December 5, 2025
Feminism A to Z Issues

Dari Femisida ke Feminisida: Kegagalan Negara yang Bunuh Perempuan

Feminisida merujuk pada kegagalan negara melindungi dan membiarkan kekerasan pada perempuan berlangsung tanpa konsekuensi.

  • July 11, 2025
  • 5 min read
  • 6217 Views
Dari Femisida ke Feminisida: Kegagalan Negara yang Bunuh Perempuan

Istilah feminisida barangkali masih asing di telinga banyak orang, termasuk Indonesia. Namun, fenomena ini telah menghantui perempuan sejak lama. Ia membayangi ibu-ibu miskin yang sekarat karena pendarahan persalinan, sehingga meminta bantuan dukun anak. 

Ia juga menghantui remaja perempuan yang terbaring lemah di rumah sakit, menghadapi komplikasi aborsi tak aman setelah diperkosa pasangannya sendiri. 

Feminisida juga jadi horor buat perempuan yang dibunuh karena dituduh bagian dari organisasi kiri. 

Feminisida tidak hanya terjadi dalam rumah, tetapi juga jalanan, sekolah, rumah sakit, hingga wilayah konflik. Ketika nyawa perempuan dianggap tak layak dilindungi, feminisida mencerminkan cara bangsa memperlakukan separuh populasinya. Ia bukan sekadar kekerasan, melainkan kekerasan sistemik yang mengakar dan menjalar. Namun, negara masih enggan mengakuinya. 

Baca juga: Sederhana, tapi Media Masih Tak Adil pada Korban Femisida: Temuan Magdalene 

Apa Bedanya Femisida dan Feminisida 

Meski berkaitan, istilah feminisida dan femisida enggak sepenuhnya identik. Beberapa peneliti bahkan lebih memilih istilah feminisida untuk menggambarkan pembunuhan perempuan, karena membawa pemaknaan sosial-politik yang lebih dalam. 

Konsep ini berakar dari konteks Amerika Latin, dan tak lepas dari sosok antropolog feminis Meksiko, Marcela Lagarde y de Los Ríos. 

Dikutip dari jurnal Gender & Development Vol. 31 terbitan Routledge, disebutkan antara pertengahan 1990-an hingga 2006, terjadi lonjakan tajam kasus femisida di Ciudad Juarez, Meksiko. Hampir 300 perempuan dibunuh dalam periode itu, namun pemerintah setempat gagal memberikan respons tanggap. 

Keluarga korban pun membunyikan alarm. Mereka turun ke jalan, mendirikan perkemahan protes, dan menuntut keadilan. Namun pembunuhan terus terjadi. Penegakan hukum lemah, penuntutan terhadap pelaku kekerasan berbasis gender tidak efisien atau bahkan absen. Aparat kehilangan jejak atas jumlah perempuan yang hilang dan dibunuh. 

Melihat realitas ini, Lagarde merasa istilah femisida tidak cukup menjelaskan kompleksitas sosial budaya di balik kekerasan terhadap perempuan. Maka, ia memperkenalkan istilah feminicidio—yang kemudian dikenal sebagai feminisida. 

Feminisida bukan sekadar pembunuhan perempuan karena mereka adalah perempuan. Istilah ini juga menunjuk pada kegagalan negara melindungi, melakukan kolusi dalam sistem patriarki, dan membiarkan kekerasan tanpa konsekuensi. 

Baca juga: Di Balik Dapur Berita Femisida: Jurnalis Kurang Pelatihan dan Minim Empati 

Nyata, Meski Tak Bernama 

Di Indonesia, istilah feminisida belum muncul dalam produk hukum atau kebijakan. Namun, fenomenanya nyata. Menurut Siti Aminah Tardi, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), feminisida terlihat dalam berbagai bentuk pelanggaran hak hidup perempuan. Mulai dari kematian ibu akibat kegagalan sistem layanan kesehatan, aborsi tak aman, hingga pelanggaran HAM berat

“Dalam isu pelanggaran HAM berat, pemerkosaan massal Mei 1998, penangkapan dan pembunuhan perempuan pada 1965–1966, hingga pembunuhan Marsinah itu termasuk dalam feminisida,” kata Siti pada Magdalene

Mei 1998, Jakarta dan beberapa kota lain dilanda kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat adanya pemerkosaan massal yang sebagian berujung kematian. Laporan Komnas Perempuan menyoroti pembiaran oleh aparat serta absennya penuntasan hukum. Bahkan, Kementerian Kebudayaan yang kala itu dipimpin Fadli Zon sempat mempertanyakan kebenaran peristiwa ini. 

