‘Dear’ Penggemar K-Pop, Saatnya Benahi Seksisme dan Misogini dalam ‘Fandom’
Sebagian fandom K-pop kerap berperilaku seksis dan misoginis kepada idola perempuan karena menilai mereka tidak pantas sukses seperti idola laki-laki.
Selama lima tahun aktif dalam fandom K-pop internasional, Tara Imann sudah merasakan naik turun menjadi penggemar idola. Perasaan girang ketika idola perempuan merilis lagu baru adalah kawan. Begitu pula dengan musik idola laki-laki dengan tempo cepat yang memberinya semangat ketika bermain gim. Selain itu bagi Tara, berada di fandom idola perempuan yang mayoritas penggemarnya juga perempuan menunjukkan adanya nilai perempuan dukung perempuan.
“Dinamika fandom idola perempuan condong pada solidaritas. Mereka perempuan dan kita juga mendukung mereka dari bawah. Mereka juga pantas menerima ketenaran dan kesuksesan itu. Walaupun memang sering berantem, ya ada satu tujuan untuk dukung mereka,” kata Tara kepada Magdalene (18/8).
Namun, ada kalanya Tara dibuat risi ketika sesama penggemar K-pop melontarkan komentar tidak senonoh, body dan slut-shaming kepada idola perempuan. Dua grup idola kesukaannya, Red Velvet dan BLACKPINK, sering menjadi korban dari komentar negatif tersebut.
Di antara komentar itu, ada yang menyebut BLACKPINK ‘menjual diri’ untuk mencapai kesuksesan. Alasan timbulnya pendapat itu karena BLACKPINK berasal dari agensi YG Entertainment. Sebelumnya, pendiri dan mantan CEO agensi tersebut, Yang Hyun-suk bersama Seungri mantan anggota Big Bang, grup idola senior mereka, terlibat dalam skandal Burning Sun pada 2019. Kasus itu merupakan isu kejahatan seksual terbesar di Korea Selatan. Karenanya, BLACKPINK dinilai pantas untuk direndahkan. Hal itu menyulut amarah BLINK, penggemar grup idola itu, sehingga mereka balik melawan.
Baca juga: Red Velvet, MAMAMOO, dan ITZY: Idola K-Pop dan Bahasa Feminis Mereka
Alih-alih ikut terlibat dalam fanwar (perang antara fandom) yang melelahkan secara mental, Tara memilih untuk menyoroti nilai misogini yang terinternalisasi dalam komentar negatif itu. Sejatinya, pendapat yang merendahkan perempuan tidak hanya diterima BLACKPINK, tetapi hampir semua idola perempuan di industri K-pop. Hal itu diakibatkan oleh penggemar K-pop yang tidak suka pada idola perempuan. Mereka menganggap, prestasi tinggi hingga pengakuan global juga bukanlah milik idola perempuan karena kemampuan mereka lebih rendah daripada idola laki-laki.
“Ini sebenarnya contoh nyata seksisme dan misogini. Mereka seolah-olah menyatakan kamu perempuan, jadi diam saja karena kamu tidak bisa sukses dan sensasional seperti grup idola laki-laki. Kamu harusnya berdandan dan menari saja untuk hiburan laki-laki,” ujar Tara yang juga aktivis gender.
Benci Idola Perempuan Sukses
Tara mengatakan, komentar kebencian kepada idola perempuan atas nama fanwar berbasis pada alasan yang sangat dangkal: Benci melihat perempuan meraih kesuksesan. Stigma tentang idola perempuan yang tidak harus pintar dan berbakat sudah tumbuh subur, sehingga penilaian perempuan tidak bisa mengembangkan kariernya seperti laki-laki terus melekat.
“Mereka membenci perempuan dan menganggap mereka rendah, sementara laki-laki pantas menerima segalanya. Kasihan juga memiliki pola pikir seperti itu. Perilaku mereka juga mencerminkan lingkungan dan hal-hal yang mempengaruhi mereka,” ujarnya.
