah Faizal.

Fakta inilah yang akhirnya jadi salah satu alasan kuatku untuk membaca lebih banyak karya-karya perempuan penulis. Perjalanan dimulai pada 2019 dan setelah kurang lebih tiga tahun aku menemukan berbagai fakta menarik dari karya-karya mereka.

Baca Juga:  Kisah Para Perempuan Penulis Hidup dalam Bayang-bayang Seksisme

Perempuan Menulis Hal Nyata

Aku dulu tak pernah percaya ada perbedaan dari cara menulis perempuan dan laki-laki. Sampai akhirnya setelah mencicipi lebih banyak karya dari perempuan penulis, aku sadar ada perbedaan yang kentara.

Pertama, mayoritas perempuan penulis yang aku baca (tak lagi hanya kulit putih saja tapi juga penulis Afrika dan Asia) selalu menulis hal-hal nyata, realisme. Mereka berusaha menampilkan subjek sebagaimana adanya, sederhana, tapi tetap kritis dengan narasi kuat. Tak heran jika pembaca relatif tak kesulitan memahaminya.

Misalnya, dalam karya klasik Little Women (1868), Alcott memusatkan narasi pada kehidupan empat perempuan bersaudara, March. Jo, Beth, Amy, dan Meg di era konflik perang saudara Amerika. Lalu, Emecheta dalam The Joys of Motherhood (1979) memusatkan narasi pada kehidupan perempuan Afrika bernama Nnu-Ego di era kolonialisme dan urbanisasi besar-besaran. Sedangkan, dalam Pachinko (2017), Lee menjadikan Kim Sunja sebagai poros narasi yang dituturkan dalam rentang waktu delapan puluh tahun dan empat generasi.

Ketiganya memberikan ruang bagi pembaca untuk melihat secara detail dari kehidupan para perempuan ini dari masa remaja hingga dewasa. Pembaca juga bisa melihat bagaimana karakter dalam buku itu bertumbuh menghadapi berbagai masalah hidup.

Dibandingkan karya penulis laki-laki seperti 1984 dari George Orwell, karya Alcott maupun Emecheta pasti terdengar sangat sederhana. Tak ada dunia distopia, tak ada Big Brother yang mengawasi semua. Namun, tanpa ini semua, baik Alcott, Emecheta, dan Lee bisa menyampaikan gagasan besarnya dengan baik kepada pembaca. Gagasan tentang kemiskinan dan bagaimana perempuan jadi kelompok paling rentan di dalamnya.

Baca Juga:  5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik

Menulis untuk Merebut Kembali Eksistensi Perempuan

Cara menulis yang berbeda ini menurutku tak lepas dari pengalaman perempuan sendiri di masyarakat patriarkal. Secara historis, perempuan memang mengalami berbagai diskriminasi dan ketidakadilan gender karena dianggap sebagai kelas kedua atau sang liyan. Hidup perempuan sejak lahir sudah dikotak-kotakkan, dilabeli stereotip, stigma. Pengalaman kolektif inilah yang bikin perempuan bisa menulis realitas masyarakat secara rinci, transparan, dan dekat.

Bahkan ketika mereka menulis dengan karakter utama laki-laki, karakter mereka selalu bisa menimbulkan kedekatan dan refleksi terhadap pembacanya tanpa membuat kita mengernyitkan dahi. Ini yang terjadi ketika aku membaca Almond (2017) karya Sohn Won-pyung dengan protagonis novelnya, anak laki-laki bernama Yunjae. Hal yang kurang lebih juga dialami oleh John Boyne, penulis laki-laki yang dalam tulisannya di The Guardian secara blak-blakan bahkan mengatakan:

My female friends, for example, seem to have a pretty good idea of what’s going on in men’s heads most of the time. My male friends, on the other hand, haven’t got a clue what’s going on in women’s.”

Pengalaman kolektif sebagai liyan ini pula yang membuat perempuan menulis dengan nuansa. Mereka mengritisi tatanan sosial yang dibangun atas privilese laki-laki dan chauvinisme laki-laki. Apalagi ini ditambah dengan pengalaman ketubuhan perempuan juga jauh berbeda dengan laki-laki. Laki-laki tak bisa menstruasi, hamil, dan melahirkan.

Tulisan Virgiana WolfRuang Milik Sendiri (1977), Cho Nam-Joo lewat Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 (2016), dan Susu dan Telur (2018) karya Keiko Kawakami adalah buktinya. Dalam karyanya, Wolf membuat karakter Judith, adik penyair legendaris William Shakespeare sebagai kritik satir. Bahwa secemerlang apapun Judith, sesetara apapun kemampuan perempuan dengan kakak laki-lakinya, ia tetap dilihat sebelah mata. 

Baca juga: Generasi yang Dijauhkan dari Sejarahnya: Refleksi Setelah Baca ‘Laut Bercerita’

Tak jauh berbeda dengan Wolf, Nam-Joo juga membuat karakter Kim Ji-Yeong sebagai kritik. Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki. Kesejahteraan hidupnya tak pernah jadi prioritas di keluarganya sendiri. Ia juga mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.