Peristiwa 1965–1966 juga mencerminkan feminisida negara. Banyak perempuan yang dianggap terkait Gerwani mengalami penyiksaan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan. Laporan Asia Justice and Rights (2015) menyebut ribuan perempuan tewas dan ini jadi eksekusi yang tak pernah diakui negara dalam jalur hukum formal. 

Contoh lain adalah konflik Papua. Laporan Amnesty International (2018) menunjukkan perempuan menjadi korban dalam operasi militer, penembakan, dan pengungsian paksa. Pada 2022, LBH Papua mencatat 11 perempuan meninggal dalam pengungsian akibat kelaparan dan minimnya akses kesehatan. Negara gagal melindungi hak hidup perempuan di situasi konflik—itulah feminisida. 

Tak semua feminisida berbentuk kekerasan langsung. Kematian ibu akibat layanan kesehatan yang minim juga merupakan bentuk feminisida. Data BPS dan Kemenkes menunjukkan, angka kematian ibu (AKI) Indonesia pada 2023 masih 189 per 100.000 kelahiran hidup—jauh dari target SDGs sebesar 70 per 100.000. Laporan Human Rights Watch berjudul In Silence: Maternal Mortality in Indonesia (2021) menegaskan, banyak kematian ibu terjadi karena akses yang buruk, biaya tinggi, dan diskriminasi berbasis kelas dan wilayah. 

Feminisida juga tercermin dari aborsi tidak aman. WHO (2022) mencatat Indonesia memiliki sekitar 1,7 juta kasus aborsi per tahun, sebagian besar tidak aman. Kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan aborsi justru memperburuk kondisi ini. 

“Bagaimana perempuan bisa menikmati hak-haknya secara utuh? Kalau hak atas hidup saja tidak dilindungi. Akses kesehatan belum memadai. Maka jelas, feminisida itu konteksnya ada pada kegagalan negara,” ucap Siti. 

Baca juga: Bahaya Incel dan Femisida: Percakapan Penting Setelah Nonton ‘Adolescence’ 

Kenapa Negara Harus Bertanggung Jawab? 

Feminisida bukan semata soal pelaku individu, tapi juga soal sistem yang membiarkannya. Negara gagal melindungi perempuan, dan di sinilah letak tanggung jawabnya. Menurut Siti, pengakuan terhadap feminisida adalah langkah awal mendorong akuntabilitas negara. 

Selanjutnya, negara wajib menyusun kebijakan perlindungan perempuan, mencegah kekerasan berbasis gender, dan memastikan keadilan berjalan. Salah satu langkah konkret adalah membentuk Femicide Watch—mekanisme untuk mengumpulkan, menganalisis, dan merilis data pembunuhan perempuan berbasis gender. 

“Negara seperti Meksiko dan Brasil sudah punya mekanisme ini sebagai bentuk kewajiban mereka. Dan sebenarnya, CEDAW pada 2015 sudah merekomendasikan pembentukan femicide watch. Jadi pemantauan ini bukan tugas NGO atau kolektif, tapi negara,” ujar Siti. 

Ia juga menekankan pentingnya memperluas definisi korban. Dalam banyak hukum pidana, termasuk RKUHAP, korban didefinisikan secara sempit sebagai korban langsung. Padahal, dalam kasus feminisida, dampak psikologis dan ekonomi dirasakan pula oleh keluarga dan komunitas. 

“Dalam deklarasi hak korban, keluarga dan tanggungan seperti anak punya hak yang sama dengan korban langsung. Jadi perlu ada perluasan makna korban, bukan hanya individu, tapi juga keluarga, anak yang ditinggal, bahkan komunitas,” tutup Siti. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.