‘Pride Month’ Ajarkan Saya untuk Bangga Jadi Bagian Kelompok LGBT
Dulu saya tidak suka dilabeli bencong. Namun, jika olok-olok bencong itu dilontarkan sekarang, saya mungkin takkan terlalu ambil pusing.
Ketika masih duduk di bangku SD dan SMP, saya sudah akrab disapa “bencong” oleh teman-teman. Di kelas 8 SMP, rombongan adik kelas saya bahkan sering melakukan catcalling. Mereka beramai-ramai memanggil saya “mbak” dan meneriaki saya cantik dari seberang lapangan basket. Saya tentu saja tidak suka dilabeli bencong, bukan karena soal kata tersebut, tapi bagaimana orang-orang menggunakannya. Mereka pakai kata bencong untuk merundung saya hanya karena tidak suka main bola, bertingkah feminin, dan lebih suka bergaul dengan perempuan.
Buat saya, berteman dengan laki-laki rasanya terlalu penuh aturan. Sementara, berteman dengan perempuan membuat saya nyaman karena mereka tak pernah mengusik ekspresi gender atau apa pun yang saya lakukan atau tidak lakukan.
Baca juga: Kalibata City: Antara Mutilasi dan ‘Sanctuary’
Jujur saja, sejak SMP, saya tidak mengerti mengapa intonasi, mimik wajah, gerak tubuh, dll. dikotak-kotakkan secara biner, menjadi perempuan dan lelaki saja. Pun, saya lebih tidak paham lagi, mengapa laki-laki dengan gestur “seperti perempuan” membuat ia dipinggirkan dari kategori laki-laki tulen, dilabeli bencong, dan dianggap tak pantas.
Di titik itulah saya merasa sedih sekaligus marah. Sedih lantaran mungkin cuma saya yang berpikir demikian. Marah karena mereka membuat saya merasa bersalah telah berperilaku “seperti perempuan”, sehingga berhak mengatur saya.
Namun, jika olok-olok bencong itu dilontarkan sekarang, saya mungkin takkan terlalu ambil pusing. Saya ingat, dalam siaran langsung di salah satu media sosial, Ivan Gunawan mendapat komentar dari salah satu penontonnya, “Kayak bencong”, yang kemudian dia balas dengan, “Iya, emang gue bencong.” Jika akhirnya saya disebut bencong, alih-alih menjelaskan panjang lebar tentang ekspresi gender atau konstruksi sosial, kemungkinan besar saya akan menjawab dengan cara yang sama seperti Ivan Gunawan.
Baca juga: Laki-laki Gay Jadi Bunglon Sosial Lewat Pernikahan Heteroseksual
‘Pride Month’ yang Memberdayakan
Sebagaimana orang-orang di Barat “merebut” kata queer dan memberikan makna yang lebih positif, banyak kelompok LGBT di Indonesia yang melabeli diri sebagai bencong dan bangga dengan label tersebut. Begitu pula saya. Di berbagai belahan dunia, Juni diperingati sebagai Pride Month atau “Bulan Kebanggaan”–jika diterjemahkan bebas dalam Bahasa Indonesia.
Semangat awal Pride Month adalah untuk mengenang perlawanan kelompok LGBT di Amerika Serikat (AS) saat terjadi penggerebekan di bar Stonewall Inn pada 28 Juni 1969. Kejadian itu membangkitkan semangat kelompok LGBT, bukan hanya di AS saja tapi juga di negara-negara lain di seluruh dunia, untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi. Di era itu, bahkan ketika laki-laki berpenampilan seperti perempuan atau saat seseorang menari dengan orang lain yang berjenis kelamin sama, mereka bisa dijebloskan ke penjara.
Lebih dari 50 tahun kemudian, banyak kemajuan yang sudah dicapai. Di banyak negara, orang tak lagi dipenjara hanya karena ekspresi gender dan orientasi seksual mereka. Bahkan sudah mulai ada negara-negara yang melegalkan pernikahan homoseksual. Indonesia sendiri memang masih tertinggal, tapi semangat Pride Month bukan hanya tentang perlawanan terhadap penindasan dan diskriminasi berskala besar saja. Pride Month adalah saat di mana kita mengingat kembali bahwa kita berhak menjadi diri sendiri dan mencintai siapa pun.
Baca juga: Magdalene Primer: Memahami Gender dan Seksualitas
Bangga Melela
Saya cukup sering menemukan orang-orang cis-heteroseksual berkomentar, “Kalau kalian LGBT, simpan saja sendiri. Kenapa sih harus bangga-banggain?”. Saya juga sesekali menemukan teman-teman, bahkan sesama gay, yang merasa risih dengan mereka yang begitu percaya diri dengan ekspresi gender dan/atau seksualitas mereka. Saya sendiri nyaman melabeli diri sebagai bencong. Toh, menurut saya, bencong adalah laki-laki feminin atau laki-laki yang berdandan atau berperilaku “seperti perempuan” dan saya memang begitu.
Proses penerimaaan kebencongan diri saya sebenarnya tidak sulit. Namun, mengenang pengalaman pahit saya semasa SMP, itu tak bisa dibilang mudah juga. Saya bisa saja tidak berangkat, pindah, atau bahkan berhenti sekolah. Saya bisa saja jadi pribadi yang sangat minder dan jauh dari ekspresi ceria. Bahkan saya bisa saja memutuskan untuk tidak melanjutkan hidup. Sebaliknya, meski harus bertemu dengan para perundung dan tidak bisa melawan mereka, saya tetap berangkat sekolah. Saya terus sekolah sampai saya lulus. Saya tetap kuliah sampai saya diwisuda. Saya tetap bekerja dan memilih untuk tetap melanjutkan hidup.
Di lingkaran pertemanan, saya bukan pemurung. Sebaliknya, saya jadi salah satu orang yang paling ceria dan sering tertawa bahkan menularkannya ke teman-teman yang lain. Saya bisa saja jadi seorang gay yang tertutup, tidak punya teman sesama gay dan tak berusaha mencari, berusaha tampil maskulin, atau bahkan berpacaran dan menikahi perempuan.
Namun, saya menolak semua opsi itu, dan memilih melela. Saya coming out from the closet kepada semua orang: Teman SMA, teman kuliah, teman kantor, bahkan kakak dan ibu saya. Semua orang yang mengenal saya sudah tahu kalau saya gay. Saya juga tidak pernah benar-benar berhenti mencari teman kencan laki-laki (selama saya masih lajang) dan masih percaya romantisme, meski kehidupan percintaan homoseksual memiliki tantangan yang jauh lebih rumit dibanding cis-heteroseksual.
Selain soal percintaan, kami para LGBT juga merasai pengalaman yang nyaris sama: Ditolak, direndahkan, dianggap salah, hina, berdosa, dan tidak dicintai hanya karena menjadi diri sendiri. Banyak di antara kami bahkan yang sampai disiksa oleh keluarga, orang-orang yang “seharusnya” mencintai kami.
Oleh sebab itu, saat saya melihat kawan-kawan sesama LGBT membanggakan diri mereka sendiri, saya melihat secercah harapan. Bahwa menjadi bahagia adalah pilihan yang bisa saya ambil jika mau berusaha untuk setidaknya mencintai diri sendiri yang gay dan bencong ini. Saya sendiri akan terus membanggakannya, supaya lebih banyak orang yang percaya, mereka juga bisa bahagia seperti saya.
Kalau pun rasa bangga terhadap identitas gender, ekspresi gender, dan orientasi seksual belum bisa dirasakan oleh semua individu LGBT, tidak apa-apa. Seperti yang sudah saya bilang, hidup sebagai seorang LGBT itu rumit dan sulit. Alhasil, menghadapinya sering kali bukan semata soal keberanian atau pilihan tapi tentang berdamai dengan diri sendiri.
Namun, yang perlu teman-teman LGBT tahu, kita tidak benar-benar sendirian. Pun, untuk melawan masyarakat yang kerap homofobik, terlalu patriarkis, dan heteronormatif, memang sulit. Jadi, semoga teman-teman heteroseksual di luar sana, lebih terbuka soal perbedaan-perbedaan ini.
Ilustrasi oleh Karina Tungari