Begitu pula, tiga karakter perempuan Keiko Kawakami, Natsu, Makiko, dan Midoriko. Melalui ketiga karakter perempuannya ini, Kawakami melayangkan berbagai kritik seputar posisi perempuan di masyarakat. Mulai dari obsesi Makiko untuk operasi payudara; Midoriko yang memilih bungkam meski punya kegelisahan soal tuntutan punya anak; sampai Natsu yang menganggap dirinya aneh karena tak bisa berhubungan seksual dengan laki-laki, dan marah kenapa perempuan tak diberikan keputusan untuk memiliki anak atau tidak.

Terakhir, yang tak kalah pentingnya. Berbeda dengan penulis laki-laki, perempuan menulis untuk mendobrak bias dan stigma. Perempuan dalam tulisan laki-laki sering kali dituliskan berkebalikan dengan protagonis laki-lakinya. Mereka adalah individu yang emosional, lemah lembut, dan “lebih pintar” atau logis dibandingkan laki-laki. Tak jarang mereka juga diseksualisi dan sering didefinisikan dalam kaitannya dengan karakter laki-laki. Alasannya jelas. Ini karena eksistensi perempuan dinilai semata-mata sebagai objek seksual laki-laki.

Karya-karya Haruki Murakami jadi bukti nyatanya dan sempat disinggung langsung oleh Keiko Kawakami dalam wawancara ekslusifnya bersama Murakami pada 2017. Dilansir dari Osusume Books, alih-alih karakter perempuan ditulis secara utuh, mereka justru mengorbit di sekitar karakter laki-laki dan berakhir berhubungan seks dengan mereka. Dalam relasi seksual ini perempuan hanya jadi peran pendukung seksual. Merekalah yang menyembuhkan kesepian karakter laki-laki, memberikan kelegaan emosional, atau membantu mereka mencapai semacam pemahaman eksistensial. Mereka submisif dan pasif.

Ini terlihat dalam penarasian karakter Midori di Norwegian Wood (1987), Yumiyoshi di Dance Dance Dance (1988), pacar narator yang lebih tua di Killing Commendatore (2017), dan kembar identik di Pinball (1973). Satu-satunya fungsi mereka adalah jadi pasangan seks si narator yang sedang mencari pelarian dari rasa bosannya atau sedang gamang menimbang eksistensinya di dunia.

Bahkan dalam wawancara Art of Fiction pada 2004, Murakami menyatakan:

Jika seks itu adalah dewa… lukamu akan sembuh, imajinasimu akan disegarkan… Dalam pengertian itu, dalam ceritaku, perempuan adalah perantara. Itu sebabnya mereka selalu mendatangi protagonis saya; dia tidak mendatangi mereka.”

Dengan cara laki-laki menggambarkan perempuan inilah, perempuan penulis mayoritas justru menantang cara penulisan laki-laki dengan membuat karakter perempuan mereka berdaya. Tanpa perlu ada laki-laki, mereka adalah karakter yang punya a sense of being yang kuat. Berani ambil keputusan dan mendobrak stigma.

Kita melihatnya lewat karakter Jo March di Little Women. Dia adalah perempuan yang outspoken, mandiri, dan pintar. Eksistensinya hadir bukan karena relasinya dengan laki-laki, tapi karena dirinya sendiri. Kita juga melihatnya dalam karakter Keiko di Gadis Minimarket (2016) karya Sayaka Murata. Walau berbeda dengan Jo, penggambaran Keiko sebagai protagonis independen melampaui stigma dan stereotip. Di usianya yang sudah 36 tetapi tetap memutuskan bekerja sebagai pegawai supermarket dan ogah terlibat relasi romantis atau seksual dengan pegawai laki-laki adalah wujud dari dibebaskannya perempuan dari ekspektasi peran gender dan peran sosial masyarakat Jepang.

Pun, karakter Natsu dalam Susu dan Telur karya Kawakami. Natsu pada awalnya bukan karakter yang outspoken, tapi cara dia merangkul aseksualitasnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan relasi romantis atau seksual dengan Aizawa, serta bersikukuh untuk menjadi ibu tunggal dan melakukan inseminasi buatan adalah bukti. Bahwa lambat laun ia mulai belajar untuk berani mengungkapkan apa yang ia pikirkan dan berani ambil keputusan untuk kebahagiaannya sendiri di luar dari ekspektasi masyarakat Jepang terhadap perempuan.

Dengan demikian, perjalananku selama tiga tahun memberikan banyak pelajaran berharga buatku. Kini aku tak hanya membaca untuk membunuh waktu atau menghibur diri. Kini aku membaca juga untuk berefleksi diri tentang eksistensiku sebagai perempuan. Refleksi yang tak pernah bisa aku lakukan selama membaca dari karya penulis laki-laki dan ini penting buat bekalku menghadapi dunia yang memang sampai saat ini tak pernah bisa adil kepada perempuan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *