Bagaimana ‘Manga Yaoi’ atau ‘Boys Love’ Masih Meromantisasi Kekerasan Seksual
Manga yaoi atau Boys Love (BL) masih menonjolkan heteronormativitas dan menormalisasi, bahkan meromantisasi kekerasan seksual.
*Artikel ini telah mengalami revisi untuk kejelasan definisi dan juga latar belakang penulis*
Ada satu genre yang begitu banyak diminati perempuan dalam budaya pop Jepang, khususnya manga dan anime, yakni yaoi. Yaoi adalah genre fiksi dari Jepang yang menampilkan hubungan homoerotis antara karakter laki-laki. Genre ini berasal dari tahun 1970-an yang diorbitkan sebagai subgenre manga shōjo, atau komik untuk target remaja perempuan.
Terdapat perdebatan di antara para penggemar mengenai pemakaian istilah yaoi dan Boys Love (BL), apakah keduanya berbeda atau sebenarnya secara esensi sama. Kazuko Suzuki, seorang Visiting Associate Professor di Universitas Yale, AS, melakukan sebuah penelitian dan mewawancarai beberapa penulis profesional BL Jepang dan mengidentifikasi lima subgenre: shōnen’ai, tanbi, JUNE, yaoi, dan boys love.
Dari penelitian tersebut, Suzuki mencatat bahwa para penulis cenderung menggunakan “yaoi” sebagai istilah payung yang mencakup semua genre yang berhubungan dengan hubungan homoerotis antar laki-laki karena tidak ada istilah singkatan Jepang yang tepat dan nyaman untuk merangkul semua subgenre fiksi cinta antar laki-laki oleh dan untuk perempuan.
Kazumi Nagaike dan Aoyama Tomoko, dua profesor yang mana penelitian mereka berfokus pada kajian budaya dan sastra bahkan menghindari upaya diferensiasi antar kedua istilah ini, yaoi dan BL, dengan menunjukkan bahwa banyak peneliti BL menggunakan ‘BL’ atau ‘Yaoi’ sebagai istilah payungnya karena berbagai kategori genre tidak pernah didefinisikan secara jelas dan meskipun subgenre dibedakan, keduanya tetap berkaitan secara tematis.
Popularitas genre ini begitu besar di kalangan perempuan, termasuk saya. Menyukai budaya populer Jepang sejak kecil, dan mengenyam pendidikan S1 Sastra Jepang, yaoi pun menjadi salah satu genre yang menarik perhatian saya pribadi dan tidak pernah luput dari pembicaraan harian saya bersama teman-teman saya. Tidak hanya karena saya tertarik dengan penggambaran hubungan homoerotis antar laki-laki yang berusaha disampaikan oleh perempuan hetero dan bagaimana refleksi sosial budaya masyarakat Jepang termanifestasi dalam genre ini, saya juga tertarik mengikuti kajian penelitiannya yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Baca juga: 5 Serial ‘Boys Love’ yang Bikin Pipi Merona dan Mata Basah
Akademisi dari Iowa University di AS, Chunyu Zhang, menulis tesis berjudul “My Double Love of Boys: Chinese Women’s Fascination with ‘Boys Love’s Fiction”. Meneliti 15 perempuan Cina penyuka manhua atau komik BL, Zhang menulis bahwa karena homoseksualitas tabu di Cina, BL membuka pandangan para responden penelitiannya terhadap percintaan gay.
Para responden mengungkapkan bahwa komik-komik hubungan heteroseksual menyajikan plot yang membosankan, sehingga tidak menarik lagi untuk mereka ikuti. Lebih lanjut, para responden ini juga mengatakan bahwa hubungan cinta murni terlihat lebih setara di antara pasangan laki-laki dalam manga BL, membuat mereka memproyeksikan sebuah hubungan ideal yang mereka dambakan di dunia nyata.
Akiko Mizoguchi, aktivis lesbian dan penulis buku Theory of BL Evolutions, mengatakan dalam wawancara dengan media Bunshun pada April 2020, bahwa genre ini juga telah mengalami perubahan. Para penulisnya menggali lebih banyak isu seputar LGBTQ+, alih-alih memproyeksikan hubungan heteroseksual yang mereka jalani atau yang biasa mereka temukan di dunia nyata.
Kendati demikian, genre ini masih menyimpan permasalahan tersendiri yang hingga sekarang belum juga terselesaikan.
Manga Yaoi Terlalu Heteronormatif dan Langgengkan Relasi Kuasa
Hal pertama yang menurut saya problematik dari komik yaoi adalah bagaimana genre ini masih secara jelas melanggengkan relasi kuasa melalui nilai-nilai heteronormatif dalam bentuk posisi seme dan uke.
Posisi seme dan uke dalam yaoi adalah sebuah hubungan ajek antara seseorang yang dominan (seme) dan seseorang yang submisif (uke). Hubungan antara seme dan uke ini cenderung berpola dan melanggengkan stereotip peran gender dalam hubungan heteroseksual. Bahwa laki-laki adalah seorang dominan, agresif, maskulin, dan kuat sedangkan perempuan adalah seseorang yang submisif, pasif, feminin, dan lemah.
Belum lagi stereotip hubungan seksual dalam hubungan gay, yakni top vs. bottom atau yang melakukan penetrasi dan yang dipenetrasi. Padahal tidak semua hubungan homoseksual melibatkan seks anal.
“Gagasan posisi ajek antara seme dan uke mencerminkan korelasi simbolis antara konteks phalus maskulinitas yaitu penis, dan konteks feminitas yaitu vagina, yang dalam genre ini ditekankan pada anal,” tulis Kazumi Nagaike, seorang akademisi Jepang dalam artikelnya akademiknya “Perverse Sexualities, Perversive Desires: Representations of Female Fantasies and ‘Yaoi Manga’ as Pornography Directed at Women.”
Dalam narasi hubungan seksual misalnya, tidak jarang uke digambarkan akan berdarah setelah melakukan hubungan intim dengan seme. “Uke yang berdarah secara metaforis dapat diasosiasikan dengan ‘keperawanan’ perempuan,” tulis Kazumi dalam artikel yang sama.
Komik yaoi kemudian memperkuat stereotip misoginis, bahwa pada dasarnya apa pun yang diasosiasikan dengan perempuan itu lemah. Hal ini melanggengkan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Simbol uke yang berdarah juga merupakan wujud kekerasan berbasis gender, bagaimana laki-laki memegang kendali penuh atas seksualitas perempuan dan berfungsi untuk menegakkan konstruksi perempuan sebagai properti laki-laki.
Baca juga: ‘Fetish’ terhadap Hubungan Gay: Ketika ‘Ship’ dan ‘Fanfiction’ Jadi Toksik
Manga Yaoi Masih Mengandung Unsur Homofobia
Genre ini juga masih lekat dengan unsur homofobia dan meliyankan laki-laki gay. Di sebagian besar manga BL atau anime yaoi, seme—dan sering kali uke—juga digambarkan sebagai seseorang yang heteroseksual. Mereka menyukai perempuan, berkencan dengan perempuan, bahkan tidak jarang seme digambarkan sebagai fuckboy yang kerap bergonta-ganti pasangan perempuan.
Sering kali manga atau anime yaoi atau bisa disebut juga BL, menunjukkan stereotip laki-laki gay yang menyinggung dan lekat dengan stereotip negatif sebagai perbandingan dengan pasangan utama. Laki-laki gay kerap digambarkan sebagai seseorang laki-laki aneh dengan kombinasi super maskulin atau feminin alias ngondek.
Aktivis lesbian Akiko Mizoguchi mengatakan, sering kali kalimat-kalimat seperti, “Aku bukan gay atau semacamnya! Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu!” muncul dalam narasi komik genre ini.
“Penulis ingin menggambarkan suatu ‘keajaiban’ cinta di mana teman laki-laki yang awalnya hetero menjadi jatuh cinta dengan teman laki-lakinya yang lain. Ketika karakter ini mengatakan ‘aku bukan gay’, ungkapan ini memperlihatkan bagaimana homofobiknya narasi dalam yaoi,” ujarnya dalam wawancara yang sama dengan Bunshun.
Baca juga: ‘The Prom’ dan Problematika ‘Gayface’ dalam Film
Manga Yaoi Meromantisasi Kekerasan Seksual
Mizoguchi dalam wawancara yang sama mengatakan, “Dalam karya demi karya, genre ini telah memperlihatkan kekerasan seksual dalam bentuk penculikan bahkan pemerkosaan sebagai bagian dari cinta.”
Pelecehan seksual dan pemerkosaan dalam yaoi jarang dilukiskan sebagai tindak pidana kekerasan antara pelaku dan korban, namun sebagai akibat dari rasa cinta seme yang tidak terbendung kepada karakter uke.
Kazuko Suzuki, seorang akademisi Jepang, mengatakan bahwa dalam yaoi, seks anal dipahami sebagai cara untuk mengungkapkan komitmen kepada pasangan, dan “kekerasan yang tampak” dari pemerkosaan diubah menjadi “ukuran gairah”.
Akademisi Jepang Kazumi Nagaike menulis, pemerkosaan digunakan untuk mengatur narasi yaoi bahwa dua laki-laki secara bertahap menyadari bahwa mereka ditakdirkan untuk bersama.
“Sementara seme mengungkapkan cinta mutlaknya kepada uke melalui tindakan memperkosanya, yang diperkosa, yaitu uke, yang sebelumnya menganggap seme hanya sebagai teman dekat, lambat laun menjadi sadar bahwa cinta dan keinginan seme meningkat sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat melakukan apa pun selain memperkosa dirinya. Akibatnya, uke tersentuh oleh cinta yang berlebihan dari seme dan jatuh cinta padanya,” tulis Nagaike.
Karakter uke di dalam narasi ini akan mengalami trauma akibat pengalaman kekerasan seksual, namun tidak mendapat dukungan dari karakter lain. Kekerasan seksual yang dialami korban digambarkan sebagai mimpi buruk yang akan hilang dengan sendirinya.
Mizoguchi mengatakan, komik yaoi sebetulnya berpotensi sebagai sebuah sarana edukasi atau aktivisme gerakan LGBTQ+. Karenanya, penting bagi pembaca agar lebih selektif dalam memilih manga yaoi atau bisa disebut juga BL untuk membenahi miskonsepsi mengenai peran gender dan meluruskan persepsi terhadap kekerasan seksual. Sikap selektif ini juga merupakan bagian dari gerakan perlawanan agar media queer lebih cermat dan baik lagi dalam merepresentasikan kelompok LGBTQ+.
Suka sama artikel kontributor di atas? Punya opini sendiri soal topik ini? Yuk, kirim tulisanmu ke Magdalene, bisa langsung submit di halaman ini.