Kasus Leonardo DiCaprio dan Relasi Kuasa dari Pacaran Beda Usia
Pola pacaran dengan jarak usia terlalu jauh seperti Leonardo DiCaprio memungkinkan munculnya relasi kuasa. Namun, belakangan ini juga dilakukan perempuan.
Pekan lalu, kandasnya hubungan aktor Leonardo DiCaprio dengan Camila Morrone menjadi bulan-bulanan warganet. Pasalnya, mereka mengakhiri hubungan beberapa bulan setelah Morrone berulang tahun ke-25. Warganet sendiri cenderung enggak kaget dengan kabar tersebut lantaran DiCaprio digadang-gadang memiliki “pola” dalam berkencan.
Mungkin kita perlu me-refresh sekilas soal hubungan romantis pemeran Frank Abagnale Jr. dalam Catch Me If You Can (2002) tersebut. Dalam visualisasi data yang dibuat oleh Trust Little Brother di Reddit, batasan usia perempuan yang dikencani DiCaprio hanya mencapai 25 tahun.
Misalnya model asal Israel Bar Refaeli. Pada 2005-2010 silam, ia berpacaran dengan sang aktor yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua itu. Hubungan dimulai ketika Refaeli berusia 20 tahun, dan berakhir ketika ia menginjak usia 25. Ada juga Blake Lively yang waktu itu berusia 23 tahun, berbeda 13 tahun dengan DiCaprio.
Hubungan dengan rentang usia jauh seperti DiCaprio merupakan kronofilia. Dalam Lovemaps: Clinical concepts of sexual/erotic health and pathology, paraphilia, and gender transposition in childhood, adolescence, and maturity (1986), psikolog John Money mendefinisikannya sebagai senang menjalin relasi romantis atau hasrat seksual, dengan individu yang berjarak usia—baik lebih tua maupun muda. Dari perbedaan usia itulah mereka memperoleh kebahagiaan dan kepuasan dalam hubungan.
Selain DiCaprio, sejumlah aktor Hollywood lainnya juga tampaknya memiliki kecenderungan kronofilia. Contoh, aktor Jeff Goldblum dan istrinya Emilie Livingston yang terpaut usia 31 tahun. Kemudian, Richard Gere dan Alejandra Silva yang umurnya berbeda 34 tahun.
Kalau membicarakan preferensi hubungan, memang setiap orang memiliki ketertarikannya masing-masing. Pun kronofilia tidak hanya dimiliki oleh gender tertentu. Pebisnis Jennifer Ipel menikah dengan aktor Ajun Perwira. Keduanya memiliki rentang usia 17 tahun.
Kenyataannya, perbedaan usia itu sering kali dipandang sebagai tolok ukur untuk kematangan fisik, seksual, dan psikologis dalam mencari pasangan. Penjelasan ini disebutkan oleh Michael Seto, seorang psikolog asal Kanada, dalam makalahnya berjudul The Puzzle of Male Chronophilias (2016). Alhasil, terlepas dari gendernya, siapa pun dapat memiliki preferensi tersebut.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah kemungkinan adanya relasi kuasa dalam hubungan yang dijalin. Sebab, perbedaan rentang usia yang cukup jauh, menjadi celah bagi salah satu pihak untuk mengontrol pasangannya. Ditambah rentetan figur publik tersebut memiliki prestise dan kekayaan.
Lantas, bagaimana relasi kuasa turut berperan dalam hubungan, ketika perbedaan usia menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi?
Baca Juga: Tak Ada Alasan untuk Kekerasan: Otonomi Tubuh dan Relasi Kuasa dalam Pencegahan Pemerkosaan
Perbedaan Usia dan Relasi Kuasa
Dalam relasi romantis yang melibatkan dua orang dengan usia yang berjarak, tak dimungkiri kemungkinan terjadinya relasi kuasa. Hal ini karena ada kemampuan untuk mengontrol dan memanipulasi pasangan.
Peneliti Robert Körner dan Astrid Schütz menjelaskan, sumber daya itu mencakup beberapa hal. Di antaranya sosio ekonomi yang meliputi uang dan prestise, afektif, dan sosial. Jika ditelusuri secara objektif, dalam risetnya yang berjudul Power in romantic relationships’ How positional and experienced power are associated with relationship quality (2021), Körner dan Schütz mengatakan hal itu meliputi pendapatan, status pekerjaan, dan pencapaian pendidikan.
Artinya, individu yang lebih tua mampu memanfaatkan beberapa aspek di atas ketika “memainkan” kekuatan dalam relasi dengan pasangannya. Aspek-aspek tersebut juga mencerminkan pengalaman yang belum cukup banyak dimiliki pasangannya karena lebih muda. Maka itu, sebagian dari mereka yang mempunyai kekuatan dalam hubungan, cenderung merasa mempunyai kapasitas untuk memengaruhi pasangannya.
Pengaruh itu bisa berupa pikiran, perasaan, dan perilaku. Tujuannya adalah menyelaraskan dengan keinginan si pemegang kontrol.
Contohnya dalam Gerald’s Game (2017). Karakter Gerald (Bruce Greenwood) yang memiliki fantasi seksual berupa pemerkosaan. Sang istri menolak, tapi Gerald memaksakan keinginannya.
Hal ini berdampak terhadap kualitas relasi. Körner dan Schütz melaporkan, kekuatan itu membuat ketertarikan dalam hubungan berkurang, dan biasanya ditemukan pada laki-laki. Hal itu berdampak pada rendahnya tingkat komitmen dan kepercayaan, kemudian berpengaruh terhadap kesejahteraan emosional, kepuasan hubungan, dan peningkatan hasrat seksual.
Namun, yang enggak kalah penting untuk digarisbawahi ialah, belum tentu semua hubungan dengan rentang usia berjarak dipengaruhi relasi kuasa.
Baca Juga: Kencani ‘Serial Dater’: Ingin Perhatian, Enggan Berkomitmen
Bagaimana Feminisme Memandangnya?
Jika dulu kita melihat laki-laki mendominasi dating game dengan seseorang yang jauh lebih muda, belakangan ini enggak sedikit perempuan yang terlibat di dalamnya. Contohnya Olivia Wilde dan Harry Styles yang berbeda 10 tahun, atau Yuni Shara yang pernah berkencan dengan Raffi Ahmad, meskipun keduanya terpaut rentang 15 tahun.
Pernyataan ini didukung survei yang dilakukan pada 2020 oleh Match.com, sebuah situs layanan kencan online. Survei itu menunjukkan, 81 persen perempuan terbuka terhadap hubungan romantis dengan seseorang yang berusia 10 tahun lebih muda. Sementara 90 persen laki-laki juga tertarik untuk berpacaran dengan seseorang yang 10 tahun lebih tua darinya.
Namun, dalam urusan ini pun perempuan enggak luput dari standar ganda. Di saat laki-laki dipuja karena adanya stereotip trophy wife—perempuan muda yang menarik dan dianggap sebagai simbol status bagi laki-laki yang lebih tua, perempuan justru disebut sebagai tante girang atau mendapatkan komentar negatif lainnya.
Stereotip itu sedikit banyak dipengaruhi oleh representasi dalam budaya populer. Contohnya karakter Samantha Jones (Kim Catrall) dalam serial Sex and the City (1998-2004). Ia dipotret sebagai seorang produser film berusia 40 tahunan, yang dikenal karena berkencan dengan banyak laki-laki yang lebih muda.
Atau Oprah Winfrey yang memotret tentang tante girang lewat cover story satu edisi majalah O miliknya. Cover story tersebut dirilis ketika Demi Moore dan Ashton Kutcher menikah pada 2005. Usia mereka berjarak 15 tahun, sehingga isu tersebut semakin menjadi perhatian media dan perdebatan di masyarakat.
Sementara, kalau kita lihat di masa sekarang, belakangan ini ada Wulan Guritno. Aktor tersebut berpacaran dengan seorang atlet basket, Sabda Ahessa, yang 15 tahun lebih muda darinya. Alhasil, warganet mengomentari hubungan tersebut. Mulai dari menyarankan mencari pasangan yang seumuran, sampai menilai Sabda lebih cocok berpacaran dengan Shalom Razade, anak sulung Wulan.
Baca Juga: Pacaran Beda Usia Jauh: Normal tapi Kok Dibayangi Stigma?
Komentar semacam itu semakin melanggengkan stigma, bahwa perempuan enggak layak berhubungan dengan yang berusia lebih muda. Mereka dipandang sebagai seseorang yang putus asa dalam urusan relasi romantis—seperti tidak ada orang seusianya yang layak dijadikan pasangan, bahkan lebih cocok jadi ibu dan anak. Padahal, di sisi lain, preferensi kronofilia pada perempuan dapat dipandang sebagai bukti dari pemberdayaan diri.
Dalam wawancara bersama Today, matchmaker Julia Spira mengatakan, kini perempuan memiliki kekuatan ekonomi dan karier yang cemerlang. Hal itu membuat mereka tidak lagi membutuhkan sosok pasangan yang mendukung finansialnya. Dengan kata lain, perempuan bisa berkencan dengan siapa pun, termasuk laki-laki yang usianya jauh lebih muda.
Karena itu, mungkin kita dapat mengatakan, relasi romantis dengan seseorang yang lebih muda, lebih cocok dilakukan oleh perempuan berprivilese seperti Wulan Guritno dan Jennifer Ipel.
Namun, adanya pergeseran sudut pandang dan perempuan yang tidak lagi menginternalisasi stereotip tersebut merupakan sebuah perkembangan pola pikir. Perubahan itu terjadi seiring dengan bertambahnya representasi di budaya populer. Misalnya lewat reality show seperti Age of Love (2007) dan The Real Housewives of Orange County (2006-), atau film asal Perancis berjudul Chéri (2009).
Hal itu juga tidak lepas dari meningkatnya pemahaman kesetaraan gender, khususnya sejak sexual revolution pada 1970-an. Dalam Older Women-Younger Men Relationships: the Social Phenomenon of ‘Cougars’. A Research Note (2010), Zoe Lawton dan Paul Callister mengatakan, karena itu perempuan cenderung menyesuaikan diri dengan peran dan pola gender tradisional, di mana biasanya mereka terlibat dalam pernikahan dengan laki-laki yang usianya lebih tua.
Apabila dilihat dari sisi pemberdayaan perempuan, perubahan tersebut merupakan sebuah kemajuan. Bagaimana sebelumnya perempuan terbelenggu dengan “bergantung” pada laki-laki yang lebih tua—baik untuk membantu kebutuhan finansial maupun terikat dengan peran gender tradisional, kini mereka lebih memiliki power atas dirinya sendiri.
Sekarang pertanyaannya, apakah perkembangan itu patut dirayakan, atau perlu diperhatikan karena kemungkinan terjadi relasi kuasa dalam hubungan romantis? Bagaimana menurutmu?