Selain itu, isu seksisme dan misogini publik juga terjadi ketika idola berpacaran. Larangan untuk membangun relasi antaridola memang berlaku untuk laki-laki dan perempuan karena industri menjual citra mereka yang lajang. Dedikasi penggemar setia pun ‘dibayar’ dengan status tersebut. Ketika ada ‘skandal’ pacaran, maka idola perempuan yang paling banyak terdampak karena nilai misogini dan seksisme itu.
Saat Taeyeon dari Girls’ Generation dikabarkan berpacaran dengan Baekhyun dari EXO pada 2014, keduanya mendapatkan pesan kebencian dari penggemar karena dinilai berkhianat. Namun sebagai perempuan, Taeyeon yang paling banyak kena imbasnya dan menerima cacian merendahkan dari penggemar idola laki-laki. Sama halnya ketika Suzy dan Lee Minho berpacaran pada 2015. Aturan industri K-pop tanpa pacaran dan idola perempuan yang selalu jadi kambing hitam juga diungkapkan oleh mantan idola, Jessica Jung lewat novelnya Shine.
James Turnbull, penulis isu feminisme dan seksualitas di Korea Selatan mengatakan, ketika isu pacaran meruak, perempuan yang disorot karena mereka ‘dibentuk’ sebagai objek pasif untuk lensa male gaze. Selain itu, image perempuan baik-baik sangat diidamkan industri, tapi secara bersamaan mereka akan diseksualisasi untuk menggaet ‘perhatian’.
“Reaksi negatif sering diarahkan kepada perempuan yang sedang dalam relasi, secara bersamaan mereka mengalami slut-shaming dari penggemar laki-laki maupun penggemar perempuan dari pasangan mereka,” ujar Turnbull dikutip dari CNN.
Baca juga: Rambut Pendek An San dan Feminisme yang Ditabukan Korea Selatan
Respons dan perlakuan tidak adil dari publik maupun penggemar juga terjadi ketika idola dihantam oleh rumor miring. Jennie dari BLACKPINK sering digosipkan dan dibingkai sebagai sosok kejam, tidak ramah, dan berperilaku semena-mena kepada orang lain. Karenanya, banyak yang menilai Jennie sebagai idola yang diam-diam memiliki perwatakan buruk walaupun penilaian itu tidak terbukti secara konkret.
Namun, situasi akan berbeda ketika idola laki-laki yang sudah terbukti secara hukum melakukan pelanggaran. Penggemar akan membela mereka dan mencari justifikasi untuk idolanya. Beberapa saat ketika nama Seungri terlibat dalam kasus Burning Sun, ada beberapa penggemar yang mendukung dan mencoba membersihkan namanya. Hal yang sama juga dilakukan kepada Kris Wu, selebritas asal Cina dan mantan idola K-Pop yang dituduh melakukan pemerkosaan. Wu yang sekarang ditahan polisi masih menerima pembelaan dari penggemarnya di media sosial.
“Sama halnya dengan kasus Irene yang bersengketa dengan seorang penata gaya. Kami tidak menyangkal kesalahan Irene. Kami mendukungnya untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Namun, orang lain tidak bisa melihat Irene yang mengubah diri. Selamanya dia akan dipandang jelek karena dia perempuan yang melakukan kesalahan. Beda dengan idola laki-laki yang jelas melakukan tindakan kriminal dan mendapat dukungan,” jelas Tara.
Baca juga: Kesehatan Mental dan Naik Turun Hidup Jadi Idola K-Pop
Fandom Toksik Tak Hanya di Kalangan Pecinta K-Pop
Perilaku seksis dan misoginis dalam fandom tidak hanya terjadi dalam komunitas pencinta K-pop, tapi juga fandom budaya populer lainnya seperti komik, film, dan buku bertema science fiction. Brie Larson, aktris yang memerankan Captain Marvel, sering dihujat oleh penggemar laki-laki karena dituduh diskriminatif oleh laki-laki. Dikabarkan oleh Vox, hal itu disebabkan oleh Larson yang vokal atas rendahnya keberagaman di industri film.
Selain itu, Kelly Marie Tran yang berperan sebagai Rose dalam film The Last Jedi juga menerima kecaman bernada seksis dan rasialis dari penggemar waralaba Star Wars. Hal itu disebabkan karena Tran adalah perempuan Asia pertama yang menjadi salah satu karakter utama dalam The Last Jedi. Penggemar menolak jika fokus dialihkan dari laki-laki kulit putih heteroseksual.
Aksi misogini dalam fandom juga diungkapkan dalam artikel ilmiah Don’t Mess with My Happy Place: Understanding Misogyny in Fandom Communities oleh Gwendelyn S. Nisbett dari University of North Texas. Nisbett menyebutkan, dalam wawancaranya bersama penggemar, ada sikap apatis dalam menghadapi isu misogini tersebut. Walaupun tidak khusus membahas tentang K-pop, beberapa responden mengatakan lebih mudah untuk menghindari konfrontasi, tidak menghiraukan, dan meremehkan isu misogini dalam fandom.
“Banyak yang cuek dengan kehadiran misogini dalam komunitas. Misalnya, seorang responden mengatakan, ‘Misogini mungkin ada dalam fandom, tapi saya tidak pernah memperhatikannya atau dibuat risau’. Ada juga yang mengadopsi pola pikir misogini adalah sesuatu yang harus dihadapi,” tulis Nisbett.
Artikel tersebut menggarisbawahi perilaku seksis dan misoginis yang mengerdilkan peran penggemar dan selebritas perempuan terjadi dalam fandom yang didominasi laki-laki. Namun, situasi agak berbeda dengan fandom K-pop dengan demografi penggemarnya cukup beragam, walaupun didominasi perempuan. Ujaran kebencian kepada idola perempuan juga dapat berasal dari sesama perempuan.
Baca juga: Tolak Terlibat ‘Fanwar’ dan ‘Call Out’ Idola Tak Membuatmu Jadi ‘Fake Fans’
Tara mencontohkan situasi itu dengan kehadiran akgae atau penggemar yang hanya menyukai satu orang dalam suatu grup. Akgae menjadi sangat toksik karena menyerang, merundung, dan menghina anggota lain dari grup yang sama.
“Misalnya, BLACKPINK yang banyak akgae-nya. Dalam satu fandom sendiri saja bisa membenci anggota lain dan slut-shaming. Alasannya kembali lagi karena mereka tidak ingin melihat perempuan yang tidak disukai sukses. Ada internalisasi misogininya juga,” kata Tara.
Industri dan budaya fandom K-pop yang misoginis atau seksis bukan cerminan dunia nyata, tapi adalah bagian dari realitas masyarakat patriarkal yang mencekik perempuan. Penggemar K-pop memang aktif dan melek atas isu sosial yang terjadi di luar fandom untuk menunjukkan mereka peduli dengan masalah global. Namun, membenahi situasi sesama penggemar yang misoginis tidak kalah krusial.
Tara beranggapan tidak ada solusi instan yang bisa serta merta menghilangkan isu ini karena sifatnya struktural. Namun, ada baiknya penggemar K-pop tidak terlalu ‘serius’ dalam mengonsumsi atau menikmati konten. Selain itu, untuk menjaga sosialisasi yang baik antarpenggemar dan menghindari fanwar untuk saling bertanding siapa idola yang paling baik.
“Unclench. Santai saja dalam fandom karena tujuan mereka jadi idol adalah untuk menghibur, bukan buat untuk berantem. Nanti akan rugi banyak jika fokus ke hal-hal itu saja,” kata Tara.