Lifestyle

Kuliah ‘Online’ Setahun Kemudian: Pelajaran Mengenal Diri Sendiri

Hampir satu tahun menjalankan kuliah online membuat saya mengenal diri sendiri secara lebih baik.

Avatar
  • January 13, 2021
  • 6 min read
  • 640 Views
Kuliah ‘Online’ Setahun Kemudian: Pelajaran Mengenal Diri Sendiri

Saya tidak pernah menyangka masa perkuliahan yang telah saya lewatkan bersama teman-teman selama beberapa tahun akan “berhenti” di suatu Jumat yang random pada Maret 2020.

Hari itu berjalan normal, seperti hari-hari perkuliahan biasa. Pagi yang sibuk, menertawai beberapa teman yang dilarang masuk kelas oleh dosen karena datang terlambat. Suntuk luar biasa mendengarkan ocehan dosen yang menjelaskan sistematika tugas akhir. Bernafas lega begitu waktu pulang tiba. Nongkrong di sebuah meja bundar di tengah bangunan fakultas.

 

 

Tak beberapa lama, datanglah surat edaran dari kampus yang memberitahukan bahwa perkuliahan akan dilaksanakan secara jarak jauh akibat pandemi COVID-19, dan para mahasiswa diimbau untuk pulang ke rumah masing-masing.

Semula, kami hanya dipulangkan untuk dua minggu lamanya. Tak terasa, ternyata sudah hampir satu tahun saya dan teman-teman menjalankan perkuliahan dari rumah masing-masing. Tanpa rutinitas yang biasa kami habiskan bersama sembari saling melemparkan candaan menyedihkan berisi keluhan akan betapa melelahkannya fase pendewasaan ini.

Kuliah Online dan Kesehatan Mental

Pandemi dan kuliah online mengambil separuh sumber kewarasan saya dan tahun terakhir saya berkuliah, pikir saya beberapa bulan yang lalu. Saya begitu membenci rutinitas saya di awal-awal masa kuliah online.  Melakukan segala aktivitas lewat ponsel atau laptop dan seharian berada di dalam rumah bukanlah apa yang suka saya lakukan sepanjang hari dalam waktu lama. Otomatis, respons psikologis saya muncul dalam bentuk stres dan burnout.

Bukan hanya saya, tidak sedikit teman saya sesama mahasiswa yang mengaku mengalami depresi karena harus kembali ke rumah dan kembali berhadapan dengan orang tua atau saudara mereka yang toksik setiap hari. Di saat bersamaan, mereka juga harus tetap produktif dan menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang jumlahnya tidak sedikit.

Baca juga: Angkat Gelas Minuman Tinggi-tinggi untuk Lewati Tahun Paling Brengsek

Meski kecewa, saya tahu saya tetap harus berusaha keras untuk beradaptasi dan tidak meninggalkan satu pun tanggung jawab saya. Terlebih karena saat ini saya sudah tidak mempunyai mata kuliah yang harus diambil selain skripsi. Jadwal yang lebih longgar ini harus saya manfaatkan untuk melakukan hal-hal yang baik.

Awalnya saya pikir, hal-hal baik itu berarti produktif berkegiatan di sana-sini dan mengerjakan ini-itu. Terlebih lagi, di awal masa pandemi, berbagai jargon dan ujaran mengenai “tetap produktif selama pandemi” membanjiri media sosial. Lama kelamaan, jargon ini menjadi toksik karena seolah menganggap hal yang penting di dalam kehidupan manusia hanyalah materi dan kerja keras. Padahal kita memiliki kebutuhan yang besar terhadap istirahat untuk menjaga kondisi psikologis yang stabil di tengah banyak tekanan.

Mungkin rutinitas kita dulu yang kebanyakan dihabiskan di luar rumah telah banyak mengalihkan kita dari hal-hal spiritual, termasuk waktu untuk mengenali diri sendiri. Begitu juga dengan saya, yang setelah saya renungi, memiliki mindset bahwa hidup adalah bekerja, dan bahwa saya tidak boleh memberikan hari libur untuk diri saya sendiri.

Dan banyak menghabiskan waktu di kampus atau di kantor ternyata memainkan peranan besar terhadap terbentuknya pola pikir itu. Melihat orang-orang selalu bekerja dan belajar mendorong diri saya untuk ikut begitu. Saya pikir, semakin banyak saya bekerja, semakin dekatlah saya dengan kesuksesan. Memang ada banyak hal yang berhasil saya capai, tapi dampaknya di kemudian hari tidak sebaik apa yang saya inginkan.

Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti

Tips Kuliah Online di Tegah Pandemi

Terpaksa menghabiskan banyak waktu sendirian di kamar dan penuh ketenangan ternyata membuka banyak kesempatan bagi saya untuk berdialog dengan diri saya sendiri. Hal ini, “sayangnya”, berhasil menguak banyak hal dari diri saya sendiri yang tidak pernah saya sadari sebelumnya.

Ada semacam pertentangan antara ego dan hati nurani di dalam diri saya. Ego menahan saya untuk mengakui bahwa memang ada beberapa hal dari diri saya yang tidak baik-baik saja. Diri saya terus beralasan bahwa ini adalah self-coping mechanism dalam bentuk memaksa diri untuk berpikir bahwa saya baik-baik saja sekalipun tengah berada di masa kritis. Tapi hati nurani saya seolah terus-menerus membisikkan kata-kata, bahwa menjadi tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan tidak lantas mengurangi harga dirimu sebagai manusia.

Misalnya, butuh waktu berbulan-bulan lamanya bagi saya untuk mengakui dan menyadari bahwa saya merasa begitu sedih melihat banyak teman saya yang sudah lulus kuliah, sementara saya masih “terjebak” karena faktor administrasi di fakultas yang tidak membiarkan mahasiswanya untuk lulus tiga setengah tahun.

Saya sempat merasa kaget dan menyangkal setelah menyadari bahwa kondisi mental saya tidak sebaik yang saya kira. Kebiasaan buruk untuk mengabaikan perasaan-perasaan tertentu menjadi penyumbang besar dalam hal ini. Tapi saya sadar, bahwa bagian terpenting dari mencapai pendewasaan adalah untuk mengakui rasa sakit dan kekalahan kita.  Bukan untuk menyerah. Melainkan untuk mengetahui akar permasalahan dalam diri dan hidup kita, untuk kemudian mengetahui hal apa saja yang harus dilakukan untuk memperbaikinya.

Saya pun berhasil menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang tidak pernah saya tahu sebelumnya: Apa yang sebenarnya saya inginkan di hidup saya? Apa yang saya rasakan saat ini? Apakah saya adalah orang yang bisa beraktivitas lama di dalam rumah atau ruangan tertutup? Dan kegiatan apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki mood yang sedang rusak?

Baca juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?

Normalisasi Terapi ke Tenaga Profesional

Saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke psikolog untuk pertama kalinya. Sempat saya bertanya-tanya, apakah saya benar-benar membutuhkan orang lain untuk menyelamatkan saya? Apakah wajar saya menghabiskan uang yang cukup banyak hanya untuk mendengar petuah orang yang tidak saya kenal?

Setelah sesi itu berlalu, saya kemudian menyadari bahwa kebutuhan untuk pergi ke psikolog tergolong ke dalam kebutuhan yang penting. Kita tidak membayar untuk mendapat obat ajaib yang bisa menyelesaikan masalah dalam sekejap mata, melainkan untuk menghadirkan sosok lain yang bisa mendengarkan dan menguraikan “benang kusut” tanpa menghakimi. Ketenangan hati, sebagai hasilnya, kemudian membantu kita untuk berpikir lebih jernih dalam merumuskan langkah-langkah hidup selanjutnya.

Semakin mengenali diri sendiri berdampak baik terhadap berjalannya rutinitas sehari-hari. Saya jadi tahu kapan waktu optimal saya untuk mulai beraktivitas, juga semakin peka menangkap sinyal dari tubuh dan pikiran saya ketika sudah mulai lelah dan tertekan saat bekerja. Saya juga jadi tahu bahwa ternyata burnout yang saya alami bukan disebabkan oleh kuliah online, melainkan karena saya merasa dipaksa untuk menyerahkan bagian penting dari masa muda saya.

Justru sebenarnya, saya cukup menyukai kuliah online. Semua agenda terasa lebih efektif dan mudah diakses hanya dengan beberapa klik dari samping tempat tidur. Terlebih lagi, kuliah online dari rumah telah memberikan saya banyak waktu untuk diri saya sendiri tanpa harus tergesa-gesa menyamai langkah orang-orang lain.



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *